Part 18 - Trigger Point

4.9K 492 77
                                        

"Gaes, nek onok loker2 luar negeri, gelem po'o.
Sedang mencoba peruntungan.
Suwon.
(Kalau ada loker di luar negeri, mau dong)

Airi mengirim satu pesan ke grup angkatan kuliah. Dirinya sedang mencari peruntungan pekerjaan lain. Airi butuh menyelamatkan diri juga.

Dengan melalui koneksi dari teman atau kenalan, biasanya lebih mudah daripada mencari sendiri.

Ini hari ke tiga Airi tidak masuk kantor. Sebenarnya badannya sudah tidak sakit atau ngilu. Tapi surat dokter yang diminta oleh Airi ketika melakukan konsul kedua kalinya, memberikan 2 hari libur. Jelas saja tidak disiakan olehnya.

Ranu setiap hari datang. Tidak selalu secara fisik, kadang dalam bentuk makanan. Karena dia sedang sibuk diskusi dengan DevOps dan lainnya. Tapi pesan ke ponsel Airi tidak berhenti sama sekali. Mengingatkan makan, minum obat, dan berhenti menonton series terlalu lama.

Pesan ke grup kampusnya tadi hanya di-react oleh beberapa orang, tapi belum ada yang mengirim tautan atau informasi yang membantu. Airi meletakkan lagi ponsel di samping bantal dan menguap lebar.

Matanya melihat ke jendela yang terbuka setengah, di luar hujan. Dia melihat jam di ponsel, 13.40. Masih siang, tapi seperti sudah sore karena saking gelapnya.

Ponselnya bunyi, ada pesan masuk. Bukan pesan yang ditunggu, tetapi dari Fauzan di grup PM.

Fauzan Lukman
Guys, jgn lupa rangking.
Mulai dikit2 penilaian, biar nggak kaget.

Hati Airi mencelos. Dia sama sekali belum melakukan yang disuruh. Bagaimana bisa, pikirnya. Merangking anak buah yang semuanya punya andil penting dalam pembuatan aplikasinya. Kepalanya pusing lagi, literally dan figuratively.

Airi menggulirkan layarnya lalu berhenti di grup kampus. Ada yang membalas pesannya tadi.

Adimas Brian
Japri, Ri.

Hanya itu saja pesannya.

Airi kenal dengan Dimas. Satu angkatan dengannya ketika di kampus. Tapi mereka tidak dekat. Karena berbeda kelompok sepermainan.

Lalu pesan Dimas muncul lagi. Tapi secara pribadi, bukan lewat grup.

Adimas Brian
Airi, apa kabar? Ini Dimas.
Bener mau coba peruntungan di LN?
Bukannya wes oke yo kantormu?

Halo, Dim! Baik. Apa kabar?
Kon nang SG seh yo!
Iyo, pengen cari yg lain.
Onok g Dim?
(Kamu di SG ya?)
(Iya. Pengen cari yg lain)
(Ada nggak Dim?)

Belum ada balasan lagi. Tapi ada pesan masuk, bukan dari Dimas. Dari temannya yang terlalu khawatir dari kemarin.

Ranu Acacala
Udah enakan blm?
Ntr malem gue ke sana.
Mau dibawain apa?

Udah kok.
Mulai bosen sekali. Help.
Nggak badminton?

Airi masih melihat layar dengan posisi miring. Badannya seperti lemas karena terlalu banyak terlentang. Tapi kapan lagi bisa bermalas-malasan seperti ini.

Adimas Brian
Klo mau, kirim CV lengkap aja.
Nanti nek pas ada bukaan, tak kabari.

Kantormu nang ndi seh?
(kantormu dimana sih?)

Airi segera bangkit dari posisi horizontalnya dan mengambil laptop di samping kasur. Lalu membuka dokumen CV yang terakhir kali dibetulkan oleh Ranu.

Matanya bergerak-gerak menelusuri dokumen. Dengan cepat mengetik proyek pembuatan website yang pernah dikerjakan olehnya. Seperti temannya itu bilang, tulis semua.

TouchpointsWhere stories live. Discover now