"Iya sih. Abis kontrak."
Fauzan memundurkan badan kembali melihat ke layar laptopnya. "Terus gimana sama Manager CX?"
Wajah Airi berubah masam lagi.
"Katanya mau nyusul? Jadi?" Fauzan masih tertarik dengan bahasan pasangan yang belum pasti ini.
"Rencananya sih gitu—" Airi melihat ke arah lain. "Sebenernya agak merasa bersalah—jenjang karir dia kan udah oke di sini."
Ada decakan pelan dari Lead PM-nya yang sedang memajukan badan. "Keputusan bersama bukan?"
Airi mengangguk.
"Ya udah. Nggak usah merasa bersalah!" Fauzan meninggikan suara. "Udah pada gede, Ri. Udah tau pro-cons-nya. Jangan itung-itungan."
Kepala Airi mengangguk-angguk, mencoba mengerti.
"Kalau mulai itung-itungan siapa sudah melakukan apa, nggak akan selesai-selesai. Yang penting udah diobrolin dan jadi keputusan bersama. Ya udah. Tinggal jalanin."
Airi menghela napas berat ketika mendengar kalimat Fauzan. "Tapi tetep aja, Bang..."
"Iya ngerti." Fauzan sekarang tidak memposisikan diri sebagai atasan Airi. Tapi sebagai kakak yang Airi tidak pernah miliki. "Ranu juga nggak seimpulsif itu ngikut lo kalau dia sendiri nggak yakin. Ya itu usahanya dia, nggak apa-apa. Terima aja."
Kepala Airi menoleh ke belakang, takut pembahasan hati ini terdengar yang lain.
"Sama-sama usaha aja intinya. Karena emang sekarang keadaannya lo yang harus pindah," lanjut Fauzan.
"Iya sih..." Airi mengangkat bahu. "Dulu Teh Sofia yang ikut pindah ke sini ya, Bang?"
"Iya. Padahal dia PNS di Bandung. Tapi kita berdua tau, jauhan itu nggak ada di opsi. Jadi boyongan ke sini semua."
Fauzan seolah tahu yang membuat anak buahnya kalut sendiri. "Buat seterusnya, Ri. Nggak cuma buat setahun dua tahun coba-coba. Jadi jangan ngerasa bersalah kalau keputusan bersama."
Airi melirik ke samping, bibirnya sudah mengerucut ke depan. Kata-kata Fauzan benar.
Hubungannya dengan Ranu tidak hanya untuk coba dulu lalu dilihat nanti. Jika masih berpikir seperti itu, lebih baik berteman biasa, tidak perlu sampai berkomitmen apa-apa.
"Kalau diliat juga nih—" Fauzan belum selesai ternyata. "Dia nyari di Singapur juga bakal dapet lebih tinggi gajinya dari pada lo, Ri."
Wajah sendu Airi berubah malas sekarang. Dia menampakkan wajah sedikit tersinggung.
"Kok—gue kesel ya dengernya." Airi mendengus keras.
Fauzan menahan tawa agar tidak keluar dulu. "Kan bener. Dia lulusan apa, jenjang karirnya gimana?"
"Beda ya, ego lulusan Bandung tuh..." Airi menggelengkan kepala. Karena Ranu seperti itu. Percaya dirinya berbeda dengan lulusan lainnya.
"Lho kok stereotip?" Fauzan tergelak sekarang.
"Sample-nya banyak!" Airi bangkit dari kursi. Lebih baik cepat pergi dari sini.
"Tapi yang gue bilang riil, Ri!" Mulut Fauzan masih terbuka lebar.
"Iya iya iya. Bebas lo deh, Bang." Airi beranjak dari depan Fauzan. "Makasih Bang Ojan. Gue ke bawah dulu."
"Pokoknya undangannya jangan mepet! Jauh soalnya ke Surabaya!" Seru Fauzan dari mejanya dan dibalas tatapan galak dari Airi karena semua kepala di lantai 7 menoleh arahnya.
***
"Mau ke mana?" Tanya Ranu sambil menyerahkan helm. "Nggak jadi tahu telor?"
YOU ARE READING
Touchpoints
ChickLitEnemy turns into friend? Or maybe a lover? Siapa yang bisa menebak? Hari-hari Airi, F30, sebagai PM (Project Manager) salah satu aplikasi yang sedang dikembangkan oleh perusahaan plat merah sudah cukup meriah. Dengan deadline, source code, bug error...
Part 41 - Commit Point
Start from the beginning
