Part 18 - Trigger Point

Start from the beginning
                                        

Mobil akhirnya bergerak pelan meninggalkan rumah kost bercat putih dan abu-abu. Untung saja jalanan tidak terlalu macet. Dan jarak kopitiam hanya 3 kilometer dari sana.

Airi yang memegang ponsel Ranu dengan maps di layar. "Depan belok kanan," katanya memberi arah.

"Udah pernah ke situ?" Ranu memutar setir sesuai perintah temannya.

"Belum. Pernah denger aja. Tapi belum cobain."

Lalu ponsel Ranu bergetar, ada pesan masuk. Airi tidak berniat untuk membaca, tapi notifikasinya terlihat tanpa sengaja.

Tyas DevOps
Malem Nu,
mau nasi padang nggak?

Hati Airi seperti disentil. Sejak kapan Tyas memanggil Ranu dengan nama saja. Terakhir kali dia membaca pesan perempuan itu, masih memanggil dengan nama Mas Ranu.

"Umm... Ranu. Sori tadi kebaca sama gue chatnya Mbak Tyas DevOps," ujar Airi tidak enak.

Tanpa merubah ekspresi, Ranu masih melihat ke depan. "Bilang apa?"

"Nggak apa-apa gue buka?"

"Buka aja. Bacain."

Airi mengetuk layar untuk membuka ponsel yang tidak terkunci. Lalu membacakan dengan keras pesan dari Tyas.

"Malem Nu, mau nasi padang nggak?" Padahal Airi sudah mencoba tidak membuat nada sarkas atau tidak suka. Tapi yang keluar malah itu semua.

Untung saja keadaan sekitar gelap. Kacamata Ranu hanya memantulkan cahaya dari luar dan berhasil menutupi raut muka yang sedang menahan senyum mendengar suara temannya barusan.

"Oh—" Ranu terbatuk karena menahan tawa di tenggorokan. "Kayaknya itu lagi tanya besok makan siang di mana. Soalnya mau makan bareng sama yang lain."

Wajah Airi dibuang ke samping. Agar Ranu tidak bisa melihat wajahnya yang sudah ditekuk. Untung saja maskernya menutupi semua.

"Udah akrab nih sekarang? Nggak pake Mas Ranu lagi." Ternyata Airi tidak tahan untuk bertanya.

"Biasa aja." Ranu mengambil udara lewat gigi, untuk menutupi gelinya. "Nggak tau, kok beda manggilnya. Padahal umurnya lebih muda, kan?"

"Ya mana gue tau!" Suaranya terlalu ketus, bahkan untuk versi Airi yang mudah kesal.

Lalu cepat-cepat Airi mengganti reaksinya. "Maksud gue—gue nggak kenal dia soalnya," ucapnya dengan tangan bergerak bingung.

Ranu sampai harus menoleh untuk melihat air muka temannya yang berubah. Mulut Ranu terbuka lebar sekali, entah dia malah senang dengan perubahan suasana hati perempuan di sampingnya.

Tangan Airi menunjuk ke depan tiba-tiba, "Itu tempatnya di kiri," katanya untuk menutupi malu.

"Oke Ai..." Ranu menggerakkan kepala sambil menggigit bibir. Menahan sekuat tenaga tidak menggoda. Karena nantinya dia sendiri yang menjadi bahan omelan temannya.

Mobil Ranu berhenti pelan di slot parkir kosong yang tersisa 1. Airi sudah akan membuka pintu tapi suara Ranu lebih cepat mencegah.

"Tunggu. Gue ambilin jaketnya dulu." Ranu keluar dan berlari kecil ke bagasi belakang.

Airi menggeleng tidak peduli. Dia keluar dan ikut menyebelahi Ranu.

Sambil menatap sebal ke temannya, Ranu menyerahkan jaket warna abu yang masih bersih. "Cepet dipake."

Tanpa menjawab, Airi menyerahkan ponsel Ranu dulu baru memakai jaket.

Wangi parfum Ranu ternyata tertinggal di jaketnya. Dan membuat Airi mengeratkan resleting sampai atas. Seolah ingin memerangkap baunya di badan sendiri.

TouchpointsWhere stories live. Discover now