Part 18 - Trigger Point

Start from the beginning
                                        

Adimas Brian
Nang Sltd.
Kirim ke emailku.
adimas_b@sltd.com.

Airi mengetik cepat. Meskipun ada pesan baru dari Ranu Acacala lagi.

Wah. Suwon Dim.
Besok gpp?

Ranu Acacala
G badminton.
Mau keluar?
Makan deket kosan?

Ibu jari Airi melayang di atas layar. Dia harus memberitahu temannya ini tentang lowongan kerja yang berencana dilamar.

Boleh.
Ada yg mau gue kasih tau!

Airi kembali menatap layar laptop, mengecek semua kelengkapan CV-nya. Meskipun belum tentu diterima, tapi setidaknya sudah berusaha menyelamatkan diri dulu.

Adimas Brian
Aman. Kirim ae.

Suwon Dim!
(Makasih, Dim!)

Airi meletakkan lagi ponsel di samping. Tidak lama, layarnya menyala lagi.

Ranu Acacala
Apaan?

Nanti aja.
Lo bawa motor?
Bawa helm g?

Ranu Acacala
Mobil kok.

Oke! See you, Ca!

Ranu Acacala
Heh!

***

Ranu sampai di depan kost Airi setelah jam setengah tujuh malam. Airi, dengan jaket tebal seperti akan naik ke gunung, keluar dengan wajah lebih segar daripada kemarin. Tidak lupa memakai masker agar tidak menularkan virus ke temannya.

Airi segera masuk ke dalam mobil Ranu sebelum temannya itu sempat keluar untuk menyapa.

"Udah sembuh banget kayaknya?" Tanya Ranu dengan wajah senang. "Nggak apa-apa makan di luar?"

Airi mengangguk kuat. "Gas! Gue udah nggak apa-apa." Kepalanya menoleh ke Ranu. "Mau makan di mana?"

"Ters—"

"Nggak! Nggak boleh terserah! Kemaren gue terus yang nentuin." Telunjuk Airi menunjuk dada Ranu. Dan membuat temannya mundur ke belakang.

"Gue nggak tau daerah sini, Ai..." Ranu menyingkirkan tangan Airi dengan punggung tangannya.

"Bukan alesan! Percuma Manager IT nggak bisa pake hapenya buat googling."

Senyum Ranu lebar melihat temannya sudah sepenuhnya bertenaga. Tidak seperti kemarin yang terlihat kasihan dan lemas sekali. "Iya Mbak Aya. Sabar..." katanya sambil mengeluarkan ponsel.

Airi memicingkan mata. Karena sebenarnya dia tidak tahu mau makan di mana. Sambil menunggu Ranu mencari tempat makan, Airi melepas jaket tebalnya karena sekarang badannya gerah sekali.

"Nggak usah dilepas. Pake jaket aja. Dingin habis hujan." Ranu menahan Airi melepas seluruh jaketnya.

"Panas lho..."

Decak kesal keluar dari mulut temannya. "Ya udah, nanti pake punya gue aja biar nggak kedinginan. Lebih tipis dari itu."

"Mana?" Tangan Airi terbuka.

Kepala Ranu mengedik ke bagian belakang mobil. "Nanti aja pas mau turun."

Airi menarik tangannya. "Jadi makan di mana Bang Aca? Lama ih laper!"

"Ini ada kopitiam gitu. Mau?"

"Mau. Yok." Airi menghadap depan lagi.

"Selalu tidak ada penolakan." Suara Ranu padahal pelan tapi bisa didengar Airi. Tentu saja pukulan keras diterima Ranu di bagian lengannya.

TouchpointsWhere stories live. Discover now