Part 30

36.8K 2.3K 51
                                    

Sinar matahari menyusup malu-malu di sela gorden cerah berwarna krem, mengenai sebagian wajah tampan yang saat ini tengah bergelung di ranjang besar dengan di selimuti bedcover berwarna cokelat tua. Beberapa menit kemudian lelaki itu mengernyitkan alis dan mengerjapkan matanya perlahan lalu bangkit dari posisinya yang selalu tertidur menelungkup dan bertelanjang dada.

Setelah beranjak turun dari ranjangnya, Alex pun melangkah perlahan ke kamar mandi lalu mencuci muka dengan air dingin di westafel sembari mengamati wajahnya yang kini penuh dengan guratan-guratan tanda kelelahan. Terdapat lingkaran hitam di kantung mata dan bakal janggut di rahangnya. Membuatnya nampak seperti lelaki yang malas mengurus diri sendiri atau lelaki yang tidak peduli dengan penampilannya lagi.

Sembari mendesah dan menyandarkan tubuhnya perlahan di dinding keramik berwarna putih di belakangnya, dia pun kembali memperhatikan wajahnya di cermin dan memejamkan matanya dengan erat. Mencoba mengusir rasa hampa yang selalu menemaninya beberapa hari belakangan ini.

Tiba-tiba benaknya kembali mengingat Verynne, wanita yang selalu ada dalam mimpi dan angan-angannya. Wanita yang selalu dia rindukan dan selalu dia cintai. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, begitu menyedihkan dan menantikan Verynne akan membalas cintanya. Berharap wanita itu bisa mempercayai ketulusan cinta yang dia miliki.

Selama ini Alex diam bukan berarti dia menyerah. Dia hanya teringat dengan kata-kata Briand yang masih terngiang hingga kini di telinganya.

'Kau seharusnya berkaca pada dirimu dan ubahlah sikapmu terlebih dahulu. Aku tidak akan mungkin menyerahkan putriku begitu saja di tanganmu sebelum kau bisa membuktikan bahwa kau memang pantas bersanding dengan putriku.'

Mata Alex terbuka ketika ia mengingat kalimat yang Ayah wanita itu katakan. Kalimat yang menjadi pelecut dan cambuk untuknya. Kalimat yang entah dia sadar atau tidak, berhasil mengubahnya kembali ke sikapnya yang seperti dulu. Tapi tidak dengan sifat pendiam yang kini dia miliki. Alex sendiri pun tak tahu pasti kapan dia menjadi pendiam seperti ini. Alex hanya tahu, kalau dia sudah tak memperdulikan apa yang terjadi di sekitarnya termasuk kedatangan dan permintaan maaf Raphael dua hari yang lalu.

~flashback on~

Raphael menautkan tangannya dengan tangan Elizabeth, menunjukkan kalau kedua orang itu sudah bisa saling memahami dan memaafkan. Membuat Alex tidak tahu harus merespon seperti apa hubungan yang baru terjalin antara Ibunya dan lelaki yang dia benci itu.

Tapi ketika dia menatap wajah Raphael yang sangat menyedihkan -persis sepertinya- seketika hatinya langsung iba. Itu tentu perasaaan baru yang timbul di hatinya untuk Raphael. Perasaan yang entah mengapa membuatnya bisa merasakan pesakitan yang tengah di derita lelaki itu. Meski dia ingin sekali marah karena keterlibatan Ibu Raphael dengan kecelakaan yang nyaris membuat nyawa Ibunya melayang, Namun Alex tak menampik kalau dia pun bisa merasakan beratnya hati Raphael ketika lelaki itu bilang bahwa dia akan tetap membawa Ibunya ke pengadilan, yang artinya lelaki itu siap menerima hukuman apa saja yang mungkin di limpahkan pada Ibunya.

Setelah merasa kehadirannya tak di butuhkan di sana, Alex pun berniat meninggalkan ruang tengah sebelum Raphael memanggilnya dengan pelan.

"Alex..."

Alex menoleh dan memasang wajah sedatar mungkin ke arah Raphael.

Kemudian lelaki itu beranjak mendekati Alex dan berhenti tepat di depannya. "Apa kau....." Raphael berdehem pelan. "Maksudku apa kau mau memaafkan Ibuku?"

Alex bergeming. Tak menyangka Raphael berani membicarakan hal ini padanya di depan Ibu dan kakaknya. Membuat kedua wanita itu melayangkan tatapan penasaran sekaligus permohonan agar dia mau memaafkan Raphael dan Ibunya yang kriminal. Tapi Alex tahu, tak semudah itu dia bisa memaafkan perbuatan kejam Claudia hingga membuat Ibunya menjadi cacat seperti ini. "Kau mungkin bisa mendapatkan maaf dari Ibu dan kakakku, tapi belum tentu kau bisa semudah itu mendapatkan maaf dariku." gumamnya dengan nada datar. Seakan ia mengucapkan kalimat itu tanpa emosi sedikit pun.

Eternal Sunshine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang