Part 13

40K 2.5K 45
                                    

William's Mansion, Liverpool, United Kingdom

Jam menunjukkan pukul 1 malam ketika Raphael memasuki kediamannya dengan langkah mantap dan maskulin. Ia berjalan menyusuri koridor luas mansion yang sudah 5 tahun belakangan ini ia tempati bersama Ibu dan Ayahnya. Rumah yang nampak mewah dan elegan namun tidak dengan keadaan di dalam rumah itu sendiri. Rumah itu begitu sepi, seakan kurang sentuhan kasih sayang dan ia bertaruh rumah itu akan terus terasa hampa meski telah di huni oleh 20 pelayan dan 15 bodyguard yang selalu berkeliaran menjaga mansion ini.

Suara derap langkah kakinya terhenti ketika ia sampai di mini bar yang terletak persis di sebelah ruang makan. Dengan perlahan, ia meraih kaleng brandy dari lemari pendingin serta menyesapnya pelan-pelan seraya menghempaskan tubuhnya di atas kursi tinggi mini bar tersebut. Pikirannya kembali mengingat alasan ia datang ke rumah Verynne petang tadi.

Alex, pria angkuh dan keras kepala yang berstatus adiknya itu semakin hari semakin menguras pengendalian diri yang ia miliki selama ini. Gara-gara pria emosional itu, usahanya untuk memberitahu Verynne gagal total. Padahal ia ingin mengatakan sesuatu yang mungkin sangat di nantikan gadis itu selama hidupnya. Ia ingin mengakhiri penantian gadis itu dan melihat rona kebahagiaan menghampiri wajah cantiknya lagi. Kehidupan gadis itu terasa menyedihkan walaupun ada Fred dan Louisa yang telah menjadi keluarganya selama ini.

Lalu Raphael tertawa miris sembari memejamkan matanya erat-erat. Apa bedanya denganku? Jelas kehidupannya hampir sama denganku. Menyedihkan.

Maaf kalau permintaanku lancang padamu. Jika kau mau terbuka padaku, aku bisa membantumu... Mungkin?

Mata Raphael terbuka seketika saat ia mengingat kalimat yang di lontarkan Louisa semalam. Mendadak tubuhnya menghangat seperti terserang demam. Demam yang sudah bertahun-tahun sangat ingin ia rasakan. Nampaknya Louisa bisa membuat hati bekunya mencair secara perlahan-lahan. Wanita penuh semangat, cantik dan anggun itu sangat berbeda dari wanita-wanita yang dulu pernah ia kencani. Tak ada wanita yang sangat perhatian padanya termasuk Ibu yang lebih mementingkan harta dan keegoisannya sebagai istri sah William.

"Raph...? Kau baru pulang?"

Raphael menoleh ke arah pintu dan menemukan Ibunya berdiri mengenakan jubah tidur yang menutupi seluruh tubuhnya. Bukannya menjawab, ia malah mengacuhkan kehadiran Claudia dengan tetap fokus pada kaleng brandy yang belum ia habiskan.

Claudia mendekati putranya dengan perlahan. Ketika sudah berada di sebelah Raphael, ia mengerutkan kening melihat pakaian Raphael yang sangat berbeda dari sebelumnya. "Kenapa kau memakai celana jeans robek dan jaket kulit yang sangat jelek itu?" ia pikir pakaian itu berhasil menutupi status dan kharisma Raphael yang selama ini begitu dominan.

Raphael memperhatikan pakaiannya sekilas. "Kenapa? Ada yang salah?" tanyanya tak peduli. Tadi malam, ia mampir ke suatu tempat setelah pulang dari rumah Verynne. Sialnya, ia lupa mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih layak di kenakan.

"Tentu saja salah. Apa yang akan orang lain pikirkan jika tahu kalau putra William memakai baju serampangan seperti ini? Kau tidak malu?" ucap Claudia sinis. Ia sebal dengan sikap putranya yang selalu bertentangan dengannya itu.

Raphael menghembuskan nafasnya sejenak. "Tidak ada yang memperhatikan kalau aku anak William, Bu." ia malas beradu argumen dengan Ibunya di saat ia ingin menenangkan pikirannya.

"Lalu, dari mana saja kau? Kenapa kau selalu pulang tengah malam seperti ini?"

"Mom please, Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu."

Claudia menatap dalam putranya. "Sebenarnya apa yang kau kerjakan, Raph? Kenapa kau selalu seperti ini? Tak pernah mau bercerita pada Ibumu sendiri?"

Raphael menandaskan brandy-nya, lalu bangkit dari kursinya. "Tidak ada yang harus di ceritakan Bu. Aku lelah. Aku mau tidur."

Eternal Sunshine Where stories live. Discover now