Aku menyalakan senter sebagai penerangan di tempat tinggalku ini. Banyak orang juga yang tinggal disini. Nasib mereka hampir sama denganku, tidak punya keluarga, atau mereka telah diusir. Dulu setelah ayah dan ibu meninggal, aku dan Em tidak tau harus berbuat apa. Tidak tau harus diapakan rumah-besar-ku ini. 2 minggu setelah ayah dan ibu meniggal, para marinir datang mengepung rumahku. Aku melindungi adikku yang menangis waktu itu. Aku sama sekali tidak rela kalau rumahku di segel. Rumah-mewah-ku.

"Hey, Em."

"Darimana saja kau?"

Aku menghampirinya dan duduk disampingnya, dia sedang membereskan buku-buku yang sering ia baca.

"Aku punya oleh-oleh untukmu."

"Apa? Sebuah botol bekas untuk kita minum lagi?"

Segera, aku mengeluarkan makanan kecil itu dari kantong celanaku. Makanannya sudah remuk karena kutaruh di kantong. Mata Em membulat melihat apa yang berada di tanganku saat ini.

"Chocofish!" Em mengambil kue itu dengan cepat. Kue coklat berbahan daging ikan. Kedengaran aneh memang, tapi rasa kue ini enak dan mahal pula. Em memakannya dengan lahap, aku hanya menatapnya senang. Dia tidak peduli kalau aku mengambil kue itu dari sisa kedai di pasar malam tadi.

"Ini untukmu."

Aku menatap Em, dan dia menaruh sisa kuenya di telapak tanganku. Dia tersenyum dan memaksaku untuk memakannya. Dia tau kalau aku belum makan dari tadi sore. Ya, kami hanya makan sekali sehari. Itu juga makanannya hanya secuil saja.

"Tidurah, besok kau harus melempar koran-koran, kan?"

Dia mengangguk dan menguap dengan lebar. Aku mencium keningnya dan menyelimutkannya dengan kain yang sudah usang. Mungkin itu sudah cukup bagi Em.

Aku berjalan menuju meja kecil di sudut ruangan. Dimana diatas meja itu terdapat banyak foto-foto kenangan keluargaku. Dari aku kecil hingga umurku 14 dan Em masih 8 tahun. Di foto itu, semua tersenyum bahagia. Tidak menyangka kalau semuanya akan menjadi seperti ini. Mereka telah tiada, dan aku menjadi gelandangan. Dulu ayah adalah seorang arsitek yang terkenal, banyak gedung-gedung yang sudah dia gambar. Tapi, mungkin gedung itu sudah tinggal nama. Semua gedung yang ayah buat sudah hancur lebur karena peperangan itu. Semuanya mengungsi di sini, di California.

Para marinir sibuk mengamankan wilayah kami agar terhindar dari peperangan yang memakan korban jiwa seperti dulu lagi.

Ayah ingin sekali aku menjadi orang yang pemberani dan tegas. Tidak peduli kalau aku perempuan. Ayah dan ibu berpesan untuk selalu menjaga adikku.

Ayah, ibu, aku merindukanmu.

Paginya aku telah terbangung dengan tempat Em sudah kosong. Tas kurirnya juga sudah tidak ada di sampingnya. Mungkin dia sudah pergi. Aku melihat matahari, mungkin sekarang sudah sekitar jam sembilan pagi. Aku bangun dan merenggangkan badanku, sakit karena tidur di kayu yang keras. Tapi aku juga sudah terbiasa.

Aku mengambil botol-botol kosong yang tergeletak di sudut ruangan. Aku turun kebawah untuk mengambil air danau belakang. Setelah sampai, aku membasuh wajahku. Walaupun ini danau yang sudah tercemar, namun aku dan Em sering meminumnya. Orang di gedung bekas itu juga sering meminumnya. Ya, karena tidak ada biaya untuk membeli air bersih yang harganya bisa untuk makan seminggu. Saat tengah mengisi botol itu, aku mendengar teriakan dari arah belakangku. Aku berdiri dan menutup botolku.

Karena penasaran, aku berlari ke gedungku. Para marinir.

"Tolong! Jangan usir kami!"

"Maaf, ma'am. Kami harus!"

Aku terkejut, tolong jangan lagi.

"Ada apa ini?"

Salah seorang berpakaian seragam itu maju menghadapku, wajahnya tegas dan berbadan tegap. Walaupun umurnya sudah agak tua.

The MissionWhere stories live. Discover now