Entah. Diana hanya tak bisa memalingkan pandangan ke arah lain.

"Bagus!" Komentar Alfian sepuluh menit kemudian, yang sukses membangunkan Diana dari keterpesonaannya. Alfian mendengak lalu meletakkan kembali folder yang sudah selesai diperiksa itu ke atas meja kerja. "Lalu, bagaimana masalah pembiayaan untuk pembangunan Hotel and Resort yang di Batam?"

Tergagap, Diana mengerjap beberapa kali. Berusaha mengembalikan fokus dan mencerna pertanyaan Alfian yang sama sekali tak bisa ia tangkap. "Maaf, Pak. Bisa pertanyaannya diulang?" Sepasang kelopak mata Diana tepejam sesaat seiring dengan kepalanya yang tertunduk malu. Oh, dia tak pernah sekacau ini saat berhadapan dengan atasan.

Samar-samar, Diana mendengar helaan napas berat nan panjang dari seorang di hadapannya sebelum pertanyaan tadi kembali terdengar. "Bagaimana masalah pembiayaan mengenai pembangunan Hotel and Resort di Batam?"

Kepala Diana terangkat untuk menjawab. "Sejauh ini lancar, Pak. Hanya saja, selama beberapa hari kemarin Batam diguyur hujan cukup deras sehingga membutuhkan sekitar dua puluh pekerja tambahan agar pembangunan bisa selesai sesuai kontrak." Terangnya. "Maka dari itu, perusahaan harus menambah sedikit biaya lagi sebagai upah bagi mereka." Diana mengakhiri penjelasannya dengan senyum simpul.

Alfian mengangguk beberapa kali, sebagai tanda bahwa ia mengerti. "Baiklah kalau begitu. Kamu boleh kembali."

Tanpa sadar, Diana menghela napas lega. Ia memang harus cepat-cepat menghilang dari ruangan ini agar jantungnya selamat. Buru-buru gadis itu mengangguk sopan dan berbalik dengan gerakan secepat yang ia bisa. Baru beberapa langkah, kaki Diana kembali terpaku pada lantai granit berlapis karpet biru yang kini ia pijak, saat suara Alfian kembali terdengar. Memanggil namanya.

"Ana?!"

Dalam hati, Diana mengutuk mulut sang atasan yang lagi-lagi menyebut 'Ana' sebagai panggilan untuknya. Sebab karena nama panggilan itu, kini jantung Diana kembali berontak dengan tempo melebihi batas normal. Menggigit bibir, ia berbalik badan kembali.

"Y—ya, Pak?"

Alfian diam sesaat. Ia terlihat memperhatikan wajah Diana dengan tatapan lebih intens. "Kamu sakit?" tanyanya tiba-tiba, membuat tangan Diana terangkat secara refleks dan meraba wajahnya sendiri. "Kamu terlihat sedikit ... pucat," lanjut Alfian.

Yang ditanya segera menurunkan kembali tangannya setelah memastikan diri baik-baik saja seraya berdehem. "I'm fine, Sir." Jawabnya dalam bahasa asing. Berharap dengan itu, Alfian akan mengerti kalau ia sudah jengah di ruangan mewah ini.

Alfian menurunkan punggungnya pada sandaran kursi. "Kalau begitu, apa kamu ...,"—jeda sesaat. Direktur Keuangan Galileo's Group itu tampak berpikir sejenak sebelum melepas suaranya—"... gugup?"

Diana menelan ludah. Ia memang gugup saat ini. Sangat gugup. Tapi, tidak mungkin dia mengatakan 'iya'. Setidaknya, Diana tidak akan lagi menampakkan perasaannya segamblang dulu dan menjadi seorang gadis bodoh yang selalu mengejar. Karena kini, Diana adalah gadis dewasa yang tak akan menjadikan cinta sebagai patokan dalam mencari pasangan dan mengukur tingkat kebahagiaan.

Dengan berani, Diana menegakkan punggungnya dan menantang tatapan tajam Alfian. "Tidak, Pak!"

Alfian sedikit menelengkan kepalanya ke kiri, meneliti jawaban tegas yang terlontar begitu saja dari bibir penuh Diana. Seringai tipis itu muncul saat ia telah menemukan sesuatu yang dicari dari mimik muka bawahannya. Alfian mendengus, berusaha untuk tidak menertawakan akting Diana yang sungguh buruk.

Beberapa hari yang lalu, Alfian memang tak bisa membaca apa pun dari ekspresi wajah Diana. Terlalu datar dan alami. Tapi kini? Oh, bahkan pipi gadis itu sudah semerah tomat busuk.

(Not) a Perfect LifeWhere stories live. Discover now