"Aku nggak apa-apa." Gadis itu memaksakan seulas senyum yang pasti gagal.

"Benarkah? Tapi tadi—"

"Aku nggak apa-apa, Bi. Beneran. Tadi cuma sedikit kaget aja," potongnya, menyela kalimat Abi yang belum tergenapi.

"Kalau begitu, biar aku antar pulang."

Diana gelagapan. Diantar pulang Abi adalah harapannya sejak lama. Tapi, mengapa hal itu terkabul saat ini? Saat Diana hanya ingin sendiri. Menggigit bibir, ia pun menggeleng pelan. Menolak setengah hati. "Nggak usah."

"Tapi, kamu—" Mata Abi menyipit. Memperhatikan Diana dari ujung kepala sampai kaki. Dari sudut pandangnya saat ini, Diana jelas tidak baik-baik saja.

"Aku baik-baik aja." Keukeuh Diana keras kepala. Ia berputar beberapa kali di depan Abi untuk meyakinkan pemuda itu. Gerakan yang sukses membuat kepalanya semakin pening. Berusaha menahan ringisan, ia kembali tersenyum. "Aku duluan." Buru-buru ia menarik napas sembari melambaikan tangan dengan ceria. Lalu bergegas pergi sebelum Abi semakin menghawatirkan keadaanya.

∅∅∅

Dulu, bangunan ini adalah istananya. Dulu, bangunan ini adalah surganya. Dulu, bangunan ini adalah minpinya.

Dulu ... Dulu ... Dulu ....

Iya. Dulu!

Sudut hati Diana terasa ditikam godam saat memori masa lalu tentang rumah ini menyeruak. Menyerbu kepalanya yang terasa semakin pusing.

Dulu ....

Mata Diana terpejam. Meresapi rasa rindu akan kesesakan kebahagiaan yang pernah ia cecap. Rumah penuh cinta, kini bukan miliknya lagi. Bibir Diana melengkung. Membentuk senyum miris menyadari kenyataan ini. Kenyataan yang tak lagi berpihak padanya.

Mengabaikan tenggorokan yang terasa perih, tangan kanan Diana terangkat. Dengan sedikit gemetar, ia memaksa otot-otot lengannya untuk menekan tombol kecil  didekat pintu utama yang masih tertutup.

Bunyi ting-tong samar-samar terdengar di telinganya. Ia memencet lagi dan lagi, hingga sepasang mata itu bisa melihat daun pintu ganda di hadapannya perlahan berayun terbuka. Kening Diana berkerut dalam. Ia mengerjap beberapa kali untuk menormalkan pandangannya yang mulai mengabur. Keruatan di dahi Diana semakin banyak, saat ia melihat seseorang yang tak lagi asing berdiri tegap di ambang pintu.

"Ana?!"

Dan gadis yang disapa tak lagi mampu menahan kegelapan yang datang menarik kesadarannya. Terakhir yang Diana rasakan adalah; sepasang tangan besar  menahan pinggangnya erat-erat.

∅∅∅

Kelopak mata Diana bergerak perlahan. Ia mengernyit, berusaha menghalau rasa sakit saat serbuan cahaya menyerang retinanya tanpa ampun. Membuat kelopak itu kembali menutup sesaat, demi terbuka kembali dengan penglihatan yang lebih baik.

Menyadari tempat ini bukan miliknya, Diana memaksakan diri untuk bangun. Ia beringsut untuk menyandar ke kepala ranjang. Mencari penopang bagi kepalanya yang masih terasa berat. Gadis itu tercenung. Bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini?

Menegadahkan kepala pada langit-langit kamar, Diana mulai mengingat kejadian beberapa jam lalu. Sepasang mata bulat itu terbelalak saat kejadian ganjil berkelebat dibenaknya.

Alfian. Apa rumah ini ....

Rasa hangat di tangan kanannya berhasil mengalihkan perhatian Diana. Gadis itu menoleh dan mendapati Doni yang terlelap di sampingnya dengan menggenggam tangan sang kakak begitu erat.

Diana tersenyum, namun tak lama. Begitu sadar mereka berada di tempat yang tidak sharusnya, kepala gadis itu bergerak secara reflek. Berputar memperhatikan ruangan bernuansa abu-abu dan putih gading. Ada lemari panjang menjulang tinggi didinding sebelah kanan, jendela besar tertutup tirai di sebelah kiri, dan tivi berlayar datar berhadapan dengan ranjang. Ada satu pintu di dekat lemari, yang Diana tebak adalah pintu kamar mandi. Serta satu lagi pintu, dua meter dari arah tivi yang merupakan pintu keluar. Tanpa ditanyapun, Diana tahu bahwa ini adalah kamar tamu. Ruangan enam kali enam meter ini adalah tempat Diana bersembunyi saat sedang marah. Dulu.

Tak ingin bernostalgia lebih lama, Diana segera melarikan matanya pada jam dinding yang menempel beberapa meter di atas tivi empat puluh inc dalam ruangan ini. 12:20 am.

Oh, Tuhan!!!!

Diana meloncat dari ranjang. Dia harus segera pulang. Tapi, bagaimaa cara membangunkan Doni? Melihat tidur sang adik yang begitu nyenyak, membuat Diana tidak tega.

Berusaha mencari jawaban, ia keluar dari kamar. Diana berjalan menuju tangga. Berpegangan pada teralis besi, mata gadis itu bergerak memperhatikan ruang tengah dari lantai dua. Tatapannya berubah sayu saat memperhatikan desain interior rumah ini. Semuanya tampak berubah. Penataan barang-barang di rumah ini tak lagi sama. Bahkan cat dindingnya pun sudah berbeda.

Perhatian Diana kembali teralihkan saat sayup-sayup indra pendengarnya menangkap sesuatu.

Merasa tertarik, sepasang kakinya mulai melangkah. Mencari sumber suara yang terdengar dari sebuah ruangan dipojok bangunan lantai dua. Suara tabuhan drum itu kian jelas ketika kakinya berjarak satu meter dari arah sebuah daun pintu yang setengah terbuka. Ragu-ragu, Diana melanjutkan gerak tungkainya, dan kembali berhenti saat menemukan objek yang dicari.

Gadis itu mematung. Memperhatikan sesosok tampan di dalam ruangan yang dulu merupakan perpustakaan pribadi Maura. Duduk tenang di belakang seperangkat alat musik yang kini ditekurinya. Tanpa sadar, sudut-sudut bibir Diana terangkat membentuk sebuah senyum kecil. Tabuhan yang berasal dari drum itu terdengar asal. Namun entah mengapa, kuping Diana nyaman mendengarnya.

Akan tetapi, senyum gadis itu perlahan lenyap saat pemandangan di hadapannya berubah. Yang terlihat kini bukanlah gambar Alfian dengan seperangkat drum dalam sebuah kamar Melainkan seorang siswa tampan berseragam putih abu-abu. Memukul drum dengan santai di ruang musik sekolah yang sepi.

Diana menelan ludah saat kepala Alfian terangkat. Pandangan mereka bertemu. Dan pemuda itu seketika menghentikan permainannya.

De  javu.

Keringat dingin mengalir dari pelipis Diana. Kepala gadis itu diserang rasa sakit yang jauh lebih menyiksa daripada sebelumnya. Tak ada yang mampu ia dengar lagi selain debaran jantung yang terasa menggila.

Sakit.

Tangan Diana terangkat secara reflek. Memegang bagian kepalanya yang berdenyut.

"Ana?" Alfian melempar stik-stiknya sembarangan sembari berlari menghampiri Diana dan langsung menyentuh bahu gadis itu. "Kamu nggak apa-apa?"

Diana mendongak. Memperhatikan Alfian yang kini menatapnya khawatir. Dan dari jarak sedekat ini, ia bisa memperhatikan detail wajah rupawan itu. Rahang tegas, mata setajam elang bernaungkan alis setebal ulat bulu, berpadu dengan hidung mancung dan bibir menawan berwarna kecokalatan.

Wajah ini ... mengapa terlihat begitu familier?

"Ana?"

Diana mengerjap beberapa kali. Berusaha mengumpulkan kesadarannya kembali. Sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan bibir membentuk senyum terbaik yang lagi-lagi pasti gagal. "Aku— e ... saya-saya ingin pulang ...."

***

(Not) a Perfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang