Bawa Keponakan

1.3K 36 0
                                    

“Mama sama Ayah sudah pulang ya? Kok Mama nangis? Harusnya Mama senang pulang dari bioskop. Tapi kenapa Mama malah menangis? Apa ada orang yang sudah menyakiti Mama? Siapa, Ma?” tanya Rehan yang mengubah posisinya menjadi duduk. Matanya menatap cemas pada Alana dan jemarinya bergerak menyentuh pipi Alana yang masih lembab karena air mata.
Alana menggeleng sambil tersenyum, kemudian menangkap tangan Rehan yang hinggap di pipinya.
“Tidak kok, sayang. Tidak ada siapapun yang menyakiti Mama. Mama menangis karena ternyata film yang Mama tonton sangat sedih. Sampai-sampai Mama menitikan air mata kalau teringai lagi dengan filmnya,” dusta Alana tapi Rehan yang lugu percaya saja.
“Jadi Mama tidak nonton film kartun? Rehan pikir, Mama sama Ayah akan nonton film kartun.”
Alana terkekeh. Mengusap rambut Rehan yang terlihat acak-acakan setelah berbaring.
“Tadinya Mama memang mau nonton film kartun, tapi ‘kan Rehan tidak ikut. Jadi kami pilih saja film yang lain,” ucap Alana yang kemudian membuat Rehan menyengir lebar. Sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Iya, Ma. Rehan ngantuk sekali tadi. Jadi tidak bisa ikut Mama sama Ayah nonton film deh. Maafin Rehan ya Ma. Lain kali kalau kita nonton lagi, Rehan akan berusaha menahan kantuk. Biar kita bisa nonton film bertiga,” seru Rehan sambil menampilkan senyum manisnya pada Alana.
Alana hanya membalasnya dengan senyum simpul, kemudian ia menarik Rehan ke dalam pelukannya. Mengusap rambut cepak Rehan dengan gerakan yang lembut.
‘Mama justru bersyukur karena kamu tidak ikut kami ke bioskop, Rehan. Kalau tidak, kamu pasti akan bertemu dengan Papa kamu. Dan Mama tidak mau itu terjadi. Mama tidak siap jika Papa kamu harus tahu tentang keberadaan kamu,’ lirih Alana dalam hatinya.
***
Pagi ini, Danu harus kembali pergi ke Jogja. Karena masa cutinya sudah habis. Padahal Danu masih sangat berat saat harus kembali meninggalkan Rehan dan Alana. Danu masih merindukan kedua orang yang disayanginya itu.
Tapi mau bagaimana lagi? Danu pun memiliki sebuah tanggung jawab yang besar di Jogja sana.
“Lain kali kalau ngambil cuti lagi, datanglah kemari Danu. Rehan dan Alana pasti akan senang. Pintu rumah ini selalu terbuka lebar untuk kamu,” ucap Winarti pada Danu yang baru saja menutup resleting tas punggungnya yang berisi pakaian bersih.
Danu menoleh pada Winarti, kemudian membalas senyum wanita paruh baya itu. “Tentu saja, Bu. Kalian semua sudah seperti keluarga bagiku. Apalagi Alana dan Rehan sudah seperti rumah yang menjadi tempatku pulang. Aku pasti akan sangat merindukan kalian.”
Saat itu Alana datang dan menyuguhkan segelas kopi di atas meja ruang tamu. Tentu saja kopi itu untuk Danu. Yang akan berangkat sebentar lagi.
“Minum dulu kopinya. Karena kamu tidak mau teh hangat jadi kubuatkan kopi saja,” ucap Alana. Danu mengangguk dan menatapnya seraya melemparkan senyum manis.
“Terimakasih banyak, Alana. Kebetulan sekali, aku memang sedang ingin minum kopi,” kata Danu yang meraih cangkir kopinya, meniup uapnya yang masih mengepul, lantas kemudian menyesapnya perlahan-lahan.
Alana mendudukan dirinya di samping Winarti. Tepatnya di sebuah kursi panjang yang berseberangan dengan kursi yang diduduki Danu.
“Oh iya. Mana Rehan? Apa dia sudah mandi? Nanti dia bisa terlambat ke sekolah loh, Alana.” Danu meletakan cangkirnya dan memandang Alana dengan raut bertanya.
“Dia sudah rapi. Hanya tinggal mengenakan sepatunya. Biar aku saja yang mengantar Rehan ke sekolah pagi ini. Kamu tidak perlu risaukan dia. Apalagi kamu akan berangkat ‘kan,” kata Alana. Dan Danu menghembuskan napasnya pelan. Tergambar raut kecewa di wajahnya.
“Padahal aku ingin sekali mengantar Rehan ke sekolah. Tapi sepertinya kamu benar. Aku memang harus berangkat pagi-pagi,” sahut Danu lalu melirik kearah arloji di tangannya sebentar.
Hanya tinggal sepuluh menit lagi ia berangkat ke Jogja. Ketika itu suara cempreng Rehan terdengar memekikan telinga. Bocah itu keluar dari kamarnya dan berlari menghampiri Danu.
“Ayah! Ayah! Nanti Ayah akan cuti lagi ‘kan? Nanti kita akan ketemu lagi ‘kan, Yah?” tanya Rehan yang merangkulkan kedua tangannya di leher Danu. Sementara Rehan sendiri duduk di atas pangkuan lelaki tampan yang ia panggil ayah itu.
“Rehan! Jangan seperti itu, sayang? Tolong turun dari pangkuannya Ayah Danu,” suruh Alana menegur sikap Rehan yang terkadang memang kelewat manja pada Danu.
Rehan mengangguk. Hendak turun dari atas paha—Danu. Tapi Danu menggelengkan kepalanya dengan tegas.
“Tidak apa-apa, Alana. Biarkan saja seperti ini.”
“Tapi dia sudah berat, Danu,” protes Alana. Dan Danu masih menggelengkan kepalanya, kali ini sambil terkekeh pelan.
“Rehan tidak berat. Kalau kamu yang aku pangku, baru akan terasa berat.” Rehan dan Winarti juga ikut tertawa mendengar ucapan Danu. Sementara Alana hanya bisa mendesah pelan, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Alana memang tidak akan menang jika sudah berdebat dengan Danu. Lelaki itu selalu tahu cara yang tepat untuk mematahkan ucapan Alana.
“Rehan. Ayah harus pulang dulu ke Jogja. Tapi Ayah janji, di lain kesempatan kita pasti akan bertemu lagi. Nanti Ayah akan mengambil cuti yang banyak agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama kamu dan Mama Alana.” Danu menjelaskan. Sekaligus menjawab pertanyaan Rehan yang tadi sempat terpotong oleh Alana.
Rehan tersenyum mengangguk. Kemudian mengerjapkan matanya pada Danu.
“Tapi nanti kalau kita jadi pergi ke bioskop lagi. Biar Rehan saja yang pilih filmnya ya, Yah. Soalnya semalam Mama Alana menangis waktu ke kamar Rehan. Kata Mama filmnya terlalu sedih,” ucap Rehan yang seketika membuat Alana langsung menundukan pandangannya. Menyembunyikan wajahnya. Enggan menatap Danu yang kini sudah menatap Alana dengan kening yang berkerut.
Winarti juga terheran mendengar ucapan Rehan barusan. Tidak biasanya Alana senang menonton film sedih.
“Mama Alana menangis?” tanya Danu memastikan. Dan Rehan mengangguk mengiyakan.
‘Sudah aku duga, kamu pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Alana. Kamu menyembunyikan tangis dan kesedihan kamu. Tapi apa yang membuat kamu menangis semalam?’ batin Danu bertanya-tanya sambil matanya lurus menatap nyalang pada Alana yang masih enggan menatapnya.
***
Andra baru saja bersiap akan berangkat kerja, stelan jas dan kemejanya sudah terbalut rapi di tubuhnya yang kekar dan jangkung.
Sembari melangkahkan kaki panjangnya menuruni anak tangga, Andra mengecek ponselnya siapa tahu ada pesan penting yang masuk.
Namun ketika langkahnya tiba di anak tangga terakhir, seorang anak kecil yang berseru memanggilnya membuat kedua alis Andra saling bertaut bingung.
“Selamat pagi Om Andra!” sapa bocah perempuan itu yang Andra taksir usianya mungkin sekitar tujuh tahun.
“Siapa kamu? Mengapa ada di rumahku?” tanya Andra heran. Bola mata bocah itu mengerjap-erjap dengan lucu.
“Dia Evelyn. Dia keponakanku, Ndra,” jawab Sherly yang menghampiri Andra dari ruang tamu. “Kakakku sedang ada urusan. Jadi hari ini aku yang harus mengantarkan Evelyn ke sekolah,” lanjut Sherly memberitahu.
“Lalu kenapa tidak kamu bawa saja dia ke sekolah?” Andra menaikan sebelah alisnya.
Sementara Evelyn hanya memerhatikan kedua orang dewasa itu dengan wajah bingung.
“Kan aku nunggu kamu, sayang,” sahut Sherly dengan enteng.
“Aku?” Andra menunjuk dirinya sendiri. Sherly mengangguk antusias.
“Ya. Memangnya Tante Nita belum bilang ya sama kamu. Kalau hari ini kamu harus nemenin aku ngantar Evelyn ke sekolahnya. Karena aku tidak mau pergi sendirian, Ndra. Jadi aku dan Evelyn ikut mobil kamu ya.” Sherly mulai menggunakan nada bicaranya yang manja. Dan hal itu membuat Andra mendesah geli dalam hati.
Andra mengusap wajahnya. Merasa terganggu dengan kedatangan Sherly. Bukannya Andra keberatan mengantar keponakan Sherly itu ke sekolah. Hanya saja Andra merutuk dalam hatinya. Bisakah sehari saja Sherly tak memunculkan batang hidungnya di hadapan Andra?

Mantan Istri CEO TampanKde žijí příběhy. Začni objevovat