Menawari Tumpangan

3.9K 101 0
                                    

"Hhh..  Kamu hanya membuat waktuku terbuang sia-sia! Belum lagi pekerjaanku sedang sangat menumpuk. Kamu memang benar-benar tidak bisa diandalkan!" 

Alana menahan napasnya saat mendengar kalimat terakhir yang Andra ucapkan. 

Dirinya tak bisa diandalkan? Bukankah Alana sendiri sudah berusaha melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Ia melayani Andra selayaknya yang dilakukan oleh sekretaris pada boss-nya. 

Tetapi dirinya tetap saja salah di mata Andra. Entah apa yang membuat Andra sampai semarah ini. Atau mungkin mood lelaki itu memang sedang buruk. 

"Karena ketidakbecusan kamu, kita jadi harus lembur malam ini!" kata Andra dengan sengit. "Sekarang cepat keluar dari ruanganku, Alana! Dan bekerjalah dengan benar. Kita tidak akan pulang sebelum pukul 12 malam!" lanjut Andra dengan tegas. 

Dan Alana hanya bisa menelan salivanya berat, lalu menganggukan pelan. 

"Baik, Pak. Aku permisi ke mejaku," pamit Alana menarik diri dari hadapan Andra.

Hanya senyap yang menjawab. Andra tetap menunduk menatap setumpuk berkas di atas mejanya, tanpa berniat menyahut Alana sama sekali. 

Hingga Alana menutup pintu ruangannya, barulah Andra mengangkat kepala. Seketika sebelah ujung bibirnya melengkungkan senyum miring. 

"Kita mulai siksaanmu, Alana! Hari-hariku tidak akan puas tanpa melihatmu menderita," gumam  Andra menampilkan seringaiannya. Matanya menatap lurus pada pintu yang telah menelan tubuh ramping Alana.

*** 

 "Huftt.. Jika aku lembur sampai jam dua belas malam, lalu bagaimana dengan Rehan? Dia pasti tak akan bisa tidur dan akan terus menungguku pulang." Alana mendesah lemah. 

Sembari jemarinya berkutat dengan keyboard di hadapannya. Tetapi benak Alana melayang memikirkan Rehan. Semoga saja anak semata wayangnya itu tidak akan menanti kepulangannya malam ini. 

Alana kembali memusatkan pikirannya pada setumpuk pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan.  

Hingga tanpa terasa, waktu terus bergulir dan jarum jam terus berputar. 

Alana menghela melirik kearah jam yang menempel di dinding kantor. 

"Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Setengah jam lagi pukul sepuluh malam, sebentar lagi aku harus mengantarkan kopi ke ruangan Andra," gumam Alana sembari melakukakan sedikit peregangan pada pinggang-pinggangnya yang malam ini terasa diremukkan.

Setelah itu, tangan Alana kembali sibuk berjibaku dengan kertas-kertas dan komputer. 

Hingga suara ponselnya yang berdering, membuat Alana menghentikan aktivitasnya sejenak. 

"Rehan.." pekik Alana melihat nama yang muncuk di layar ponselnya adalah nama Ibu Winarti. 

Sudah pasti bukan ibunya yang menelpon. Karena Winarti biasanya hanya akan mengirim pesan pada Alana. Alana hendak mematikan, tapi ia tak tega. Rehan pasti akan bertanya kenapa ia belum pulang. 

"Hallo.."

'Hallo, Ma. Mama masih di jalan, ya? Kok belum sampai rumah?' celoteh Rehan dengan segera. 

Alana menelan ludahnya. Dugaannya benar. Rehan memang sudah menunggunya pulang. 

"Rehan. Maaf, Sayang. Mama sedang banyak sekali pekerjaan malam ini. Dan Mama harus lembur. Rehan jangan tunggu Mama ya. Rehan tidur saja bersama dengan nenek. Gak apa-apa 'kan sayang, ya?" 

Terdengar suara Rehan menarik napas panjang di seberang sana. Alana tahu jika anaknya itu pasti keberatan. 

'Ya sudah. Tapi Mama harus jaga diri di sana, ya. Mama jangan terlalu capek. Rehan sayang Mama.' 

Mantan Istri CEO TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang