Digendong Andra

4.5K 76 4
                                    

"Apa yang sedang Alana lakukan di sana? Seenaknya saja dia mau bersantai sementara tenggorokanku kering menunggu kopi pahit darinya?!" desis Andra menatap tajam pada layar monitornya. 

"Ck! Alana. Kamu harus diberi pelajaran!" Andra bangkit berdiri dari duduknya. 

Dan sekarang ia sudah melangkah lebar keluar dari ruangannya. 

Tentu saja kakinya mengarah menuju ke pantry kantor. Dimana Alana tengah duduk manis menikmati kesantaiannya. Setidaknya itulah yang Andra pikirkan. 

Begitu kaki Andra tiba di ambang pintu, ia langsung berseru pada Alana. 

"Begini yang kamu lakukan di pantry saat aku sedang sibuk di ruanganku, Alana? Apa kamu tidak tahu kalau sekarang belum jam istirahat?" sentak Andra dengan wajah kesal. 

Alana terhenyak melihat kedatangan Andra yang tiba-tiba. Alana menelan ludah saat ia sadar jika Andra pasti marah karena mengira bahwa ia sedang bersantai ria. 

"Kamu itu memang tidak bec--"

Ucapan Andra terhenti saat kakinya menginjak sesuatu yang licin di lantai. Lalu keningnya berkerut melihat ada minyak di sana. 

"Maaf, Pak Andra. Tadi kakiku terpeleset di ambang pintu. Karena ada minyak yang tumpah di sana. Aku hanya sedang mengurut kakiku sebentar, setelah baikan baru aku akan membuatkan kopi untuk Anda." Alana mulai membuka suara. Membuat kepala Andra kembali terangkat dan menatapnya. Lalu pandangan Andra berlari kearah pergelengan kaki Alana yang tampak agak membiru. 

Seketika ulu hati Andra merasa diremas. Rupanya kaki wanita itu sedikit bengkak karena terkilir. Dan tadi Andra sudah memarahinya habis-habisan. 

"Mengapa tidak ada satu pun OB yang memberitahuku tentang hal ini?" geram Andra langsung berjalan cepat mendekati Alana. 

"Ke mana mereka? Mengapa pantry kantor sepi? Dan mengapa bisa sampai ada minyak di sana?" Andra bertanya dengan wajah kesal campur panik karena kaki Alana terluka. 

Alana hanya terkejut menatap lelaki itu. Sekarang yang tergambar di wajah Andra hanya raut khawatir.  Dan bahkan sadar atau tidak, saat ini Andra justru berjongkok di hadapannya. 

"Ma-maaf, Pak Andra. Saya baru saja membersihkan pel. Tadi saya mau mengepel lantai ini, tapi Pak Andra keburu datang. Biar saya bersihkan sekarang." Lia tergopoh-gopoh dari kamar kecil dengan membawa ember dan pel di tangannya. Ia menunduk mendapat tatapan tajam dari Andra. 

"Kenapa bisa ada minyak di sana? Kalian ceroboh sekali! Lihat sekarang! Kaki Alana jadi terluka. Dia harus ikut denganku besok. Dan sekarang kakinya terkilir akibat kelalaian kalian!" sentak Andra yang menyalahkan para OB yang bekerja satu lantai dengannya. 

Lia menunduk semakin tegang. 

"Sekali lagi saya minta Pak. Tumpahan minyak ini akibat kelalaian kami. Dan saya janji kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi." Lia mencicit pelan sembari mengepel lantai dengan gerakan abstrak. Karena ia merasa takut ditatap tajam oleh Andra. 

"Sudahlah, Pak Andra. Aku tidak apa-apa." Alana melerai kemarahan Andra. 

Lelaki itu menoleh menatap Alana dengan wajah tegasnya. 

"Apanya yang tidak apa-apa? Lihat pergelangan kakimu itu! Di sana sedikit bengkak. Kamu pasti tidak akan kuat berjalan 'kan?" Andra bangkit berdiri dan kini menjulurkan kedua tangannya untuk menyongsong tubuh Alana. 

"Eh, Pak Andra mau apa?" Alana panik. Sebab Andra mengangkat tubuhnya begitu saja. 

"Menggendongmu! Kamu diam saja! Lukamu harus diobati!" kata Andra dengan nada yang terdengar tak mau dibantah. 

Lalu Andra melangkah keluar dari pantry. Berjalan sembari menggendong Alana melewati Lia yang terkejut melihatnya. 

 Kaki panjang Andra melangkah lebar melewati koridor kantor. Sedang Alana yang berada dalam gendongannya, menatap lelaki itu yang tetap memandang lurus ke depan. 

Rahang Andra yang tegas terpampang di dekat wajahnya. Membuat hati Alana rindu untuk menyentuh rahang lelaki itu seperti yang biasa Alana lakukan saat 

dulu mereka masih menikah.

'Tuhan! Tolong jaga hatiku! Jangan sampai aku terlalu bahagia dengan perlakuan Andra saat ini. Atau tidak, hatiku pasti akan sangat sakit jika Andra kembali menyakitiku lagi,' jerit Alana dalam batinnya. 

KLEK! 

Andra membuka pintu ruangannya dan mendorongnya dengan pundak. Lalu ia berjalan tegas membawa tubuh Alana, kemudian menurunkannya untuk duduk di atas sofa panjang yang ada di ruangan itu. 

Alana terkejut saat tiba-tiba saja Andra berjongkok dan menaruh kaki kanan Alana di atas pahanya. 

"Engh, Pak Andra! Apa yang hendak kamu lakukan?"

Andra mendongkak, menyipitkan matanya pada Alana. 

"Kakimu terkilir, bukan? Aku sedang mencoba memijitnya agar bengkaknya berkurang. Jadi diamlah dan jangan banyak bertanya!" tegas Andra dengan wajah dinginnya. 

Membuat bibir Alana kembali terkatup rapat dan membiarkan jemari tangan Andra yang keras memijit-mijit pelan pergelengan kakinya. 

"Aakh... Aw.. Sshh.." ringis Alana merasakan sakit disela pijatan tangan lelaki itu. 

Andra mendengkus masam. Lalu tanpa menoleh pada Alana, ia berdecak kesal. "Apa mulutmu tidak bisa diam!" ketus Andra. 

Alana menggigit bibir bawahnya dan menatap lelaki itu dengan wajah menunduk. 

"Maaf. Tapi rasanya sakit sekali."

"Sakit ini tak seberapa dibanding luka dihatiku saat dulu," balas Andra telak. Membuat Alana sempurna membungkam bibirnya rapat-rapat.

Kini matanya menatap nyalang pada wajah Andra yang begitu tegas, dan serius mengurut pergelangan kakinya yang terkilir. 

Seketika benak Alana teringat dengan masa-masa indah pernikahan mereka. Dulu, Andra selalu memijat kakinya sebelum tidur. Padahal seharusnya Alana yang melakukan hal itu. Mengingat Andra lah yang telah bekerja seharian di pabrik. 

Tapi setiap kali Alana menawarkan diri untuk memijat lelaki itu, Andra selalu menggeleng dengan tegas. 

"Tidak, Alana! Badanku tidak memerlukan pijatan. Bekerja seharian mungkin membuatku merasa lelah. Tapi cukup hanya dengan pulang ke rumah dan melihat senyuman di bibirmu. Seketika rasa lelahku langsung hilang." 

Mengingat masa itu, Alana tak tahan untuk menyembunyikan senyum kecilnya. Ia menunduk agar Andra tak menyadari wajah bahagianya saat ini. 

'Aku kangen masa-masa kita dulu, Ndra. Aku senang karena ternyata Andra yang ada di hadapanku saat ini masih memiliki hati dan rasa simpati untuk menolongku. Aku masih bisa merasakan ketulusan kamu dibalik wajah ketus kamu itu.' Alana bergumam dalam batinnya. 

Netranya menatap teduh pada wajah Andra yang masih berkonsentrasi di dekat kakinya. 

Hinggalah saat pijatan Andra kembali membuat sakit, Alana tak tahan untuk menjerit. 

"Aakhhh! Pelan-pelan Andra.." tanpa sadar Alana menyentuh pundak kanan Andra, dan tak memanggil lelaki itu dengan sebutan 'Pak'. 

Andra menoleh pada telapak tangan Alana yang hinggap di pundaknya.

Menyadari itu, dengan cepat Alana menarik kembali tangannya sambil menundukan pandangan. Menghindari tatapan Andra. 

"Maaf, Pak Andra. Maafkan aku."

Mantan Istri CEO TampanWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu