BAB 25 : Wedding Day

77 11 134
                                    

.

HARI sudah sore menjelang petang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

HARI sudah sore menjelang petang. Nyaris merangkak cepat membuka tirai malam. Menyisakan sebentuk gulita yang cukup menakutkan.

Pada ruas jalan kecil di suatu pedesaan di prefektur Akita. Dua orang yang merupakan paman dan keponakan berderap agak tergesa-gesa menuju rumah di ujung sana. Keasyikan mengobrol dengan tetangga yang sepemikiran, hal itulah yang menjadi penyebab keterlambatan mereka sampai tujuan.

Suasana di desa jelas berbeda dengan hiruk pikuk, gemerlapnya ibu kota. Tidak terdapat gedung pencakar langit atau lampu tinggi di sepanjang trotoar. Melainkan hamparan bintang di langit sana sebagai penerangan alami. Suara kepakan hewan malam pun turut menyertai sebagai keriuhan dalam perjalanan pulang.

Meski demikian, rasa takut sungguh enggan menjauh dari sosok gadis yang merasa was-was sejak tadi. Imaji dalam kepalanya ibarat anak kecil yang tersesat di dalam hutan perawan tak terjamah.
Deretan pohon-pohon besar di sekitar mereka dia sangka sebagai Monster besar yang menyambut. Dahan-dahan rendah menjelma menjadi lengan; kapan saja langsung siap untuk menariknya menuju kegelapan. Perjalanan untuk kembali pulang ke rumah, seolah menjadi terasa selamanya.

Sang paman pun sampai tidak tahan untuk tidak menyuarakan komentarnya.

"Kau ini, padahal dulu tinggal di desa sama nenek dan anak-anak yang lainnya. Tapi kenapa jadi sepenakut ini?" sang paman berbalik. Berkacak pinggang keheranan mendapati Kanao melangkah takut dan hati-hati.

"Habisnya, paman kelamaan ngobrol sama tetangga. Kita jadi kemalaman seperti ini," sahut sang gadis. "Aku bukan penakut, hanya saja kemarin habis nonton film horor, jadinya masih kepikiran," alasan itu hanya sebagai pembelaan semata. Padahal, sifat aslinya memanglah seorang pengecut. Terutama terhadap kegelapan pekat. Walaupun, saat masih kecil, dia benar tinggal dengan nenek Hisa dan anak lainnya di sebuah Panti Asuhan yang berdiri di dekat sebuah persawahan.

Namun sekarang, bangunan Panti Asuhan tersebut sudah tidak ada lagi keberadaannya. Melainkan  menyisakan gumpalan kenangan di sudut terdalam hati Kanao. Karena sejatinya, sepengalaman sang gadis;  siapapun yang pernah tinggal di tempat seperti itu, mereka tidak akan pernah mampu mengubur bermacam kenangan yang telah terbentuk sejak kecil. Mau tidak mau, suka tidak suka. Kenangan semacam itu bisa jadi sesuatu yang indah seperti di Surga. Atau barangkali akan sangat menyesakkan seakan pernah berada di Neraka.

"Baiklah, maafkan paman. Kelak saat kau sudah tua nanti, kau baru akan menyadarinya. Betapa menyenangkannya bertemu dengan teman lama yang sepemikiran untuk diajak berdiskusi tentang kehidupan."

"Iya, aku paham Paman. Sekarang kita harus mempercepat langkah. Seharian di ladang membuatku lelah dan cacing di perutku meronta brutal," desahnya kelelahan. Lalu menyamakan irama langkah dengan sang paman yang lebih dahulu bergegas.

Kekehan kecil terpental seiring kerikil kecil dipijak. "Padahal seharian ini kau hanya jadi mandor. Kerjaannya hanya makan dan memerhatikan orang-orang yang bekerja di ladang."

Iridescent  ||  TanjiKanaWhere stories live. Discover now