||PSM 19||

321 24 0
                                    

"Jika kamu berdamai dengan diri sendiri, kamu akan melihat bahwa dirimu semakin nyaman dan indah setiap harinya."

—Asyana Viola Ganlades

Hari-hari berlalu begitu cepat. Rutinitas Adam mengirimkan sebagian hartanya untuk Laila terus berlanjut tanpa diketahui oleh siapapun. Bahkan Asya yang notabenenya istrinya pun tidak ia ketahui.

Adam memeluk Asya dari belakang, menatap meja rias dengan lengkungan senyuman yang terpatri di wajahnya. Sesekali ia mencium pundak Asya, membuat sang empu mengerut, meminta dilepaskan.

“Adam geli!”

“Wangi banget sih istriku,” ucap Adam semakin manja dengan istri cantiknya itu.

“Iyalah, 'kan baru selesai mandi,” jawab Asya memoleskan pelembab kulit ke wajahnya.

Adam tersenyum, puas memandangi wajah Asya dari cermin. Ia pun berjongkok di hadapan Asya, menggenggam tangan wanita itu, menghentikan aktivitas yang tengah dilakukannya.

Asya mengernyit bingung. “Kenapa?”

“Malam jum'at sekarang, aku mau kamu pakai cadar, Sya. Saya takut tetangga lelaki di sini pada naksir sama kamu.”

Asya mengembungkan pipinya, menahan tawa. “Loh, emangnya kenapa sih? Biasanya juga cuma pakai kerudung aja. Sia-sia dong aku dandan cantik-cantik gini, kalau ujung-ujungnya ketutup cadar.”

Adam menyentil dahi Asya gemas. “Kamu dandan buat siapa sih?”

Wanita itu terdiam. Mengigit bibir bawahnya, lalu tersenyum tipis. “Buat suami aku, hehe...”

“Ya udah, nurut.”

Asya mengerucutkan bibirnya, mencibir pelan. “Ck, iya-iya.”

Adam mengacak rambut Asya yang belum tertutup kerudung. “Ingat sayang. Jaga kecantikanmu untuk suamimu, jangan mengumbar pesona kepada yang bukan mahramnya. Walahi sayang, dari atas kepala sampai ujung telapak kaki sekalipun, saya tidak meridhoi jika aura kecantikanmu terlihat oleh lelaki lain. Kamu hanya milikku, camkan itu.”

Asya terkekeh. Mencium pipi Adam membuatnya terdiam, bungkam. “Iya Ayahnya Kaffa dan Kahfi! Posesif banget,  sih!”

“Saya posesif cuma sama kamu aja, Sya.”

“Hmm iya deh, percaya.”

Tangan Adam terulur. “Mana kerudungnya. Biar saya bantu pakaikan.”

“Ini.”

“Cadarnya?”

“Di atas lemari.”

Adam bangkit dari duduknya. “Biar saya ambilkan. Tunggu sebentar.”

Segeralah Adam bangkit, mengambil kain segi empat, berukuran panjang. Memakaikan kerudung cokelat itu kepada Asya. Setelah semuanya beres, barulah ia tersenyum sambil bergumam.

“MasyaAllah, humairahku, cantiknya tidak ada menandingi.”

Mendapat pujian manis dari suaminya, Asya hanya mampu tersenyum. “Alhamdulillah, terima kasih Adam.”

“Sama-sama,” sahutnya demikian.

“Ouh iya, hari ini Bapak pulang. Kemungkinan ba'da isya beliau sampai ke rumah,” lanjut Adam memberitahu.

“Pak Rizik?”

Adam mengangguk. Sedangkan Asya melotot kaget. “Kamu kok gak bilang dari awal? Tahu gitu aku siapin makanan banyak tadi.”

“Nggak papa, seadanya aja. Lagian makanan untuk kajian malam jum'at pasti banyak. Bapak gak banyak makannya kok,” ujar Adam tidak mau membebani istrinya.

“Bukan gitu Adam. Makanan untuk kajian sama buat nyambut Bapak pulang itu berbeda. Lagian kamu kenapa bilangnya baru sekarang? Kenapa gak dari tadi? Tau gitu aku pesen banyak makanan sama Mbak Laila.”

Adam terkekeh melihat tingkah Asya yang tampak bersemangat saat mengomeli dirinya. “Tenang aja, sayang. Laila deket kok, kalau kurang, tinggal pesen lagi.”

“Enak banget bilang gampang. Lah Mbak Laila yang ngerjain sendirian gimana? Kasian tahu, orderan dia tuh gak boleh dadakan. Kalaupun bisa pasti beliau kecapean! Kamu tuh, gak ngertiin perasaan orang.”

“Loh, kok kamu jadi marah sama saya?” tanya Adam mengerjap-ngerjapkan kedua matanya.

Asya mendengus sebal. “Ya kamu! Ihh tau lah. Ayo ah turun! Sebentar lagi kajiannya dimulai loh.”

Adam menyunggingkan senyum tipis. “Siapa bilang mau dimulai? Orang yang mimpinnya aja masih disini.”

Asya mengatupkan bibirnya. Ia lupa jika Adam adalah sosok Ustadz sekaligus pemimpin kajian setiap malam jum'at yang diadakan di rumahnya. Rutinan itu berlangsung ketika Asya masih koma sampai sekarang.

“Jadi gimana sayang?”

“Gak gimana-gimana,” sahut Asya cuek.

Adam terkekeh gemas. Membopong tubuh Asya membuatnya kaget, langsung mengalungkan tangannya di leher jenjang lelaki itu dengan degup jantung yang menggelora.

“Adam! Turunin!”

“Emang bisa jalan?” tanya Adam meledek.

Asya yang tidak bisa berbuat apa-apa pun hanya mampu memanyunkan bibirnya, menahan kesal. “Kamu kok nyebelin, sih!”

“Tapi ngangenin, hmm...”

---- TBC ----

APA DULU??

KOMEN DULU DONG!!!

Pejuang Sepertiga MalamМесто, где живут истории. Откройте их для себя