Bab 7

4 0 0
                                    

Leroy yang sekarang bukanlah Leroy yang kemarin. Sebelumnya lagak Leroy sudah sangat mirip dengan pereman kampung yang siap memalak orang di jalan, kini tingkahnya tak lebih seperti seekor anak ayam yang kehilangan induknya. Begitu ia bertemu dengan Erish, ia langsung lari terbirit, mencari perlindungan.

Padahal Erish tidak berbuat apa-apa. Erish ya Erish, yang seperti biasa, lebih banyak diam dan tidak menunjukkan banyak ekspresi atau emosi. Tanpa perlu dipikir apalagi pakai teori, sudah pasti alasan kenapa Leroy jadi seperti itu karena kebrutalan Erish pada saat mengamuk malam itu. Erish sedikit tidak menyangka, ternyata apa yang ia lakukan berdampak sejauh itu pada Leroy.

Menyesal? Ya. Erish menyesal karena kenapa ia baru mengamuk kemarin? Kenapa tidak dari sebelum-sebelumnya? Tapi sudahlah, bukan masalah lagi. Karena setidaknya, masalahnya dengan Leroy sudah ia anggap selesai. Kecuali Leroy berani mengganggunya lagi di kemudian hari, itu akan menjadi babak kedua bagi Erish untuk mengamuk.

Tanpa sadar, helaan nafas lega segera terdengar dari Leroy saat ia sudah sampai di dalam kelasnya, kelas 12-5. Tadi ia benar-benar ketakutan saat bertemu dengan Erish. Dibilang trauma juga iya, karena bagi Leroy memang Erish semenakutkan itu pada saat memukulinya secara brutal. Terlebih perkataannya yang tak kalah mengerikan.

"Kenapa?" Aias segera bertanya pada Leroy yang wajahnya lebam. Maklum saja, di antara teman-teman Leroy, yang tau kejadian semalam kan hanya Kahlil dan Hunter.

Tawa kecil Kahlil segera pecah. Leroy langsung melotot kepadanya. Sementara Aias hanya menatap keduanya secara bergantian.

"Nggak papa. Cuma jatuh aja kok." Dasar penipu tidak ulung! Kemarin-kemarin bohong pada Sanju soal menjatuhkan Erish, sekarang bohong pada Aias soal luka yang ia dapat.

"Jatuh ketiban cewek ya?" sindir Kahlil.

"Maksudnya?" Aias jadi penasaran sebenarnya apa yang tengah mereka berdua sembunyikan.

Alih-alih menjawab pertanyaan Aias, Leroy malah mengalihkan topik, "Hunter mana? Belom keliatan tuh anak?"

"Panjang umur." Gumam Kahlil saat melihat Hunter datang dengan wajah gelisah.

Tidak bergabung bersama mereka di pojok kelas, Hunter malah asal duduk di bangku entah milik siapa, membelakangi teman-temannya. Tentu saja tingkahnya yang berbeda dari biasanya membuat keempat temannya heran.

Kebetulan bagi Leroy untuk makin menghindari Aias yang kepo soal luka di wajahnya, ia segera menghampiri Hunter. "Woi, kenapa lo? Kayak habis ketahuan maling daleman aja!"

Hunter melirik Leroy tajam, kemudian berdecak. "Diem lo! Jangan ganggu gue!"

"Widih, galaknya! Lagi em lo?"

Hunter memutar badannya menghadap Aias, Kahlil dan Oisin yang masih bertahan di pojok kelas, tengah memperhatikan dirinya dan Leroy. "Oi, ternak kalian lepas satu nih! Buruan tangkep!"

"Si any*ng!" umpat Leroy tidak terima dikatai ternak oleh Hunter.

Saat ini Hunter tidak peduli dengan umpatannya. Kepalanya terlalu sibuk memikirkan kata-kata yang River ucapkan tadi. Tentang perjodohan. Jelas itu membuat Hunter terguncang.

Di usianya yang masih muda belia dan di era modern seperti ini, ia harus menjalani nasib kolot ala Siti Nurbaya? Mau dipikirkan berapa kali pun, tetap itu tidak masuk akal bagi Hunter. Apalagi selama ini, orang tuanya baik Are terlebih Haris, sama sekali tidak pernah melakukan pembicaraan apa pun tentang yang namanya jodoh-jodohan. Jangan sampai situ dulu deh, tanya apakah Hunter sudah punya pacar atau belum saja belum pernah. Eh, tunggu! Pernah deng, sekali. Itu pun gara-gara River duluan yang meng-spill pacarnya yang bernama Ribi itu.

Here To YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora