Tiba #4

0 0 0
                                    

Uka dan Han bertindak cepat mengevakuasi semua makhluk Bumi terkumpul menjadi satu, termasuk rumput-rumput muda yang rapuh. Mereka kumpulkan seluruh unsur hara di medan tempur, menarik semuanya, dan membariskan mereka serapat mungkin untuk melindungi Wilayah Aman.

"Are, bagaimana dengan api hitam?" usul Piter, mencoba memberi ide dan menghindari risiko membahayakan makhluk Bumi. "Mungkinkah itu solutif? Dia tak punya spektrum warna, bukan?!"

"Percuma," jawab Are cepat. "Ini Es Iblis. Kendati aku bisa melepaskan api hitam yang tembus pandang, jauh lebih panas, beracun, dan mematikan ketimbang api putih, temperatur Es Iblis tetap sanggup mengkristalkannya. Betapa pun besar kobaran yang aku buat."

"Jadi ... tidak adakah jalan keluar?" tanya Snosa melebarkan kemungkinan terhadap solusi lain.

"Pasti ada," sahut Piter bersama pemikiran positif dan keyakinan serta kepercayaan dirinya.

"Masih ada satu," jawab Are. "Tapi sangat berisiko."

"Apa itu?" tanya Snosa kembali, berikut rasa penasaran yang menyesaki dada.

"Supernova api hitam."

Supernova adalah ledakan tingkat tinggi dengan daya rusak dan efek panas serta sumber radiasi kosmik di antariksa. Jika mereka bisa mengulur waktu, cukup untuk menciptakan supernova itu, Are pasti mampu melepaskannya ke jantung Bencana.

Sayangnya ada risiko yang sangat besar menghantui mereka. Bumi, bahkan Bima Sakti tidak memiliki cukup cadangan sumber daya untuk membantu mengisi energi mereka di medan tempur. Tidak seperti di Mansheviora, atau bahkan di Alam 1. Taruhannya nyawa.

"Satu-satunya cara adalah dengan membekukan pergerakan," usul Snosa, "mengikat seluruh tubuh kuat-kuat, dan lekas-lekas menariknya masuk ke dalam buku."

"Kawan ... beri aku waktu, sibukkan dia!" sergah Aya mengambil alih peran. "Ini akan sulit dan berat, tapi bukan berarti mustahil sama sekali."

Aya menguraikan tubuh menjadi cahaya, melesat melewati teman-temannya, berpindah tempat lima belas meter di depan kepala Bencana. Ia bertindak cepat. Gerakan-gerakan tangannya hampir-hampir tidak bisa diikuti.

Tangannya membentang, dengan cekatan ia memutarnya mengikuti pola lingkaran. Seberkas lingkaran cahaya putih muncul. Aya menarik tangan sambil mengepalkan tinju. Kepalan tinju yang erat. Lingkaran cahaya putih di depannya berpendar. Kian lama kian terang. Lingkaran itu menguat, mengikuti kepalan tinju yang dikuatkan olehnya ke depan dada. Beberapa saat berlalu, cukup lama, mungkin hampir tiga menit.

"Aya!" teriak Han memanggil temannya yang tampak mengkhawatirkan. "Apa belum?! Cepatlah!"

"Kenapa, Han..?" balas Aya. "Kamu kelelahan hanya untuk menyibukkannya? Atau Energi Perut-bumimu yang besar itu menipis?"

"Jumawa! Aku mengkhawatirkanmu, tahu! Kamu lama sekali, merapal mantra gelap, ya?!"

"Sembarangan! Aku perlu fokus..! Bima Sakti tak punya energi yang cukup untuk menjadi daya dorong seranganku nanti..."

Untuk memberikan dampak besar terhadap kualitas kekuatannya, Aya perlu mengambil peluang paling mendekati kemungkinan terbaik. Walau tipis, mereka tidak bisa menganggap remeh Bencana, seperti medan tempur Bumi adalah Alam 1. Tempat ini bahkan jauh di bawah standar itu, tidak sampai separuh dari setengahnya. Mereka tidak bisa bertarung mati-matian berjuang untuk berharap pada kemenangan, sementara dalam satu tarikan napas pun bertanggung jawab pada keselamatan setiap makhluk di Bumi, tanpa cacat sama sekali. Mereka tidak bisa menjaga agar energi tetap tersedia. Itu saja tidak mungkin. Sumber daya di Bumi tidak akan cukup kendati hanya diandalkan sebagai cadangan. Butuh ribuan kali lipat lebih banyak daripada itu, jika yang sedang didiskusikan adalah pertempuran melawan Bencana.

MANSHEVIORA: Semesta AlternatifWhere stories live. Discover now