Sahabat Udara #1

3 1 0
                                    

Merangkum satu malam di tengah rintik air hujan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Merangkum satu malam di tengah rintik air hujan. Seorang bocah lelaki terpaku di pinggir jalan. Pandang matanya kaku, tajam, menusuk ke depan. Ketika pengendara motor melewatinya, matanya berkedip. Ketika pengendara mobil lewat, alisnya berkedut. Namun, saat penunggang kuda lewat, kepalanya tertunduk. Jangan pikir itu kuda siapa, dan untuk apa menunggang kuda di jalan raya, sebab sebagian kecil orang lebih nyaman memilih naik kuda daripada motor roda dua.

 Jangan pikir itu kuda siapa, dan untuk apa menunggang kuda di jalan raya, sebab sebagian kecil orang lebih nyaman memilih naik kuda daripada motor roda dua

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bocah itu semalaman di sana. Menatap sebuah sekolah dari seberang jalan. Memakai celana pendek kotak-kotak biru-hitam, usang, kusam, basah oleh air hujan. Bajunya ikut kusam, basah kuyup terciprat air kubangan di pinggir jalan. Kubangan selebar setengah meter, sepanjang dua meter, sedalam mata kaki orang dewasa, berjarak satu langkah dari ujung jari kaki. Anehnya, ia berdiri tepat di tengah-tengah. Juga tepat lurus mengarah ke tengah-tengah jalan masuk bangunan sekolah. Matanya mengedip lagi. Baru saja sebuah motor bebek berlalu di depan. Memasukkan gigi ketiga setelah melewatinya.

Namanya Angra. Tinggal bersama Bibinya, tidak punya saudara, dan orang tua yang entah ke mana. Angra tak memiliki cacat fisik ataupun mental. Ia normal, senormal anak-anak usia enam tahunan. Namun mau bagaimana pun, ia tetap tak punya teman. Hanya Angin yang berlalu begitu saja setiap kali tangannya melambai tak berdaya.

"Lapar," katanya tempo hari di atas parit sepetak sawah milik seorang juragan beras kualitas terbaik, di suatu desa. Waktu itu padi masih belum berisi. Matanya melirik ke jalanan aspal, dua puluh lima meter di sebelah kiri. Seorang penjual makanan lewat di sana. "Aku lapar," katanya lagi.

Pada malam Angra memaku diri itu, di pertengah musim penghujan tahun 1896 M, tidak ada satu pun orang acuh kepadanya. Bagai patung batu penghias jalanan kota-kota. Lagipula, Angra berdiri di bawah pohon rindang. Jambu Air berdaun lebat. Daun-daun menutup lebih dari separuh batang. Tidak ada lampu di dekat sana. Namun heii, bukankah lampu-lampu kendaraan berfungsi menerangi pinggir jalan pula?! Lantas, atas dasar alasan apa gas di kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang itu tetap dipacu padahal jelas-jelas ada seorang bocah lelaki di situ..?!

Pagi harinya Angra melangkah pergi. Sebab pada pukul 6 pagi, sekolah pasti mulai ramai. Selain itu, satu-satunya petugas kebersihan sekolah pasti memandangnya aneh dan asing, setelah semalaman berdiri tak bergeming.

MANSHEVIORA: Semesta AlternatifWhere stories live. Discover now