Tanah Merah Darah #3

1 0 0
                                    

Kamu hempaskan sepasukan si Kaisar Tanah Utara dengan melepaskan Badai Debu. Kekuatanmu memindahkan humus dan unsur hara dalam tanah jauh ke tempat lain, mengering-tanduskan berton-ton tanah seluas medan tempur, meregangkan jarak antar material penyusun unsur-unsur tanah, memperbesar pori-pori, tetapi menutup semuanya (agar tak menyerap kelembapan dari udara), meringankan tanah, dan mnejatuhkan pukulan ke atas permukaannya. Tanah luas di sekitar kaki-kaki besarmu terlepas begitu saja dari ikatan material antar pori-pori. Kamu lepaskan setengah ton pasir berdebu ke artileri dan infanteri Flawles. Sisanya, menjadi Badai Debu hadiah, mengoyak habis barisan kokoh kavaleri penguasa serakah itu.

Mereka benar-benar tak paham, dengan siapa mereka bertempur sekarang.

Namun baru sejenak benakmu merasa unggul dan mencium aroma kemenangan, hampir selusin pasukan dalam jumlah besar datang menyerbu. Derap langkah serdadu-serdadu itu menutup rapat geram alam. Masing-masing dari tiap batalion –sekiranya dapat diperhitungkan—terdiri atas 100.000 ahli sihir serangan; 200.000 tentara perisai; 150.000 pendeta regenerasi; 300.000 pendekar pedang; 250.000 prajurit iblis; dan hampir 500.000 pasukan orang mati, mayat hidup, kerangka berkulit api, serta serangga-serangga penghisap darah.

Benar-benar menyusahkan. Keris berpamor itu telah mulai digunakan rupanya.

Kamu ulang serangan Badai Debu, tetapi hanya mampu memberi dampak tak lebih dari separuh total keseluruhan. Beberapa puluh ribu pasukan orang mati dan ratusan kerangka berapi bahkan masih kuat menembus labirin selubung berlapis badai itu.

Kalau dibiarkan begini terus, Keris itu bisa-bisa merusak tanah paling utara negeri ini. Masih bagus kalau cuma kering. Kalau sampai busuk bagaimana...?!

Agak sulit mengalahkan Flawles beserta seluruh batalionnya dengan Keris Kanjeng Kyai Pamor masih tergenggam erat di tangannya, tanpa bantuan kuat dari material dan mineral di dalam perut Bumi. Walau ada risikonya.

Satu tumbang, sepuluh tumbang, lima puluh tumbang. Masih ada ratusan lagi rasamu. Sesaat terhenti, berlanjut lagi. Penghentian terakhirmu bukan karena pasukan ditarik mundur.

Pamanmu tertangkap.

Namun, sungguh dia berhati baik. Kamu tak mungkin membiarkannya begitu saja. Satu tangannya terangkat. Jari jemarinya terbuka bergantian. Sejenis sandi. Kamu langsung mengerti.

Para pemburu membawa pergi Pamanmu, sekaligus meneriakkan pesan: "Jika dalam waktu dua minggu ke depan kau tak menjemput sendiri pamanmu ke tempatku, bersiaplah berpisah selamanya dengan seluruh keluargamu. BENAR-BENAR SEMUANYA!!"

Kamu tak mungkin turun sekarang. Pamanmu tak mungkin menerima begitu saja aksi heroik membabi-butamu sekarang.

"Paman, kau harus selamat!" batinmu bersumpah.

Sebagian orang butuh memikirkan satu keputusan besar bertahun-tahun. Banyak pencari kebenaran di luar sana tak pernah sungguh-sungguh bersikap netral setelah seluruh fakta terungkap. Perlu diketahui, bersembunyi tak bisa dikatakan benar maupun salah. Bersembunyi boleh dibilang benar dan salah dalam waktu yang sama. Bersembunyi adalah benar dan salah dalam satu tarikan napas.

Para pencari kebenaran memandangnya sebagai kesempatan untuk mendongkrak apa saja. Benar atau salah tergantung kondisi di lapangan. Perlu dipahami situasinya dan membaurkan diri kemudian. Penelitian-penelitian yang selama ini dilakukan tak lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan ambisi dari rasa penasaran mereka masing-masing. Tak banyak manusia mampu cepat menyadarinya. Sebab mereka tak pernah menyatukan raga, ruh, pikiran, perasaan, logika, dan nurani dengan langit dan bumi. Orang-orang yang mencari kebenaran di langit angkasa, selalu lupa memijak kebesaran Bumi. Begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang berpacu melubangi bumi, selalu mengabaikan kemegahan langit.

MANSHEVIORA: Semesta AlternatifOnde histórias criam vida. Descubra agora