Cahaya di Pucuk Senjata #1

2 0 0
                                    

Ketika seseorang telah disilaukan oleh kekuatan, kehebatan, kekuasaan, atau bahkan oleh cahaya itu sendiri, apa yang tampak di baliknya dan berada di sekitar tidak akan mampu ia temui

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ketika seseorang telah disilaukan oleh kekuatan, kehebatan, kekuasaan, atau bahkan oleh cahaya itu sendiri, apa yang tampak di baliknya dan berada di sekitar tidak akan mampu ia temui.

Ketika seseorang telah disilaukan oleh kekuatan, kehebatan, kekuasaan, atau bahkan oleh cahaya itu sendiri, apa yang tampak di baliknya dan berada di sekitar tidak akan mampu ia temui

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Namaku Inaya. Namun, kebanyakan orang lebih suka memanggil Aya. Sebab lebih sederhana, mungkin.

Aku menyaksikan ada begitu banyak tipuan hadir terselip di antara kejujuran. Melalui pengamatan pula, bagaimana setiap manusia dirundung luka, duka, rasa saling tidak percaya, tetapi masih bisa menemukan suatu titik bahagia.

Ada kegelapan dan derita di sisi lain suatu benua, pada pertengahan Perang Dunia I, 1916 M. Peperangan berdalih menjaga perdamaian, menumpahkan darah dan kebencian di mana-mana. Kalau perdamaian hanya bisa diraih dengan jalan peperangan, makna hakiki dari kata damai tidak akan pernah menjadi nyata. Faktanya, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang digadang-gadang bertujuan untuk menjaga, dan mempertahankan perdamaian justru tak berjalan seperti seharusnya. Buktinya? Ayahku jadi salah satu korban. Padahal ia cuma mau jadi relawan pencari berita untuk negerinya.

Aku adalah satu dari ratusan anak-anak seusiaku yang dibesarkan tanpa pernah mengenal sukacita bergulung di gundukan tanah liat, lumpur di negeri sendiri. Usiaku sudah hampir dua belas tahun saat ini. Saat tiga pucuk rudal menghantam rumah sakit kecil, tempat-tempat ibadah, dan beberapa toko makanan ringan. Salah satunya ialah toko milik sepupuku. Menjual makanan ringan yang tak terlalu banyak, sebab hampir tiga perempatnya selalu disumbangkan.

Tidak pernah ada kesempatan bagi siapa pun yang hidup di negeri ini, untuk menyambut udara segar dan sejuk pagi hari. Pagi yang selalu memberi rasa takut. Siang yang takkan membiarkan orang-orang merasa tenang. Sore yang mengerikan, dan malam yang suram. Segalanya tampak mencekam. Setinggi apa pun nyalimu, kau bahkan akan berpikir dua kali walau hanya untuk mencari makan di tengah malam. Kegamangan dan kengerian yang melebihi rasa takut saat menjumpai sosok astral. Dengar! Di sini, nyawamu bisa teregang di mana pun kamu berada, kapan pun waktunya. Di sini, nyawamu bahkan lebih murah ketimbang Nasi Goreng pinggir jalan.

Seringkali orang-orang bijak berkata, bahwa di dalam sebuah lorong yang gelap nun panjang, sebuah kereta akan terus berjalan mencari setitik cahaya, pintu keluar. Yang tak kumengerti kemudian adalah, siapa yang mau menjadi setitik cahaya ini? Aku bahkan tak berpikir untuk mengajukan diri. Walau berulangkali orang-orang menunjukku. Kupikir, kenapa malah aku, dan harus selalu aku?

MANSHEVIORA: Semesta AlternatifWhere stories live. Discover now