Sekotak Hutan Kayu dan Kematiannya #1

0 0 0
                                    

Selapis angin melaju lirih dalam selubung kulit kayu, melingkar di atas tumpukan akar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selapis angin melaju lirih dalam selubung kulit kayu, melingkar di atas tumpukan akar. Kulit kayu calon baju. Baju-baju adat para warga suku. Warga suku yang mengerti, memahami, cara-cara hidup para kayu.

 Warga suku yang mengerti, memahami, cara-cara hidup para kayu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang anak lelaki berlari ke dalam hutan pagi itu. Mengejar seekor babi yang terlepas dari kandang. Kandangnya hancur. Banyak yang melihat anak itu memasuki jajaran rapat pepohonan hutan dan mengira ia takkan pernah kembali lagi. Bahkan tiada seorang pun pernah sesekali mencoba ke dalam sana.

Kendati Suku Kayu mampu menyatu dengan kayu, tak berarti seluruh jenis kayu bisa mereka pahami. Ada semacam wilayah, hubungan kekerabatan, ikatan alam bawah sadar, terhadap jenis-jenis kayu tertentu, di hutan tertentu. Suku Kayu pun memiliki pantangan terhadap kayu. Tak berarti bagian dari mereka boleh membabat habis pepohonan dan menggunduli hutan. Tak berarti boleh memasuki sembarang hutan. Tak pula berarti bisa memiliki seluruh hutan.

Setiap generasi dari Suku Kayu memiliki ikatan alamiah terhadap jenis kayu tertentu. Takkan pernah terulang dan sama dalam kurun waktu satu abad lamanya. Walau demikian, bukan suatu kewajiban bagi mereka menyembah hutan, atau jenis pohon dengan kayu tertentu. Suku Kayu hanya memandang hutan sebagai tempat tinggal, nyawa, dan sumber kehidupan. Tentu, selama hutan tak dieksploitasi, dijarah, dirampas, hingga dihancurkan. Kendati mereka hidup pada tahun 1928 M, menjelang ancaman kemungkinan akan terjadi krisis ekonomi dunia (1929 M).

Uka kembali dari hutan. Membawa seekor babi terikat leher dengan tali kulit rotan. Anak lelaki berusia lima tahun itu tampak kotor, basah, hitam oleh lumpur rawa-rawa. Alih-alih ia, justru babinya lah yang masih bersih. Namun, Uka tak mengandangkan kembali babi itu. Melainkan mengikatnya di sebuah pohon berdaun waru setinggi lima meter, di belakang rumah jerami Kepala Suku. Ia paham betul pohon mampu berbicara dengan babi itu lebih baik daripada kandang.

"Kandang itu benda mati," batinnya. Ia yakin pohon bisa berbicara dengan bahasa yang tak sanggup dipahami oleh manusia.

Uka ialah anak seorang pemburu amfibi. Ayahnya, sering pergi berburu katak tengah malam hingga menjelang fajar. Katak-katak dewasa sembarang spesies, dengan beragam ukuran. Meski telah puluhan kali Uka diajak, tetapi ia bukanlah bocah yang tak mengerti hukum alam. Ia hanya ingin menjaga titah alam, bahwa perburuan yang bukan didasarkan pada keperluan untuk mencukupi dan menyambung hidup, tidaklah benar dilakukan. Titah yang membantu Uka menemukan si Babi. Titah yang mengajarkan falsafah hidup pepohonan. Titah yang melindungi Uka –secara khusus, dan Suku Kayu –secara umum, dari ketamakan besar-besaran. Titah yang tidak pernah membiarkan alam menelan hidup-hidup manusia. Dan Uka tidak pernah merasa butuh hingga ketergantungan katak.

Beberapa hari setelah pesta besar menyambut satu abad usia hutan milik salah satu generasi, Uka kembali memasuki hutan, yang dirumorkan terlarang. Namun begitu, dengan langkah santai ia keluar dari dalam sana, lagi dan lagi. Hingga suatu ketika ia merasa penasaran pada dirinya sendiri. Sebab lain ialah kebanyakan warga suku sering membicarakan keanehannya. Juga para pohon yang kian sering memberinya bisikan-bisikan samar-samar.

"Cobalah kemampuanmu ..."

"Belajarlah mengendalikannya ..."

"Sampai kami cukup yakin kau mampu membantu kami menjaga sukumu dan alam ini ..."

Bisikan-bisikan yang tertanam di memorinya.

Uka bukanlah seorang anak-anak berpikiran pendek. Sesekali ia yakin betul pesan-pesan yang didapatkannya tidaklah main-main. Namun pada kenyataannya, menghilangkan sementara logika dan percaya pada suara hutan tidaklah pernah masuk akal. Justru ia semakin sering tampak aneh dan terlihat gila. Dipandang tak normal bahkan di antara kalangan keluarga sendiri.

Terbentuk pada angka tahun yang tak pernah sanggup diterjemahkan ke dalam angka Masehi oleh manusia biasa, Suku Kayu merupakan satu-satunya suku di wilayah bagian tenggara dari benua terluas peringkat pertama Bumi, yang memiliki keterikatan paling erat dengan hutan. Beberapa kali Dewan Suku membentuk kelompok-kelompok kecil untuk disebar ke berbagai penjuru dunia dengan tugas menjaga wilayah hutan di bawah Garis Khatulistiwa. Wilayah hutan bertipe tropis, bermusim ganda, dan bentang alam hijau berisi jutaan spesies flora dan fauna. Wilayah penyeimbang poros utara dan selatan. Wilayah alamiah pemilik rantai evolusi paling damai. Wilayah yang dilindungi oleh Suku Kayu. Namun walaupun dengan fakta demikian, tak berarti orang-orang dalam Suku Kayu mampu mengendalikan kayu.

Suku Kayu hanya paham cara hidup, bicara, dan bahasa pepohonan. Mereka tidak mampu memanipulasi batang-batang dan reranting kayu. Paling tidak dalam rentang waktu puluhan abad sekali. Setidaknya, sebelum sekelomok penebang liar menjarah perkampungan tempat tinggal para warga suku. Saat-saat para penghasil kayu memercayakan penindakan tegas kepada seorang bocah lelaki biasa yang disangka gila oleh orang-orang di dalam keluarga dan lingkungannya.

Uka baru saja kembali dari dalam hutan, saat suara tembakan pertama meletus, memecah ketenangan sore itu. Ia ditelan kepanikan mentah-mentah, sampai-sampai tidak menyadari selangkah di belakangnya terhampar bukaan jalan yang mempermudah pelariannya dari dalam hutan. Seluruh perkampungan tampak hidup dengan api-api unggun –yang dengan menyedihkan—asap-asapnya bersatu dengan alun-alun suku yang terbakar di kejauhan. Sesuatu antara kepanikan dan pemberontakan pecah di antara pinggiran kemah-kemah penjaga akibat terlalu sedikitnya kekuatan mereka, keberanian berkorban, bala bantuan, dan terlalu banyak kabar buruk dari sesama suku di wilayah lain. Garda depan artileri terlihat mundur perlahan, sangat dekat alun-alun dan bungker penyimpanan, beberapa kereta persediaan amunisi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang.

Sejenak Anak Kayu itu terpaku. Sesaat ia membisu. Tak tahu harus berbuat apa. Selain marah pun ketakutan, ia tak mengerti cara melindungi rumahnya sendiri. Seluruh orang dewasa ada di sana. Jika mereka lantas tak lagi bernyawa, bagaimana mungkin ia sanggup mengatasi persoalan itu sendiri..?! Ia dirundung kepanikan. Emosinya tidak stabil. Jantung berdebar, berdebum. Pandangannya kabur, terlempar ke segala penjuru.

Mengetahui Uka sedang dalam kemelut batin luar biasa, bertindaklah Honer-tuaqa, pohon tertua berusia sepuluh tahun; tetapi dengan kualitas fisik, pengalaman, pengetahuan, dan kebijaksanaan setara lebih dari tujuh ratus tahun di hutan Lamara. Terhubung ke batang pohon terluar, di dekat perkampungan, berbicara kepada Uka.

"Jika kamu sungguh-sungguh ingin menyelamatkan rumahmu, lawan rasa takut dan tunjukkan kemampuanmu!"

"Kemampuan apa?"

"Kayu."

"Dengan cara apa? Bagaimana?"

"Tutup kedua mata dan percayalah pada kami!"

Uka hanya meletakkan telapak tangan kanannya di sebatang pohon dan menutup mata. Namun, bukan anak-anak namanya kalau tak punya rasa penasaran tingkat tinggi. Ia agak membuka mata. Mengintip dari balik pohon. Dan tak melihat apa-apa.

Hanya tanah lapang di sana. Rumah-rumah kayu tidak ada. Perapian dan kandang-kandang tidak ada. Orang-orang pun juga tidak ada. Benar-benar tanah lapang berumput setinggi tak lebih dari empat sentimeter.

Anak lelaki itu melepas telapaknya dari pohon. Berjalan ke tengah lapangan dengan penuh tanda tanya memenuhi lipatan otak, memukul-mukul tulang tengkorak dari dalam. Menoleh bingung ke mana-mana. Memandang aneh apa-apa yang ada di sekeliling. Merasa setiap pohon di sana sungguh-sungguh hidup dan sedang mengajak ia berbicara. Menunjukkan siapa ia sebenarnya. Bahwa manusia terlahir dari perundingan dan persetujuan besar alam raya di sepenjuru semesta.

Uka memiliki daya manipulatif terhadap kayu. Pepohonan berbicara dengan bahasa yang entah bagaimana mampu ia pahami. Rerumputan menyibakkan diri agar ia tak sulit melangkahkan kaki. Bunga-bunga bermekaran. Buah mentah mematang. Alam raya sedang memberinya kepercayaan. Ia perlu membalas budi baik itu. Dengan atau tanpa dukungan dari seluruh keluarga dan saudara di Suku Kayu. Dengan tekad kuat melintasi ruang, menuju Ibu kota, tempat hutan beton, kaca, semen, dan karbon dioksida menjulang tinggi mencakar langit di angkasa.

MANSHEVIORA: Semesta AlternatifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang