Sekotak Hutan Kayu dan Kematiannya #2

0 0 0
                                    

Uka terkesiap pada apa yang baru saja ia tatap. Tadinya, ia pikir hanya buah manis dongeng anak-anak belaka, ketika alam menjawab permintaan tolong darinya. Tadinya ia kira kepercayaan suku hanya mengada-ada, atau ... sejauh yang mampu ia simpulkan, hanyalah bualan mitos belaka, ketika sebatang pohon tua raksasa melambaikan rerantingnya, saling jalin-menjalin, meneduhkan. Diserapnya terik mentari, disulap jadi energi. Direguknya karbon asap polusi, diubah jadi embun pagi. Ia tak cuma seorang anak pemburu amfibi biasa. Ia tak hanya anak-anak Suku Kayu pada umumnya. Apa yang secara sadar ia miliki saat ini, bukanlah mainan manipulatif semata. Ibarat, seluruh flora di seantero jagat alam raya, mengejawantahkan diri menjadi seorang Uka.

Sisa-sisa harta benda dikumpulkan. Menggali reruntuhan atap jerami. Membongkar tumpukan tembikar. Menyisihkan pecah-belah gerabah. Timah-timah panas yang berdesingan menghantam tanah leluhurnya. Hancur. Sesanggup ia kumpulkan, sebatas pakaian dari kulit kayu. Sisanya? Tak bisa diharapkan cukup banyak membantu.

Uka menggali kawah dengan jalinan akar pohon dari sekeliling. Seperti jari-jemari berang-berang raksasa. Menari dan menggali sampai sedalam lima meter. Ia hafal betul ada sebuah tarian yang turun-temurun diwariskan. Dari generasi satu abad sekali Suku Kayu. Tarian yang hanya mampu dimengerti oleh seorang Haka, Pengendali yang hanya terlahir 100 tahun sekali, dalam satu putaran generasi Kepala Suku Kayu.

"Pasti mereka mencariku," katanya sambil menghilangkan jejak bermukimnya Suku Kayu. "Kalau saja aku tidak terbiasa main-main di dalam hutan, rantai besi sudah mengikatku saat ini."

Uka tahu, jika mereka tidak mendapatkannya di sini, kemungkinan besar mereka akan mencari di wilayah Suku Kayu lain. Jika tidak, sepasukan serdadu akan mengais-kais bekas galian ini. Dua-duanya sama-sama menyusahkan. Sebab memang tak hanya ia yang tengah dicari. Tujuan mereka tak sekadar menangkap seorang Haka. Namun, cuma sebatas itu yang bisa disimpulkan olehnya. Tiada petunjuk lain dari para anggota suku. Bahkan dari Ayah, Ibu, dan Kepala Suku.

Perjalanan mencari sesuatu yang lain itu ia lakukan serampangan saja. Asal mengikuti sambungan-sambungan akar-akaran pohon Karet. Tentu saja tak semua pohon karet bisa dijadikan patokan. Namun, yang bisa dijadikan patokan pun teramat sulit dicari. Karet tanpa bekas sayat. Sayatan-sayatan pabrik karet. Tidak semua pohon Karet sehat. Luka-luka menggores tiap jengkal batang tubuh mereka. Tak terkira pula ada berapa banyak Karet yang demikian adanya.

Langkah kaki pencarian Uka membawanya ke sebuah daerah baru. Gedung-gedung berjajar rapat. Dua kilometer dari bibir hutan. Dibatasi oleh padang rumput kering. Rumah-rumah penduduknya berbaris rapi di samping kanan dan kiri jajaran gedung. Bangunan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, bioskop, pasar, museum, dan ... hutan, di sisi lain gedung-gedung, tepat di samping Tempat Pemotongan Kayu. Ia membatin "Berapa banyak mereka sudah membunuh!? Tempat di mana sebuah pohon tumbuh dan besar, adalah tempat di mana ia akan dieksekusi. Mengapa mereka dibunuh!? Salahkah mereka tumbuh di tempat manusia punya sejuta kuasa..!?"

Jalinan akar meraih kaki dan tangan Uka. Dedaunan kecil menutupi mata dan wajahnya.

"Kami tidak bisa membiarkanmu ke sana," kata wakil dari spesies Sengon.

"Lebih baik tetap bersama kami, lindungi kami," sahut Pinus-muda.

"Mereka akan membantai seluruh ras kita," lanjut wakil Sengon. "Mereka akan meluluhlantakkan tanah-tanah suci. Mereka akan menghanguskan peninggalan-peninggalan leluhur kita. Mereka akan membakar habis monumen-monumen sumber ilmu dan pengetahuan yang dibangun susah payah untuk menghubungkan manusia dan pohon. Mereka malah memberikan setiap jengkal sisa nyawa pepohonan muda dan sesepuh hutan hujan kebencian mutlak."

"Ada bahaya yang lebih besar di sana," kata Jati-paruh-baya memberi pertimbangan.

"Spesies yang hidup dan dikembang-biakkan di sana berteriak jauh lebih memilukan ketimbang para penghuni hutan sebelum sawit dikembangkan," Albasia menengahi. "Jika engkau memaksakan diri ke sana, kau harus selesaikan persoalanmu sendiri dengan spesies di sana. Tanpa kami. Mereka tidak pernah mampu menjamah kami. Begitu pula sebaliknya."

MANSHEVIORA: Semesta AlternatifWhere stories live. Discover now