22. Tentang Sebuah Perbandingan

7 0 0
                                    

2019.
— Eeleena's Pov

Aku memtuskan pandanganku dari Niskala sebelum pria itu menyadarinya dan melanjutkan perjalananku menuju kantin yang mau tidak mau haruslah melewati lapangan terlebih dahulu.

Kakiku fokus mengikuti langkah Erik dengan kepala yang tertunduk. Enggan sekali aku bersinggungan barang sedikit saja dengan Kala, tidak mau. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk benar-benar meninggalkan pria itu tidak peduli apa yang sewaktu-waktu akan terjadi padanya.

"Lena" kakiku berhenti melangkah. Kepalaku masih menunduk dalam meskipun Erik juga sudah menghentikan langkahnya saat ini.

Kami berada di ujung lapangan dengan jarak yang masih terjangkau dari tempat Niskala berdiri bersama teman-temannya. Aku tersenyum tipis, tidak mungkin Niskala memanggilku. Pria itu tidak pernah memiliki keberanian yang cukup untuk memanggilku di tengah keramaian.

"Lena, dipanggil tuh" ucap Erik sambil mendorong pelan bahuku membuat kepalaku mau tidak mau terangkat.

"Eh, kenapa Dipta?" sedikit terkejut tidak menyangka bahwa sosok yang memanggilku adalah adik kelas yang dikagumi banyak gadis.

"Saya belum sempet bilang makasih, karena udah mau bantuin saya ngerjain tugas proyek. Thank you yah Na, meskipun kamu bilang sense desain kamu gak begitu bagus, saya tetep suka sama selera kamu, dan semua diskusi kita" Aku tersenyum mendengar ucapan yang dilontarkan Dipta, terkhusus pada kalimat yang terakhir keluar.

Perasaan paling menyenangkan adalah ketika seseorang berterima kasih kepadamu. Usahamu seperti sedang dihargai dan dirayakan, rasanya aku seperti tidak akan berhenti berusaha dan menolong yang lain hanya untuk mendengar ucapan terimakasih mereka kepadaku.

"Sure, saya juga seneng bisa bantuin kamu, congrats ya, udah ranking satu di jurusan kamu" balasku membuat Dipta tersenyum tipis sambil mendorong pelan kacamata di hidungnya.

"Saya harap saya bisa diskusi lagi sama kamu di waktu lain" pria didepanku ini kembali berucap.

"I hope so" balasku sambil melambaikan tangan dan berlalu meninggalkan Dipta setelah berpamitan dengan pria itu.

Aku ingat bahwa Dipta bukanlah sosok siswa yang suka makan di tengah hiruk pikuk keramaian kantin. Aku jarang melihatnya di tempat ini, pria itu sepertinya jauh lebih suka menghabiskan waktu didalam kelas dengan makanan dan proyek bloknya didalam laptop. Bagaimana aku bisa tau? aku sempat melihat hal tersebut melalui postingan temannya yang juga cukup kukenali.

Ternyata dugaanku benar, tidak mungkin Niskala memanggilku di tengah situasi padat ini. Dia juga seakan tidak memiliki kepentingan yang mengharuskannya memanggilku, tidak seperti waktu mamahnya yang menitipkan makanan untukku. Jika kuingat kembali, bahkan kala itu suaranya tidak terdengar lantang sedikitpun, terdengar sedikit rentan, diiringi kehati-hatian, dan sedikit kepercayaan diri.

Terlalu lama mengenal Niskala membuatku terbiasa memikirkan sesuatu secara berlebihan, menerka, dan cepat putus asa atas seseorang. Sepertinya pria itu terlalu lama menggantungku di langit-langit dunianya membuatku telah melihat banyak hal yang tidak seharusnya kulihat. Pria itu seperti buku yang telah kubaca dengan terburu-buru. Aku mengetahui isinya, tetapi tidak banyak peristiwa yang membekas dari rentetan situasi didalam buku itu. Samar sekali rasanya.

"Lena habis di ajak ngomong sama Gara" Erik berucap membuat dua manusia yang duduk di kursi kanti saat ini menatapku menggoda.

"Wah suatu kemajuan dong Na" Zavi membalas.

"Kemajuan? dari mana kemajuannya?" Aku mulai berucap sambil membersihkan alat makan yang akan kugunakan dengan tisu milik Rara.

"Loh, lo kan suka tuh sama yang modelannya begitu. Pinter, aktif disekolah dan MPK, berprestasi, jago ngoding lagi" Rara mulai menjelaskan. Gadis itu sepertinya tahu betul mengenai laki-laki yang kusukai, dan sialnya gadis itu benar.

Dipta sangatlah menarik, aku mengakui. Aku mengerti sekarang kenapa adik kelasku selalu mendambakan pria berkacamata itu. Tubuh tegapnya seakan keluar dari kisah fiksi romansa dan menggambarkan dengan baik bagaimana karakter yang selalu dijabarkan melalui rentetan diksi hadir secara nyata didepan mata. Dipta adalah suguhan yang sangat menarik, terlebih ketika dia sedang memberikan pidato singkatnya jika memenangkan lomba, keluhan-keluhan terhadap teriknya matahari di upacara senin pagi seketika meredup digantikan lontaran pujian untuk pria yang sedang memegang mic dengan erat di tengah lapangan.

"Jangan bikin gue kepikiran deh Ra" Aku membalas ucapan Rara dengan niat bercanda.

Ketiga temanku tertawa. Kami mulai menikmati menu makanan kami sekarang, ketika Erik dan Zavi menyelesaikan makanannya, pembicaraan kembali mengalir.

"Tapi lo seriusan gak ada niat mau kenal Gara lebih jauh?" Zavi mulai bertanya.

Aku membersihkan sisa saus makanan yang ada di bibirku.

"Seharusnya lo tanya gitu ke Diptanya eh maksud gue Gara" jawabku membuat Rara memekik pelan.

"Cie, udah ada nama khususnya buat Gara" gadis berkulit pucat di sebelahku terlihat senang sekali, pun dengan kedua pria di depanku yang juga melihatku dengan jenakanya.

"Itu cowok keliatan no interest banget soal cinta" lanjutku sambil memainkan sisa tulang di atas piring.

"siapa tau sama lo dia interest" balas Rara membuatku terdiam.

Manusia bisa menjadi sosok paling sederhana sekaligus rumit yang bisa kalian pahami di dunia ini, dan aku yakin Dipta juga akan begitu. Beberapa kali berbicara dengannya membuatku sadar bahwa Dipta memiliki pandangannya sendiri dalam menanggapi segala sesuatu. Pria itu memiliki prinsipnya dan terlihat tidak mudah di goyahkan.

"Coba deh lo ngomong-ngomong dikit sama dia, lo kan jago basa-basi dan deket sama orang Na" Erik akhirnya membuka suara.

"Gimana mau ngomong, gue udah gapunya alasan lagi buat ketemu sama dia" responku jujur.

Semenjak sesi bantuanku untuk projek akhir Dipta selesai, percakapan kami juga mulai memudar. Aku juga hampir tidak pernah melihatnya di koridor lantai dua, padahal aku dan teman-temanku sering duduk di tangga untuk waktu yang lama.

"Kita bantu" balas Zavi.

Aku tertawa kencang. Kenapa tiba-tiba mengenai aku dan Sagara? Aku hanya tertarik dengan pria itu dan para sahabatku ini belum mengetahuinya, meskipun begitu tidak ada niatku untuk sekedar mendekati atau mengenai lebih jauh mengenai sosok pria berkacamata itu.

"Kenapa tiba-tiba kayak gini dah?" Aku akhirnya bertanya.

"Lo gak berakhir baik kan sama Niskala? Maksud gue ga sebanding kan seneng-seneng yang Niskala kasih sama rasa sakit karena cowok itu?" Rara membalas membuatku terdiam.

Gadis ini benar. Tidak sebanding perasaan hancur dan kebahagiaan yang kudapatkan ketika aku bersama Niskala. Pria itu membahagiakanku seolah untuk mengatakan bahwa setelahnya dia bebas menghancurkanku dengan caranya.

Tidak, Niskala berbeda. Sangat berbeda hingga luka yang dia torehkan padaku pun tidak bisa dilihat dengan begitu jelas, tidak bisa kudeskripsikan dengan tepat tidak pula dapat dikatakan sangat membekas. Sulit sekali rasanya untuk memahami dan mendskripsikan sosok yang dulu sangat suka melukis itu. Segala sesuatu yang bersentuhan dengan Niskala akan menjelma menjadi hal paling rumit di dunia ini.

"Yaelah, gue juga gak pernah mikirin sebegitunya banget sama Dipta, maksud gue, siapa sih yang gak amaze sama orang kayak dia? Dan gue beneran sama kayak yang lain, amaze doang ke Dipta" Hanya itu yang bisa kulontarkan saat ini.

Tidak pernah terlintas dibenakku sosok Dipta sebagai sesuatu yang mendebarkan, aku tidak siap dengan mereka yang seketika mengambil serius hubungan kakak kelas dan adik kelas yang kumiliki dengan Dipta.

"Tipis-tipis aja dulu Na, lingkaran setan tau kalo isi otak sama hati lo cuman buat Niskala doang" balas Rara membuatku terdiam.

Nyatanya memang begitu. Tidak ada nama lain yang tinggal dihatiku selain milik pria itu. Lima tahun lebih dengan alur kisah tak menentu dan terombang ambing membuatku sedikit kesusahan untuk terbiasa tanpa menyebutkan nama pria itu dikepalaku. Mama serta kakak perempuanku yang juga mulai terbiasa dengan kisah membosankan milik kami yang terus terulang memperparah hal itu. Bukan hanya aku saja yang terbiasa, mamaku juga.

Tentang Niskala tidak pernah bisa di akhiri dengan baik-baik, tidak bisa diakhiri dengan ucapan selamat tinggal dan keikhlasan. Kami berdua sama-sama menunggu kepastian, kami berdua sama-sama tidak mau saling mengikat dan terikat, membuat melepaskan selalu menjadi akhir yang sama pada kisah kami.

Tentang Aku, Manusia, dan InnefableWhere stories live. Discover now