18. Tentang yang Selamat dan Diselamatkan

15 0 0
                                    

2019.

"Udah jelas saling suka gak sih?" Rara berucap dengan kening yang berkerut setelah mendengar Eleena menyelesaikan ceritanya, meski sebelumnya belum benar-benar selesai.

"Siapa?" Lena memastikan.
"Lo, sama Kala" lanjut Rara membuat Eleena terkekeh pelan.

"Gue gak yakin sama perasaan sendiri waktu itu, yang pasti cuman perasaan gue yang menggebu-gebu banget setiap liat Kazi, dan rasanya selalu nyaman setiap gue deket sama Niskala" Eleena menjelaskan tanpa menatap teman-temannya, seolah-olah kalimat yang keluar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang berarti.

"Dari penjelasan tadi emang kalian ngeliat kejelasan?" Lanjut Eleena sambil beralih menatap teman-temannya satu persatu.

Ketiga temannya menggeleng pelan.

"Gaada satu pun diantara dua jenis perasaan itu yang jelas" Zavi berucap membuat Lena tertawa.

Zavi benar, semasa SMP dulu semua perasaan masih terlalu samar untuk Eleena pahami. Satu hal yang pasti, jika menyukai seseorang jantung haruslah berdebar kencang, dan perut serasa diterbangi beribu kupu-kupu, begitu pikir Eleena yang masih duduk di bangku SMP. Lalu kedua hal yang dirasakan Lena atas dua orang yang berbeda pula masih kurang jelas rasanya, membuat gadis itu bahkan tidak mengerti arah perasaannya sendiri.

Jika boleh dikatakan bahkan masa SMP miliknya jauh, sangat jauh lebih menyenangkan dari masa putih abu-abu yang sedang dijalaninya saat ini. Terlalu banyak hal di luar prediksi Lena yang terjadi begitu saja, seperti pandemi, lalu dirinya yang mengejar banyak ketertinggalan di SMK, Eira dan Saha yang tiba-tiba saja berubah lalu memiliki kekasih dan lebih sering bermain dengan Bunga, serta Niskala yang tiba-tiba memutuskan masuk di sekolah yang sama dengannya.

Semua hal itu membuat Eleena kewalahan dan berpikiran untuk pindah sekolah saja, hingga tiga sosok manusia dengan kepribadian yang saling bertolak belakang itu datang dan masuk kedalam hidupnya begitu saja, gadis itu seperti menemukan setitik kecil keseruan yang menjadi alasannya bersemangat untuk pergi kesekolah setiap hari.

"Kepake gak sih?" Rara bertanya membuat Lena tersadar dari lamunannya dan sedikit terkejut ketika menyadari bahwa mereka sudah berada di lingkungan sekolah.

"Engga, gue ga sengaja ketemu penjaga lab nya, terus dia bilang hari ini kosong sampe sore soalnya adek kelas pada ikut sosialisasi semua" Zavi menjelaskan membuat ketiga manusia itu mengangguk setuju.

Lab lama, sebuah tempat yang tidak terlalu besar tetapi beralaskan karpet tebal dan penyejuk ruangan yang masih berfungsi baik menjadi sebuah destinasi empat manusia itu sebagai basecamp mereka jika kelas kosong atau kelas mereka sama-sama cepat berakhir. Lab tersebut tidak terlalu sering di fungsikan sebab sudah banyak lab-lab baru di sekolahan mereka serta kelas-kelas telah di renovasi dengan fasilitas yang jauh lebih memadai.

"Eira tau soal lo sama Niskala?" Erik bertanya sambil membuang beberapa debu halus di atas karpet merah yang mereka duduki saat ini.

"Kayaknya kalian gak bakalan percaya deh kalo gue bilang hampir setengah sekolah tau soal gue sama Kala dulu" balas Eleena membuat Rara membulatkan matanya tidak percaya.

"Serius?" Ucap Rara membuat Lena mengangguk pasti.

"Bahkan beberapa guru tau sampe-sampe gue sengaja gak dipisahin sama Niskala tiga tahun" jelas Eleena membuat Zavi menggeleng pelan.

"Njir, tiga tahun sekelas gak tuh" Eleena tertawa begitu juga dengan kedua temannya yang lain.

Keempat manusia yang baru saja menyelesaikan makan siang mereka itu duduk berhadapan, Erik dan Zavi yang menyandar di dinding sambil membicarakan seseorang yang keserupan ketika mereka ibadah minggu lalu, Rara yang menidurkan kepalanya di atas Eleena yang bersandar pada kaki meja sambil mengamati Rara yang sedang melihat jenis-jenis minuman pada salah satu aplikasi pesan antar.

Gadis mungil yang sedang berbicara dengan Elena itu rupanya sedang ingin meminum sesuatu yang menyegarkan membuat Eleena menyetujui hal tersebut.

"Kalian mau juga apa engga?" Rara menawarkan pada dua laki-laki di hadapannya.

"Mahal gak?" Erik bertanya membuat Rara menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Toko deket sini juga, enak tau" jawab gadis yang sama membuat Erik mengiyakan dan ikut memilih minuman yang dia inginkan, sedangkan Zavi tidak membeli sebab merasa dirinya akan kembung jika kembali meminum gelas minuman lain selepas ini.

Dua pasang manusia itu membicarakan banyak hal sambil menunggu pengantar minuman mereka datang, mulai dari mereka yang berharap agar tahun depan mereka dapat di tempatkan pada kelas yang sama, lalu tentang salah satu gadis dijurusan lain yang selalu mengganti pacarnya, hingga tentang Erik yang mengeluh soal harga ayam di pasar.

Keempat manusia itu perlahan-lahan mulai terbuka dan percaya kepada satu sama lain, mungkin karena tidak ada lagi yang setipe dan sepemikiran dengan mereka di sekolahan ini, semua siswa angkatan mereka seakan sedang pada menggila dengan proses penemuan jati diri membuat setengah dari mereka lupa cara beristirahat dan sisanya lupa bagaimana cara belajar dan bersungguh-sungguh membuat mereka menyepelakan segala hal di sekolah, tetapi keempat manusia ini tidak.

Mereka masih tau bagaimana caranya bersenang-senang, meski orangtua Eleena protektif, meski Zavi dan Erik harus berhemat, meski Rara cenderung boros tetapi mereka selalu bisa menghabiskan waktu bersama dan tertawa, mereka juga masih ingat tujuan awal mereka mendatangi sekolahan ini, untuk menuntut ilmu. Jika memang waktunya maka Zavi akan bersungguh, Eleena akan terus mengingatkan Erik dan Rara agar tidak bermalasan, Rara akan terus membantu Eleena dan Erik menyesuaikan color pallate yang akan mereka gunakan pada tugas desain, dan mereka yang akan terus-terusan memberi masukan kepada satu sama lain.

Eleena menyukai teman-teman barunya ini, Lena suka dengan mereka yang terus mengusahakan segala sesuatu hingga lelah sendiri, Lena suka sebab mereka mau mengerti dirinya yang susah mendapat izin bermain dan menunggu hingga dia dibolehkan pergi, tidak seperti teman-temannya yang dulu yang lebih memilih meninggalkannya tanpa mau bertanya bagaimana perasannya terlebih dahulu. Meskipun ketiga teman barunya ini sering berterimakasih karena sudah mau berteman di tengah suasana yang masih terasa asing setelah pandemi mereda, tetapi sejujurnya Eleena lah yang harus berterimakasih kepada mereka karena sudah menemukan dan mengajaknya ketika gadis itu sedang berada pada tahap paling kesepian didalam hidupnya, ketika dirinya merasa tidak akan ada hal menyenangkan yang akan dirinya dapat di tempat ini, ketika dirinya sedang hancur karena kedua temannya dari SMP itu meninggalkannya karena telah menemukan kekasih baru mereka. Eleena tidak tau apa yang akan terjadi jika Erik tidak sering mengiriminya pesan semasa pandemi dulu, dia akan terus mengira bahwa Rara hanyalah gadis jutek jika gadis itu  tidak ditegur karena tertidur dikelas, dan dia tidak akan tau jika Zavi sangatlah menyenangkan untuk berteman dengan seorang gadis. Eleena diselamatkan mereka.

"Ayok Na, bapaknya udah nunggu di depan gerbang" Eleena mengangguk dan segera mengekori Rara menuju gerbang sekolah mereka.

"Pisahin dulu kali ya, soalnya gue extra ice tadi" Eleena hanya memutar bola matanya malas saat mendengar Rara menyebutkan kebiasaan buruknya yang suka sekali minuman dingin.

Lena hanya mengamati kegiatan Rara disebelahnya, hingga matanya menangkap sesuatu di atas lengan sahabatnya itu membuatnya refleks menarik tangan kiri Rara dan segera mengangkat lengan baju sahabatnya.

"Ra, ini kenapa Ra?" Sang pemilik nama terkejut bukan main dan segera menghempaskan tangannya dari genggaman Eleena.

"Gue nanya Ra? Lo kenapa? Itu bekas luka apa?" Lena kembali bertanya dengan nada yang lebih mengintimidasi.

"Bukan apa-apa, udah lama itu lukanya" jawab Rara menutupi kepanikannya.

Eleena diam beberapa saat, mengamati sahabatnya yang sedang mengikat kantongan plastik di sebelahnya, Rara terlihat rentan dengan pertanyaan ini.

"Lo self harm Ra?" Eleena kembali bertanya sambil terus melihat kearah beberapa bekas luka sayatan di lengan pucat sahabatnya.

Tentang Aku, Manusia, dan InnefableWhere stories live. Discover now