003

1.7K 136 11
                                    

Chapter ini dikit sekali, seperti cinta dia ke kamu.

Katanya seneng ada GAB 2 tapi kok sepi ya

••••


”Ngapain aja lo seharian gak dapet duit?”

”Gue sakit, Winda.”

”Lo bisa berobat ke rumah sakit duit dari mana hah?”

”Kan lo udah ambil uang gue semuanya, masa masih minta. Gue cape, gue sakit, gue gak enak badan. Gue mau tidur.”

Brak!

”Ngeles aja lo, setan.”

Pasha terjungkal ke belakang, punggungnya menabrak ujung meja membuatnya meringis. Dengan kasar, Winda mengambil bungkusan plastik berisi obat yang harus Pasha konsumsi, membawanya ke kamar mandi dan membuangnya ke saluran air. Melihat itu, Pasha menahan tangan Winda namun sayang tenaga yang lemas membuatnya tak bisa berbuat lebih dan justru ibu tirinya itu mendorongnya lebih keras dan terjatuh ke lantai hingga ia merasakan perih.

”Jahat banget sih lo, anjing!”

”BERANI LO HAH? LO GAK PUNYA SIAPA-SIAPA SELAIN GUE BANGSAT! SAUDARA LO MANA ADA YANG PEDULI!”

Menarik rambut Pasha kasar, tanpa rasa iba, ia menggeret Pasha yang sudah menangis, membawa gadis itu ke kamar, memukuli Pasha dengan sapu. Setelah puas ia keluar, membanting pintu dan mengunci Pasha dari luar. Tak punya lagi tenaga, Pasha terisak meringkuk menahan kesakitan di sekujur tubuh akibat pukulan yang Winda berikan.

”Gue pengen mati.”

Hingga tak lama ketidaksadaran merenggut gadis malang itu.

Tiga tahun setelah kehancuran rumah tangga orang tuanya, Pasha terpaksa menerima kehadiran ibu tiri di hidupnya. Masa emas sang Ayah dulu tak membuat saudara-saudaranya peduli untuk sekedar menampungnya sampai ia terpaksa ikut bersama Winda ke ibu kota, hidup tanpa kasih sayang.

Pasha benci ibunya yang meninggalkannya sendirian.

Saat matanya terbuka entah berapa lama ia tak sadar, pergelangan tangan dan tukang punggungnya terasa begitu sakit. Hari sudah petang, berusaha beranjak, Pasha memutar kenop pintu namun pintu terkunci dari luar.

”Winda?”

Brak! Brak! Brak!

”WINDA BUKA! JANGAN KUNCI GUE.”

”Winda? Plisss jangan kurung gue lagi!”

Entah sejak kapan, air matanya sudah meluruh membasahi pipi. Berharap Winda mau berbaik hati membukakan pintu meski itu tak akan pernah terjadi mengingat hari ini dirinya tak membawa uang sepeserpun untuknya.

”WINDA!”

”BERISIK BANGSAT!”

”Bukaaaaaa! Jangan kurung gue.”

”Lo mending mati aja udah di dalem, gak guna lo keluar juga.”

Mendengarnya Pasha menangis kembali, menendang pintu meski tak berefek apapun. Tubuhnya meluruh ke lantai, meratapi nasib malangnya dan mencoba menahan rasa sakit di pergelangan tangannya yang tak mereda.

Sementara di sisi lain seorang pria duduk di balik meja kebesarannya, Guntur membaca beberapa dokumen yang harus ia tanda tangani, layar perangkat menyala memperhatikan sepasang kekasih yang memperlihatkan cincin di jemari manis mereka. Hari sudah petang dan ia belum beranjak dari kursi, masih betah berlama-lama sedikit menikmati matahari terbenam dari atas gedung kantornya.

Tersenyum miris melihat layar perangkat, Guntur  mengganti wallpaper dengan gambar Shinchan. Hingga seorang perempuan masuk membuka pintu, berjalan percaya diri membuat Guntur mengalihkan pandangannya dan tersenyum. Soraya Latief, gadis itu berdecih dan menjulurkan tangan.

”Mau kemana kamu, Ya?”

”Mau pulang, saya kan udah resign.”

”Jadi kamu kerja di perusahaan WO Jonathan?”

Soraya menggelengkan kepala, ”enggak jadi, saya mau jadi sekertaris bang Agler biar bisa jalan-jalan antar Eropa.”

”Kasian ya kerja terus kalo pacarannya sama anak-anak.”

”Apaan sih! Udah lah, jadi nyesel saya mau pamitan.”

”Bercanda, Soraya.”

”Yaudah, saya pulang nih!”

”Oke, hati-hati. Salam buat Agler.”

”Babay.”

Soraya melambaikan tangan pada Guntur, pria dewasa itu ikut beranjak. Bukan untuk mengikuti Soraya namun untuk duduk di sofa tengah ruangannya yang besar, ia ingin mengistirahatkan punggung yang terasa pegal dan nyeri.

Hingga tak lama setelah menutup mata, Riki masuk ke dalam ruangan President dan tak mendapati Guntur di kursinya. Matanya mengedar hingga menemukan bosnya itu merebah di sofa, mendekat, Riki kemudian duduk di sofa seberang.

”Pak Guntur.”

”Hmmm.”

”Saya udah dapat informasi dari teman-teman Alexander.”

Mendengar nama seseorang disebut, Guntur membuka mata dan duduk. Wajahnya nampak serius menggapai ponsel Riki atas bukti yang pria itu dapatkan dari beberapa sumber. Guntur melihat video pernikahan tercekat tak sadar mengepalkan tangan menahan gejolak amarah.

”Bagaimana bisa?”

”Alexander mantan kekasihnya pak.”

”Sialan!”

”Dan mereka menikah sudah enam bulan yang lalu.”

”Dan kamu baru dapat info sekarang, Rik?”

Riki tau itu bukan pertanyaan, melainkan bentuk sarkas.

”Kinerjamu menurun atau bagaimana?”

”Maaf.”

Mendecakkan lidah kesal, Guntur menyerahkan ponsel milik Riki dan menyuruh sekertaris yang kini menjadi satu-satunya itu keluar dari ruangan besar dan mewah milik President, takut-takut ia menjadi pelampiasan mengingat dirinya gagal mendapat informasi cepat tentang keberadaan Melati.

”Kamu gak mau saya pecat kan, Rik?”

Diambang pintu, Riki berbalik, tidak menyangkal apapun.

”Cari informasi siapa Alexander! Kalau seminggu juga gak dapat Informasi apapun, kerjaan kamu menjadi taruhan.”

”Baik, pak. Permisi.”

Guntur mengacak rambut, berteriak dan mengacak apapun yang ada di meja. Dadanya kembang kempis menahan kesal, untuk kedua kalinya ia merasakan hal yang sama.

Ditinggal menikah.

👑

Pencet bintang dan jangan lupa komen!

[#2] GUNTUR ASKA BUMI Where stories live. Discover now