43. Another Lie

5 0 0
                                    

Aroma roti bakar sayur menyambut indera penciuman Tante Amanah dan Om Fadil. Tante yang baru saja mengangkat cucian, meletakkan pakaian bersih itu, dan langsung menghampiri dapur. Terdengar istighfar meluncur dari mulutnya.

"Astagfirullahal'adzim...."

Om Fadil yang sedang meletakkan barang yang tadi mereka beli, langsung menuju dapur mendengar istrinya beristighfar.

"Ada apa, Dek?"

"Lihat tuh, keponakanmu berduaan sama cowok di dapur!" kesal Tante Amanah menunjuk Alysa dan Alvian.

"Ihh! Kita nggak berduaan di dapur, kok!" sangkal Alysa sengit.

Om Fadil memberikan tatapan tajam pada pemuda yang tampak mengkerut di samping Alysa. "Pulang!" usir Om Fadil tajam dengan kepala menoleh sepintas gestur mengusir.

Sambil menunduk, pemuda itu permisi melewati kepala keluarga itu, antara merasa takut dan lega dapat lepas dari situasi mencekam tersebut. Secepatnya, Alvian mengambil kunci serta ponselnya dan pulang ke rumah. Kini tinggallah Alysa dalam situasi sulit menghadapi kedua walinya.

"Ngapain aja kalian berdua?" selidik Om Fadil.

Alysa mencoba bersikap santai. "Kita tadi belajar bareng, Om. Nggak ada yang aneh-aneh, kok!" jawabnya.

"La, terus, ngapain kalian berduaan di dapur?!" desak Om Fadil.

Alysa menghela napas. "Udah Alysa bilangin, kita nggak berduaan! Tadi kita berempat, terus—"

"Kamu tadi SMS tante, bilang bakal belajar ke rumah temen. Kenapa sekarang di sini?" tukas Tante. Matanya melirik pada teflon di atas kompor yang mati. Tampak olehnya terdapat roti bakar sayur di dalamnya. Melihat roti itu, entah sudah berduaan berapa lama Alysa dengan lelaki tadi.

"Udah selesai, Tante..., habis itu Alysa neraktir Alvian, Arman, sama Kinan makan roti bakar," dusta gadis itu.

Tante Amanah menghampiri kemasan roti di dekat kompor. Melihat isinya yang masih baru, sudah jelas itu roti 'ngidamnya' yang Alysa masak.

"Kamu kenapa masak roti tante?" tanyanya dengan nada kecewa bercampur kesal.

"Roti baru kamu yang dibikin?" tanya Om Fadil tak menyangka.

Tante Amanah mengangkat kemasan roti yang isinya tinggal separuh. "Iya, rotiku yang dipakenya."

"Lis! Kenapa kamu abisin roti Tante! Kenapa nggak pake roti lama?" tuntut Om Fadil.

Alysa memutar bola matanya dengan kesal. "Udah Alysa pake. Udah abis!" balasnya ketus.

Jawaban ketus dan sikap tak merasa bersalah dari keponakan yang tertangkap basah, membuat kemarahan yang ia tahan-tahan membeludak. Sambil melangkah cepat, Om Fadil mengangkat tangan kanannya. "Berani kamu ngomong gitu sama, Om?"

"Uhng...." Alysa langsung menunduk ketakutan sambil melindungi sebelah pipinya. Membuat pria itu urung menamparnya. Namun, bukan berarti kemarahannya reda.

Kedua bahu Alysa langsung ia cengkram dan guncang-guncang. "Kamu ngapain aja selama, om tinggal! Ngapain berdua-duaan?" desaknya.

Alysa yang mencoba mempertahankan perasaan tak bersalahnya, kini mulai menangis. "Udah Alysa bilang. Alysa teraktir temen-temen. Terus Arman sama Kinan pulang duluan. Di sini Alysa cuma ngobrol sebentar sama Alvian," isaknya mempertahankan dusta dengan kepala tertunduk.

"Kalau kamu jujur, tatap om. Jangan nunduk!" bentak Om Fadil sambil mengguncang-guncang bahu Alysa. Namun, gadis itu menggeleng dan melepaskan diri. Ia berlari sambil menangis keras.

"Oi! Balik kamu ke sini!" teriak Om Fadil marah.

"Udahlah, Mas," pinta Tante Amanah. Ia tak tahan melihat suaminya memarahi Alysa. "Itu cuma roti, kita bisa beli lagi," hibur wanita itu menyentuh bahu suaminya.

Respons Om Fadil justru mengedikkan bahu enggan disentuh istrinya. "Bukan cuma soal roti. Kamu nggak mikir udah berapa lama anak itu berduaan? Entah udah ngapain aja anak itu selama kita tinggal!" ucap pria itu tajam.

Tanpa pasangan itu duga, Alysa kembali ke dapur dengan langkah menghentak-hentak. "Ini yang tadi kita kerjain! Kalau Om kira Alysa berbuat tak senonoh, Om salah! Alysa lagi haid!" pekik gadis itu sambil menunjukkan buku tulis sejarahnya dan kertas kalender yang telah digambari di sisi belakang.

Setelah itu, Alysa berlari ke kamar dan mengurung diri. Ia menangis di kasur. Tampak olehnya ponsel yang sedang ia isi ulang, membuat gadis itu ingin mencurahkan isi hatinya pada Ibu.

Meskipun Alysa berbohong, tetapi tuduhan bahwa ia dan Alvian berbuat tak senonoh membuat gadis itu berkeras bahwa ia tak bersalah. Cerita versinya mengenai mengerjakan tugas bersama, ia pertahankan sebagai kebenaran.

Sementara Om Fadil, masih tak mempercayai keterangan keponakannya. Istrinya yang tak nyaman dengan suasana berkonflik ini menengahi suaminya. Dengan lembut ia sentuh bahu suaminya. "Udahlah, Mas. Ini salah kita juga yang nggak langsung pulang. Kita tunggu Alysa tenang, baru kita bicarakan baik-baik," saran Tante Amanah.

Kemudian, wanita itu mengambil buku tulis dan kertas kalender yang tadi Alysa buang ke lantai dan membereskannya. Lalu, ia mengambil cucian, meletakkannya di kamar, dan berganti pakaian.

Sedangkan Om Fadil, dia beristighfar dan wudhu. Begitu keluar dari kamar mandi, peralatan dapur dan bahan makanan yang belum dibereskan, mengganggu penglihatannya.

Tok-tok-tok

"Alysa, beresin dapurnya! Jangan sampai tantemu yang ngeberesin. Kan' kamu yang tadi masak," perintah Om Fadil tegas. Dapat ia dengar Alysa sedang curhat entah dengan siapa.

Terlepas Alysa mengadukan ia ke orang tuanya, Om Fadil tak peduli. Ia belum mempercayai kesaksian Alysa yang terkesan berbohong dan keluarga abangnya tak bisa menuduhnya begitu saja tanpa bukti.

Usai sholat, Om Fadil mandi. Lalu, ia mendapati istrinya membereskan dapur dengan handuk tersampir di bahu, membuat pria dengan handuk di pinggang itu berkacak pinggang.

"Kok, kamu yang beresin dapur? Biar dia aja yang beresin!" tuntut Om Fadil.

Tante Amanah menjawab, "Dia diem aja, ya udah kuberesin." Om Fadil merasa geram dengan sikap cuek Alysa dan akan menegur gadis itu jika ia masih abai.

"Kursi wc udah kupasang ke wc. Kamu hati-hati ya!" pesan pria itu pada istrinya.

"Kenapa Mas pasang sekarang? Itu kan dipasang kalo aku udah hamil gede," protes istrinya, membuat Om Fadil menepuk dahinya.

"Oh, iya, lupa," ucap pria itu sambil meringis.

Setelah itu, Om Fadil pergi ke kamar dan berpakaian. Lalu, makan duluan dengan lauk dan sayur sisa tadi pagi.

"Alysa! Kamu nggak mandi?" panggil Om Fadil begitu istrinya selesai mandi.

Setelah terdiam sejenak, Alysa menjawab, "Nggaaak."

"Terserah kamu, lah!" gerutu pria itu. Lalu ia dan istrinya melaksanakan sholat maghrib berjamaah.

"Alysa, kamu nggak makan?" tanya Tante Amanah seusai sholat. Tak ada tanggapan dari Alysa.

Om Fadil merasa kesal dengan sikap cuek keponakannya. "Alisa! Ditanya tante itu jawab!" pekik Om Fadil kesal.

"Nanti," jawab Alysa dari balik pintu.

"Sayur sama lauknya tinggal sedikit, nanti kamu nggak kebagian," bujuk wanita itu.

"Nanti Alysa makan roti bakar tadi," jawab Alysa dari kamar.

Om Fadil yang bersiap kembali ke kedai berkata pada istrinya. "Udah, biarin aja dia. Kamu makan aja dulu. Terserah dia mau makan atau mau ngambek terus," ujar pria itu yang dituruti istrinya.

Kemudian, Om Fadil mengecup dahi istrinya dan berpamitan. Sepeninggal suaminya, Tante Amanah makan malam sendirian dan mencuci piring.

Alysa baru makan ketika Tante Amanah melipat cucian di kamar. Di saat Alysa mencuci piring, Tante Amanah mendapati topi rajut Alysa ada dua, serta Alysa memiliki sweater dengan gambar pasangan di antara huruf 'I' dan 'U'.

Mendapati sweater itu, Tante Amanah teringat dengan cerita Nanang mengenai pasangan muda tak senonoh di pantai. "Pasangan itu bukan Alysa dan pacarnya Kan?" batin Tante Amanah, mengaitkan hal ini dan peristiwa sore tadi di dapur, saat ia dan suaminya memergoki Alysa berduaan.

Bersambung

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Where stories live. Discover now