39. Cerita Nanang

17 1 0
                                    

Di saat Alysa tengah membayar belanjaan Alvian. Tante Amanah, om Fadil, dan Nanang sudah bekerja usai Jum'atan, menyiapkan makanan di kedai mie bakso sambil mengobrol.

"Gimana libur mendadak kemaren, Nang? Kamu udah buka ruko?" tanya wanita itu sambil menata minuman gelas ke dalam kulkas.

"Wah, kaget saya waktu dikasih tau, Mbak Am. Saya udah belanja, mie udah saya jemput, tinggal saya bawa ke kedai. Untung aja pak bos nelpon—ngabarin kalo hari ini libur. Jadi, saya balikin lagi mienya," celoteh bapak muda itu sambil menata mie di etalase gerobak.

"Lho? Emang boleh, Nang?" tanya om Fadil sambil mengangkut wadah berisi ayam tumis ke depan.

Sambil mengeluarkan caisism dari kulkas, Nanang menjawab bosnya. "Untungnya yang ini boleh, Mas, karena belum saya bawa. Coba kalo nggak? Terpaksa saya kulkasin mienya.

"Cuma, untuk bakso dan sayur, saya udah telanjur ambil. Jadi saya kulkasin. Untungnya kalau bakso 'bermalam di toko' nggak pa-pa," tambah pria gondrong itu sambil membasuh caisim.

"Terus, sehabis itu kamu ngapain?" tanya tante Amanah yang kini disuruh duduk oleh suaminya. Sebelum Nanang menjawab, ia memisah-misahkan bakso yang kini mendekati suhu ruang dan membawanya ke depan.

"Mumpung libur, masih siang 'kan? Saya jemput istri sama anak saya di rumah. Terus saya ajak mereka ke pantai. Istri saya seneng banget," cerita pegawai itu sambil menyusun bakso di pinggir kuali.

"Medsos, siapa yang update?" tanya tante Amanah beranjak menyiapkan segelas es teh.

Om Fadil menoleh sekilas pada istrinya. "Oh, itu aku, Dek. Udah kukabarin di IG, FB, dan WA kalau kedai kita tutup kemaren. Di grup 'Gang Pedagang' juga udah kukabarin," jawab om Fadil sambil membuka aplikasi pesanan makanan. Wifi kedai juga sudah ia nyalakan dari tadi.

"Jelek banget postingannya. Padahal adek masih bisa ngurus kemaren," keluh wanita itu mengingat postingan kedai di status WA kemarin.

"Nggak pa-pa, yang penting pelanggan tau. Ni, kita ada order dari aplikasi, 10 porsi mie bakso, 10 porsi mie ayam," ucap om Fadil seraya menyimpan ponselnya.

Mendengar pernyataan suaminya, wanita itu berdiri. "Dicampur atau dipisah?" tanyanya.

"Dipisahlah," jawab suaminya merebus mie.

Wanita itu segera menyiapkan 20 mangkuk plastik dan menatanya di permukaan gerobak. "Kamu duduk aja! Bikin postingan, biar Nanang yang ngurusin," tegur suaminya.

"Iya, nanti pas udah mateng pesenannya, biar bisa kufoto," kelit wanita itu yang kini mulai menyalin saus dan sambal ke plastik panjang. Lalu ia menanyakan kabar anak Nanang. "Nang, anakmu udah bisa ngapain?"

Nanang tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dengan antusias, dia menceritakan putranya. "Anak saya lagi seneng-senengnya jalan. Kemaren lihat air mau berenang dia. Saya larang, 'Jangan! Jangan! Airnya kotor!' Banyak sampahnya Mbak, ada bangkai binatang ngambang lagi. Padahal bayar parkir sama ongkos masuknya mahal," keluh pria itu sambil memotong-motong caisim supaya mudah dimasak.

"Terus, anakmu ngerti kamu ngomong gitu?" tanya tante Amanah yang tertarik mendengar cerita pegawai suaminya. Jari-jemarinya cekatan mengikat plastik saus dan sambal serapat mungkin hingga padat dan berbentuk mirip sosis.

Om Fadil bertukar tempat dengan Nanang, kini gantian lelaki gondrong itu merebus sayur. Sedangkan atasannya menata mie ke dalam wadah. Wajahnya tampak serius menakar toping bakso atau ayam dengan tangan terbungkus sarung tangan plastik.

"Udah paham dia, Mbak. Kan' anak saya ngomong dulu yang lancar, baru bisa jalan. Segala kucing di pantai dia sapa. Lihat balon, dia teriak, 'balon! Balon!'" celoteh Nanang dengan seru.

Tante Amanah terhibur mendengar penuturan Nanang. "Anak yang sehat. Emang sewaktu hamil, istrimu mual-mual nggak?" selidik wanita itu penasaran.

Sambil meniriskan sayur rebus supaya dingin, Nanang menjawab, "Alhamdulillah cuma mual dikit di awal, Mbak. Tapi pinggangnya sakit, kaki bengkak. Sering saya pijetin."

"Makannya gimana? Susah nggak?" tanya wanita itu lagi antusias.

"Makan, alhamdulillah nggak susah. Cuma, istri saya ngidam bebek geprek saos ijo di ruko deket 'Mamang Bakso' yang nyuplai bakso kita," tunjuk Nanang ke lokasi ruko dekat tempat mereka.

"Mungkin itu sebabnya anak saya cerewet, 'kwek, kwek, kwek', kayak bebek," celoteh pria itu mengundang tawa. Bahkan om Fadil yang 'mode serius' pun ikut tertawa mendengar ocehan kawannya itu.

"Tuh, kan, Mas. Mual cuma di awal aja. Setelah itu nggak pa-pa," tegas tante Amanah pada suaminya.

"Itu kan istri Nanang. Bedalah!" sanggah suaminya sambil meraup saus yang telah dibungkus rapi oleh istrinya.

"Betul, Mbak. Kondisi tiap orang beda-beda, nggak bisa disamain, apalagi pas hamil besar, susah jongkoknya," timpal si pegawai yang lebih berpengalaman merawat ibu hamil, sementara tangannya sibuk menata sayur di tiap mangkuk.

"Tapi denger ceritamu kayaknya pantai jorok. Udah lama aku nggak ke sana," singgung tante Amanah mendekati gerobak dan memfoto mie yang siap makan itu sebelum dibungkus.

Sambil menutup setiap mangkuk, Nanang membalas. "Wah, kalau Mbak di sana, miris lihatnya. Udahlah jorok, sampah di mana-mana. Banyak anak pacaran. Malah ada, tuh! Pasangan pake sweater couple, pake topi rajut, mesra-mesraan, sampe ciuman tanpa malu nggak liat tempat," cerocos pria itu menyayangkan.

Tanpa mengalihkan pandangan dari foto yang tengah ia proses. Tante Amanah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Begitulah realitanya sekarang, Nang. Anak zaman sekarang pacaran berlebihan tanpa tahu malu. Makanya saya didik Alysa biar nggak terjerumus."

Nanang menoleh menatap istri bosnya dengan tatapan bingung. "Alysa itu keponakan Mbak atau Mas bos?"

"Keponakanku," jawab om Fadil sambil mengeluarkan 20 bungkus kerupuk pangsit dari toples kerupuk, dan mengemas tiap bungkus ke seporsi mie.

"Iya, keponakan mas," timpal tante Amanah membenarkan jawaban suaminya. "Tapi yang lebih banyak menghabiskan waktunya bareng Alysa itu aku. Pagi, abis subuhan, mas molor, siang kerja, pulang pas anak itu udah tidur. Jadi, aku yang ngurus dia," ucap wanita itu pada Nanang dengan sindiran tersirat untuk om Fadil. Namun, suaminya seperti menulikan telinga. Tampak ia memasukkan kedua puluh pesanan ke dalam plastik besar.

Begitu kedua puluh pesanan itu beres, om Fadil mengangkat plastik besar itu dan memberikannya pada kurir yang sudah menunggu dari tadi, tak lupa pengusaha itu memberikan isyarat 'terima kasih' dan 'hati-hati' yang dapat pembeli itu pahami. Segelas es teh yang tadi tante sajikan gratis setiap hari Jum'at, telah tandas.

Begitu kurir itu pergi, om Fadil membuka rolling door dan resmi membuka kedai untuk pembeli fisik (offline).

"Alysa udah pulang belum? Nanti kalau Alysa pulang, kamu kuanter ke rumah," ucap om Fadil memerintahkan istrinya.

Bersambung

Hai teman-teman 🙋‍♀️
Sudah 40 chapter Timo publish, semoga menikmati cerita ini.

Spoiler: selain chapter ini khusus menunjukkan profesi om Alysa biar profesinya nggak tempelan, sekaligus membangun konflik yang bakal menimpa Alysa

Vote, komen, dan share cerita ini.
Jangan lupa kunjungi karya Timo yang lain.

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Where stories live. Discover now