30. Berbagi itu Indah

10 2 0
                                    

"Berhenti!" pekik Alysa.

Teriakan gadis itu serta-merta membuat Alvian membelokkan motor memasuki area masjid guna berhenti dengan aman.

"Ada apa?" tanya Alvian panik, "ada yang ketinggalan?"

Buru-buru Alysa turun dari motor dan melepas helm-nya seraya berkata, "Kita belum sholat."

Mendengar hal itu, tanpa diduga Alysa, Alvian justru marah. "Cuma karena itu doang, kamu panik!?" sergah pemuda itu.

Alysa terkejut dengan reaksi pacarnya. "Ya iyalah panik! Makanya aku suruh Kakak berhenti," balas gadis itu pedas. Dengan langkah dihentak-hentak, Alysa berjalan menuju tempat wudhu.

Alvian mengusap wajahnya. Ia sama sekali tak bermaksud memarahi gadis itu. Alasan yang Alysa kemukakan sama sekali tak konyol. Hanya saja bagi Alvian yang tidak dididik secara religius, sholat sama sekali bukan prioritas utamanya.

"Malu aku sama dia," monolog pemuda itu lirih. Gegas, ia parkirkan motor, lalu menyusul Alysa sholat ke dalam masjid.

Sekitar 20 menit kemudian usai sholat, Alysa sedang mengenakan alas kakinya di tangga batas suci. Benak gadis itu sama sekali tak habis pikir, mengapa pemuda itu begitu marah tadi.

"Apa caraku minta berhenti tadi lebay ya?" tanyanya dalam hati.

"Melihat reaksi cowokmu yang meremehkan kewajiban, di mataku dia red flag," papar si otak logis.

"Tapi menurutku reaksi Alysa pas minta berhenti tadi lebay banget! Kamu harus minta maaf, Lis," timpal si otak bucin.

"Benar, aku harus minta maaf," putus gadis itu.

Di saat Alysa sedang menunggu Alvian selesai sholat. Telinga Alysa mendengar suara anak kecil bermain-main. Gadis itu mengedarkan pandangannya dan melihat ada seorang anak balita berjalan-jalan di teras masjid sendirian.

Lantas, Alysa menghampiri anak itu yang sedang mengayun-ayunkan stik es krim yang basah ke lantai. "Eeh! Jangan, Dek!" cegah Alysa supaya bocah itu tak mengotori lantai masjid.

"Eeeuuhhh." Anak itu berjalan menjauhi Alysa.

"Sini, sini, Dek. Yuk! Main air!" ajak Alysa supaya anak itu mencuci tangan dan mulutnya yang belepotan di keran air terdekat.

"Ehehehe." Anak itu senang bukan main saat bermain air. Dengan lembut, Alysa mengusap mulut anak itu.

"Aduuhhh, ibu kamu mana ya?" keluh gadis itu.

Baru saja Alysa mengeluh dan kebingungan, muncul seorang wanita buru-buru menghampiri mereka.

"Adek! Jangan main air!" larang wanita itu.

"Ibu!" sapa anak itu memanggil ibunya.

Mata Alysa membulat tatkala melihat ibu dari bocah tadi. "Lho? Ibu?" sapa Alysa.

"Siapa ya?" tanya ibu itu sambil menggendong anaknya. Matanya sejenak memindai Alysa yang tampak familiar sebelum akhirnya mengenali gadis itu. "Oh, kamu, Lis? Apa kabar?" sapa wanita itu dengan nada ceria. Lalu ia mencium pipi gadis itu dan mengusap-usap kepala Alysa.

"Iih... udah gede aja anak ini. Arman cerita kalo kamu sekolah di sini. Gimana kabar ibumu?" tanya wanita itu.

Alysa langsung menyalami tangan wanita yang pernah menjadi tetangganya itu. "Baik, Bu. Ibu sendiri gimana kabarnya?"

"Ya, begini. Masih jadi perawat di rumah sakit dekat sini. Cuma, kali ini nggak nitipin anak," jelas ibu itu sambil mengusap-usap wajah anaknya yang basah.

"Ini adeknya Arman, Bu?" tanya Alysa pada wanita yang ternyata ibunya Arman. Tak menduga bahwa bocah yang barusan ia awasi ternyata anak ibu itu.

Ibunya Arman tersenyum lucu, antara geli dan gemas. "Iya, Sayang. Kan bapaknya masih ada," jawab wanita itu sambil mencubit pipi Alysa, membuat gadis itu merasa malu sudah mengajukan pertanyaan konyol. "Kenapa? Arman belum pernah cerita ya?"

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang