18. Obrolan Dua Mata

33 17 30
                                    

Jam istirahat pertama baru saja berakhir. Alysa mengikuti pelajaran kimia dengan cemas. Untunglah guru kimia belum memeriksa tugas yang terkumpul, sehingga Alysa merasa ia dapat mengumpulkannya nanti.

"Ngapain sih, Alvian? Kok, buku PR-ku belum dikembaliin?" pikirnya gelisah sambil mengetuk-ketukkan kaki ke lantai.

Sesekali saat ada kesempatan, Alysa mengirimkan pesan pada Alvian, menanyakan perihal buku tugasnya, tetapi pesan itu sama sekali tak dibalas. Membuat gadis itu senewen.

Begitu jam istirahat kedua tiba, Alysa langsung ke luar kelas, ia hendak mendatangi Alvian. Perutnya yang terasa lapar tak ia pedulikan. Saat ini di kepalanya ia hendak menuntut penjelasan dan meminta buku PR-nya.

Sesampainya di sana, kelas 10F tampak sepi. Sebagian besar anak pergi ke luar untuk menikmati waktu istirahat.

Pada seorang anak, Alysa bertanya, "Lihat kak Alvian nggak?"

"Tadi dia ke luar," jawab anak itu.

"Ngomong-ngomong, kak Alvian duduknya di mana ya?"

Anak itu menunjuk pada sebuah bangku yang terletak agak di belakang. Alysa pun mendekati bangku itu, lalu ia melongok ke dalam lacinya dengan harapan ia akan menemukan buku PR kimianya yang bersampul kalender putih.

"Kamu ngapain?" selidik anak itu.

"Dia minjem buku tugasku dan belum dikembaliin," adu Alysa tanpa sadar.

"Punya nomornya nggak? Coba aja telepon!"

Menuruti saran anak itu, Alysa mencoba menghubungi Alvian. Pemuda itu menjawab panggilannya.

"Ada apa, Lis?" tanya Alvian santai.

Alysa yang tadi merasa sedikit emosi, mencoba untuk tidak meninggikan suara pada pemuda itu. Ia berpikir mungkin Alvian lupa.

"Kak, buku PR kimiaku belum dikembalikan," ucap gadis itu.

"Ohh, kalau itu bukunya aku bawa. Kalau mau ambil, ayo ke belakang sekolah," perintah Alvian.

Permintaan Alvian membuat Alysa mengernyitkan dahi, ia kembali emosi karena merasa dipersulit.

"Kakak mending balik ke kelas, deh! Ini aku udah di kelas F, nih."

"Mau buku tugasmu balik nggak? Kalau iya, ayo, ke belakang sekolah."

Alysa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, entah apa maunya anak ini. "Aku nggak tahu tempatnya!" tolak Alysa secara tersirat.

"Itu loh, dari gerbang kecil tempat ibu-ibu kantin biasa keluar-masuk, kamu ke luar lewat situ, aku tunggu di sana, dahhh." Panggilan diakhiri.

Meski Alysa merasa agak kesal, ia sedikit penasaran dengan hal yang akan menantinya nanti. Dengan patuh, gadis itu mendatangi tempat yang Alvian maksud.

Usai melewati pintu kecil di tembok belakang sekolah yang Alvian maksud. Alysa mencari-cari sosok pemuda jangkung itu.

"Mana tuh orang? Jangan-jangan aku di-prank?" omel Alysa. Ketika gadis itu hendak kembali ke gerbang, sebuah suara tanpa wujud menyapanya.

"Hoi! Aku di sini."

Alysa menoleh kesana-kemari, ketika ia menoleh ke atas tembok, barulah ia menyadari bahwa Alvian duduk di atas tembok.

"Ngapain Kakak di atas situ?" ucap Alysa. "Pantes aja ni anak tadi nggak keliatan," batinnya.

Alvian lalu turun dari atas tembok dan menjejakkan kaki ke tanah, membuat Alysa sedikit merasa kagum melihat pemandangan ini, sebab baginya hal seperti itu mustahil ia lakukan, apalagi dengan rok panjang yang ia kenakan.

"Aku denger...," ucap pemuda itu sambil mendekati Alysa, "katanya kamu diam-diam memfoto aku ya?" tuduh Alvian blak-blakkan.

Mendengar hal itu, Alysa terkejut dan gelagapan. "Ma-maksud Kakak apa?"

Alvian menumpukan sebelah tangannya pada tembok di samping Alysa. "Maksudku kamu penguntit, kenapa kamu diam-diam foto aku? Kamu naksir ya?"

Alysa tentu saja enggan mengakui hal itu. Sambil menundukkan pandangan, gadis itu menyangkal, "udahlah, Kak, balikin aja buku PR-ku," pinta gadis itu.

"Boleh, tapi jawab dulu pertanyaanku. Aku nggak suka kalau ada orang diam-diam moto aku."

Meskipun Alysa memang pernah memfoto pemuda itu diam-diam, tetapi gadis itu sudah memindahkan foto pemuda itu ke laptop untuk mengantisipasi hal ini.

"Kalau Kakak nggak percaya, ini lihat aja hapeku," ucap Alysa seraya menyerahkan ponselnya pada Alvian.

Alvian sama sekali tak menduga hal ini. Kini keyakinan dan kepercayaan dirinya nyaris saja goyah dan berubah menjadi malu, jika bukan karena ekspresi Alysa yang tampak malu-malu dan memerah, ia pasti sudah mengakhiri rencana ini.

"Baik, aku cek hapemu." Ponsel Alysa pun berpindah ke tangannya.

Di saat pemuda itu sedang memeriksa ponsel Alysa. Alysa yang hendak keluar dari kungkungan Alvian langsung dicegat. Sebelah kaki Alvian langsung terjulur menghalangi Alysa.

"Eit, mau ke mana? Jangan pergi dulu, ada yang mau kuomongin."

"A-aku memang nggak ke mana-mana, kok! Risih aja diginiin sama Kakak. Lagi pula buku PR dan hapeku masih di Kakak," protes Alysa.

"Kalau begitu jelasin ini apa?" ujar Alvian sambil menunjukkan foto dirinya yang ada di file sampah.

Seketika Alysa menjerit dalam hati melihat hal itu, sejumlah alasan hendak ia ungkapkan, tetapi Alvian memotong kesempatannya.

"Nggak masalah, ada yang mau aku omongin sama kamu," ucap Alvian sambil mengembalikan ponsel Alysa.

Tanpa Alysa duga, Alvian menembak Alysa dan mengajak gadis itu menjadi pacarnya. (Rincian adegan ada di prolog)

"Jadi kamu mau nggak jadi pacar aku?" tanya Alvian.

"Soal itu, engg ...."

"Ya udah, kalau nggak mau nggak apa-apa, padahal aku serius."

"I-iya deh, aku mau." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Alysa. Tanpa sadar ia terpaksa mengiakan.

"Oke, kita resmi pacaran," ucapnya sambil tersenyum, "nanti aku jemput kamu sepulang sekolah."

"Terus soal buku PR-ku?"

"Oh, hampir lupa, ini." Alvian mengeluarkan buku Alysa dari balik seragamnya, rupanya Alvian menyimpan buku Alysa di sana.

Suara bel membuat keduanya berpisah. Alysa sama sekali tak mengerti mengapa ia ditembak oleh Alvian, si cowok ganteng populer, tetapi rasa gembira juga×w mendominasi pikirannya, membuatnya gembira.

"Mimpi apa aku semalem?"

Bersambung

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin