Painful Distance

51 6 0
                                    

Leonard sengaja mengosongkan jadwalnya hari itu saat tahu istri dan ibunya akan pergi.

Dia sudah memikirkannya dengan baik, untuk memisahkan Vivianne dan Jeanette. Delusi memaksanya untuk memperlakukan bunga tidur yang Milly berikan, sebagai permintaan terakhir dari wanita yang ia cintai.

Pikirnya, suatu saat nanti Vivianne juga akan memiliki anaknya sendiri dan mengabaikan Jeanette. Jadi tidak ada yang salah dengan keputusannya. Hanya saja Leonard ingin membesarkan Jeanette tanpa pengaruh Vivianne, lebih cepat dari yang seharusnya.

Aku melakukan keputusan yang tepat. Berkali-kali Leonard meyakinkan dirinya sendiri di setiap langkahnya menuju kamar Jeanette.

Leonard berdiri di depan kamar putrinya. Ia jarang mengunjungi anak itu dan sekarang ia datang untuk mengatakan sesuatu yang tak menyenangkan.

“Duke? Selamat pagi.” Bessie membuka pintu sebelum Leonard sempat mengetuknya.  “Ayah?” Jeanette mengintip dari balik pengasuhnya, bingung dengan kedatangan ayahnya yang tak biasa.

“Aku ingin berbicara dengan Jeanette.”

Bessie kebingungan, tapi ia  tak punya hak untuk mempertanyakan perintah tuannya. Pengasuh itu menoleh menatap Jeanette, berharap dalam hati agar nona kecilnya tak mendapat masalah.

Bessie memberi jalan untuk Leonard masuk lalu menutup pintu kamar Jeanette sebelum meninggalkan keduanya.

Berdua dengan Jeanette membuat leher Leonard terasa kaku. Ia memang sudah yakin dengan keputusannya, namun ia belum mempersiapkan kata-kata untuk disampaikan.

Leonard mengambil langkah lambat untuk duduk di sofa yang ada di kamar anak itu. Matanya menelusuri kamar anak perempuannya, berharap menemukan apa yang akan ia ucapkan.

Pria itu tak sadar kalau diamnya membuat Jeanette gelisah. Anak itu berdiri diam di tempat, cemas menatap ayahnya.

“Apa kamu menghabiskan semua waktu luangmu dengan putri?” tanya Leonard. Pria itu menuntut jawaban yang serius dari Jeanette. Ia mengabaikan kenyataan bahwa usia Jeanette baru genap lima tahun belum lama ini.

“Ya, tapi aku tidak mengganggunya. Putri bilang aku boleh main dengannya kalau dia punya waktu.”

“Pernahkah dia tidak punya waktu untukmu?” Tatapan Leonard kini tertuju lurus menatap mata Jeanette, membuat kepala anak itu menunduk cepat untuk menghindar.

Pertanyaan terakhirnya tak mendapatkan jawaban dan Leonard menghela napasnya. Tidak ada gunanya basa-basi. Leonard ingin bicara terus terang dan Jeanette harus memahaminya.

“Kamu tidak boleh main dengan put-” ucap Leonard tak tuntas karena Jeanette memotongnya cepat. “Kenapa?” Jeanette bertanya tak terima.

“Karena dia bukan temanmu.” Berat untuknya merusak kesenangan Jeanette. Di saat yang sama logikanya menemukan begitu banyak alasan untuk mendukung keputusannya.

“Putri bukan temanmu, dia istri ayah. Dia tidak tinggal di sini untuk selalu bermain dengan kamu,” jelas Leonard tegas. Ia ingin Jeanette tahu bahwa pendapatnya tak akan berubah.

“Tapi paman bilang-” kali ini Leonard yang memotong ucapan anak itu. “Siapa yang kamu panggil paman itu? Siapa dia, sampai kamu berani membantah ucapan ayah?” Leonard mencecar Jeanette, memaksa anak itu menelan balasan yang mungkin sudah ada diujung lidahnya.

Jeanette hampir menangis. Bagaimana bisa dia tidak berteman dengan putri? Dia paling bahagia saat bersama putri.

“Putri adalah orang asing di sini. Dia harus berbuat baik agar terbiasa, itu sudah tugasnya. Kelak dia akan punya anaknya sendiri dan apa yang akan kamu lakukan?”

Graceful DisgracesWhere stories live. Discover now