Down

64 4 1
                                    

"Salma bukan gagal tapi suksesnya yang tertunda."

- Dewi -

***

Salma dan orang tuanya sudah sampai ke rumah sederhananya, jauh dari lubuk hatinya ia sudah rindu pada kampung halaman tapi tetap saja Jakarta masih menjadi tempat yang ingin ia singgahi sekaligus menjadi saksi bisu awal perjuangannya.

Gadis dengan rambut diikat satu itu menghela napas berat, sulit rasanya harus merelakan sesuatu yang sudah setengah perjalanan padahal sedikit lagi selesai tapi takdir Tuhan tak ada yang tahu.

Papah yang melihat itu turut merasakan kesedihan anaknya, "Sedih boleh dek,"

"Tapi jangan lama-lama ya," papah mengusap bahu Salma lembut.

"Papah kangen Salsa yang ceria," ucap papah sembari mendekap anak bungsunya.

Salma tersenyum tipis, merasa tak enak sudah menunjukkan kesedihannya di depan mereka. "Iya Pah,"

Mereka masuk ke dalam rumah menyusul sang ibu yang sudah disana, Kelvin menyambut hangat kepulangan adiknya dengan senyum yang mengembang, bangga atas hasil kerja keras Salma. Adik kakak itu saling melepas rindu walau sesekali terselip ribut diantara mereka.

Sudah larut malam, papah mengantarkan Salma ke depan kamar. "Dek, lusa udah mulai sekolah lagi, persiapin alat tulismu ya."

Salma mengangguk, saking seriusnya dalam kompetisi ia hampir melupakan pendidikannya, beruntungnya ada papah yang mengingatkan.

"Istirahat, udah malem."

***

Gadis seragam merah putih itu masih bersiap dengan pakaiannya, ia berjalan menuju lemari kayu, mencari sesuatu disana.

"Mah, kaos kaki Salsa mana ya?" tanyanya sedikit keras.

"Ada, mamah gantungin sama seragam," jawabnya sembari mengaduk-aduk sayur yang hampir matang.

Salma terus mencari, tak sadar ia sudah membongkar semua isi lemarinya. "Tapi ndak ada mah,"

Mamah mematikan kompornya lalu beranjak pergi ke kamar Salma, "Bener?"

Anaknya itu mengangguk, mamah berjalan mendekati lemari itu.

Ia terkejut bukan main melihat penampakan lemari Salma yang berantakan, "Astagfirullah Sa, ini lemarimu kok bisa sampai kayak gini?"

Salma menggeleng polos.

Mamah menghela napas, mencari satu demi satu gantungan yang dimaksud dengan dengan teliti, "Ini lho ada, cari toh yang bener,"

Sepasang kaos kaki putih ditunjukkan mamah.

Salma menyengir sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal, perasaan tadi ia sudah cari-cari sampai lemarinya seperti kapal hancur dan tak ada, tapi mengapa mamah yang baru datang langsung bisa mendapatkannya.

"Nuwun mah,"

Setelah selesai menyantap sarapan, Salma pamit berangkat sekolah dengan berjalan kaki karena jaraknya yang tak begitu jauh.

***

Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas, berusaha menampilkan senyuman terbaiknya, melupakan sejenak apa yang baru saja terjadi.

"Assalamualaikum temen-temen," sapanya.

"Waalaikumussalam," ucap mereka sembari menatap seseorang yang berdiri di depan pintu dengan penampilan barunya membuat beberapa dari mereka melongo terkejut.

"Lho Salma,"

Salma terkekeh ketika kedatangannya menjadi pusat perhatian, tak terkecuali beberapa teman perempuannya yang berada dipojok belakang. Ia berjalan menuju bangku kesayangannya, belum sempat duduk ia sudah diserbu pertanyaan.

"Udah balik kau?"

"Betah disana?"

"Piye kabare?"

Mereka langsung berkumpul dimeja Salma menanyakan rentetan kabar dan kegiatan selama ia disana, melihat itu ia menjadi teringat teman-teman seperjuangannya dikarantina. Salma menjawab dengan semangat menggebu-gebu diiringi canda tawa dengan mereka semua.

Ditengah-tengah obrolan asyiknya, tiga gadis yang dipojok tadi menghampiri mejanya. "Kemarin gagal ya?" ucap salah satu diantara mereka dengan rambutnya yang dikepang dua.

Salma terdiam.

"Kasian ya jadi artis tapi gak jadi," sambung temannya yang lain sambil tertawa.

Jika menurut temannya itu lucu namun tidak bagi Salma, ia merasa direndahkan, kalimat sederhana itu mampu membuat hatinya murung. Salma duduk, ia memejamkan matanya sebentar, mencoba meredam emosinya.

"Hei, maksudmu apa ya?!" teman sebangku Salma menatap nyalang.

"Bercanda doang kok," ujarnya santai.

"Salma juga biasa aja tuh, kenapa kamu yang sewot?" temen sampingnya ikut menimpali.

Salma memotong pembicaraan mereka agar tak memperpanjang keributan ini, "Udah-udah Wi, aku ndak apa-apa."

Dewi menatap Salma, ia terpaksa menurut padahal mulutnya sudah gatal ingin berdebat.

Semuanya memang sebuah fakta, jadi Salma tak perlu repot-repot marah. Tapi mengapa hatinya sedikit tersinggung?

Salma SalsabilWhere stories live. Discover now