Peluk

67 5 1
                                    

"Terima kasih Tuhan sudah menghadirkan seorang ibu seperti mamah."

- Salma Salsabil -

***

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, Salma membereskan alat tulisnya. Ia melangkahkan kakinya keluar kelas bersama beberapa teman-temannya yang searah dengan jalan rumahnya.

Sepanjang perjalanan Salma hanya diam, tak ikut bergabung pada obrolan. Ia hanya akan nimbrung seadanya, menghargai pembicaraan mereka. Entah mengapa moodnya tiba-tiba menurun semenjak kejadian ribut tadi.

Tak terasa mereka berpisah dipertigaan, Salma menoleh pada teman-temannya. "Duluan ya, kalian hati-hati,"

"Dadah,"

Ia membalas lambaian tangan itu lalu melanjutkan jalannya.

***

Salma tiba di rumah, ia mendorong pintu gerbang seraya mengucap salam, membuka sepatunya dan masuk ke dalam.

Wanita paruh bayah dengan baju daster berwarna merah itu datang dari arah dapur, "Sudah pulang dek?"

Salma menyalimi tangan sang ibu sembari tersenyum tipis, tak mau terlihat ada apa-apa. "Wes mah,"

"Ganti baju terus makan ya, ada kesukaan kamu tuh,"

Anak itu mengangguk, "Enggeh mah, Salsa ke kamar dulu ya,"

Salma langsung memasuki kamar tanpa menunggu jawaban mamah, ia menggantungkan tas dibelakang pintu. Tanpa mengganti pakaian, Salma langsung merebahkan dirinya diatas kasur, perkataan temannya masih terngiang-terngiang manis dikepala.

Sementara mamah menghela napas melihat sikap anaknya, ia bisa merasakan ada perbedaan pada Salma semenjak pulang dari kompetisi. Mamah kembali ke dapur.

***

Mendapati anaknya tak kunjung keluar, mamah berniat menyusul dengan membawa segelas air putih. Ia mengetuk pintu itu lalu masuk ke dalam setelah ada suara yang menyahut tanda diizinkan.

Terlihat Salma sudah mendudukan dirinya diatas kasur, mamah ikut duduk disamping seraya memberikan gelas itu dan diraih Salma dengan senyum kecil.

"Kamu kenapa dek?" tangan sang ibu terangkat mengusap kepalanya sambil membenarkan tatanan rambut itu supaya rapih.

"Mamah perhatiin ndak semangat gitu," lanjutnya.

Salma menyimpan gelas itu dinakas, ia menundukkan kepalanya, memainkan kedua tangan.

Mamah membiarkan Salma diam beberapa menit, ia mengerti bagaimana perasaan anaknya maka takkan ia paksa untuk cerita.

"Masih kepikiran, hm?" tangannya beralih pada punggung kecil itu, mengusapnya lembut.

Salma mengangkat kepalanya dengan wajah memerah menahan tangis, "Mah,"

Mamah terkejut melihat itu namun tetap tenang, "Kenapa nak?" tanyanya lembut, suasana rumah yang sepi membuat Salma leluasa menceritakan segalanya.

"Salsa emang artis gak jadi ya?" setetes air matanya jatuh mengalir dipipinya.

Ia sudah tak kuat lagi memendam semuanya sendiri, "A-apa Salsa gak pantes ada disana?"

Suara Salma tersedu-sedu.

"Siapa yang bilang kayak gitu?"

Salma tak menjawab, masih dengan isak tangisnya yang semakin deras. Mamah yang tak tega membawanya masuk ke dalam pelukan, Salma menumpahkan semua emosinya disana. Pelukan hangat sang ibu menjadi tempat ternyamannya untuk pulang.

"Dek," panggilnya saat mendengar tangis Salma perlahan mereda.

"Gak perlu kamu denger omongan orang, kesempatan gak akan hilang kalau kamu mau berusaha," ucapnya.

Mamah melepas pelukan itu, menatap wajah putrinya lalu menghapus sisa air mata Salma.

"Kita berjuang lagi ya,"

Salma mengangguk pelan.

"Mamah sama papah bakal temenin kamu, sing penting alon-alon asal kelakon." katanya.

Perlahan senyum Salma kembali terbit, mamah paling bisa membuat hatinya tenang. Ia selalu bersyukur masih ada orang-orang yang percaya pada kemampuannya.

"Yuk, makan dulu."

Salma meraih uluran tangan sang ibu, mereka berdua bangkit berdiri.

Salma SalsabilWhere stories live. Discover now