21. Calon Pewaris Utama

10K 2K 406
                                    

Ada alasan mengapa gerakan Samudra begitu sempoyongan memasuki rumah. Belum pernah ia merasa tubuhnya selemah dan setidakberdaya ini. Perawat dan dokter rumah sakit memerintah dirinya untuk beristirahat lebih lama lagi, setidaknya sampai satu bulan ke depan hingga benar-benar pulih. Tentu saja Samudra menolak. Gila, apa? Belum cukup ia menghilang empat bulan, harus menambah lagi satu bulan?

Samudra membaringkan tubuhnya di atas karpet lantai, bahkan tidak repot-repot menyeret kakinya menuju kamar tidur.

Ketika kedua matanya terpejam, yang terlintas di benaknya adalah bayangan ketika tubuh ini berbaring dengan posisi yang sama di halaman vila Rama. Kala itu juga turun hujan. Rintik-rintik tajam yang menghunjam tubuhnya menambah sakit yang sudah ada. Ia tidak siap mati. Ia tidak ingin mati. Belum pernah ia setakut ini untuk pergi tanpa berpamitan, tanpa melihat lagi wajah yang disukainya.

Lalu sekonyong-konyong tubuhnya diraih oleh tangan-tangan besar, kakinya diseret membelah rerumputan kasar itu menuju ke dalam vila. Suara Fahri berdengung di kepalanya, memintanya untuk bertahan. Suara Jono bergaung-gaung lambat, seperti mimpi, mengatakan padanya bahwa semua sudah selesai, bahwa mereka sudah aman.

Garis bibir Samudra tidak bisa tersenyum saat itu. Tapi ia tahu ia masih memiliki harapan.

Beberapa jam sebelum pertempuran besar itu pecah, di dalam mobil, ia telah memberitahu Fahri dan Jono tentang apa yang ia prediksikan akan terjadi.

"Ada dua tas besar di bagasi belakang. Masing-masing punya kalian. Satu orang ambil satu. Uangnya cukup untuk beli tiket pesawat dan menghilang ke luar Jakarta. Iya. Kalian denger kata gue. Ke, luar, Jakarta. Setelah semua ini selesai, jangan pernah pulang ke Dima. Pergilah sejauh mungkin dan mulai hidup baru."

Ia ingat perubahan besar pada air muka keduanya. Sosok-sosok tangguh yang selama ini selalu berakting tangguh dan tidak takut mati itu, serentak luruh di hadapannya. Fahri, istrinya sedang hamil besar dan akan melahirkan bulan depan. Jono, memiliki orang tua di kampung yang sudah tua dan berulang kali memintanya pulang.

Dipandanginya kedua pemuda itu. "Ada satu tas lagi di bagasi, warna putih. Kalau terjadi sesuatu sama gue, bawa gue ke rumah sakit dan bayar semua biaya gue di muka. Ada alamat rumah sakit di dalam tas, bawa gue ke sana dan cari dokter bernama Agung—temen lama gue. Bayar dia dan minta dia jangan pernah nyebut nama gue kalau orang-orang Dima datang mencari. Setelah itu, kalian pergi sejauh mungkin. Kita akan pisah jalan setelah ini. Jangan pernah nengok ke belakang. Ngerti?"

Fahri dan Jono mengangguk.

Samudra menepuk pundak keduanya bergantian. Ia harap 'wasiat' mengenai dirinya itu tidak akan terjadi. Ia harap ia akan pergi meninggalkan vila Rama dalam kondisi baik-baik saja.

Namun, rupanya semua itu terjadi.

Samudra tidak sadarkan diri selama tiga bulan lebih. Ia membuka matanya persis di sebuah bangsal rumah sakit tempat dokter Agung bekerja. Fahri dan Jono membawanya ke sana, sesuai perintahnya. Dan sesuai permintaannya pula, ketika ia siuman, kedua pemuda itu tak lagi ada bersamanya. Barangkali sudah menjalani hidup baru mereka di suatu tempat yang jauh lebih baik.

Tiga bulan lebih Samudra terbaring seperti orang mati di ranjang. Kepala bocor, organ ginjal rusak parah, pendarahan di mana-mana. Agung—dokter pribadi salah satu musuh Dima yang pernah diselamatkannya—mengatakan ia butuh waktu berbulan-bulan lagi untuk pulih total. Setidaknya, jalani dulu terapi dan pemeriksaan lebih lanjut.

"Elo mau balik Jakarta? Elo udah gila, Sam? Badan lo itu badan manusia, bukan robot! Robot aja bisa mati kalau ancur-ancuran begini."

Samudra menjalani terapi fisik selama dua belas hari penuh. Setelah itu cukup. Ia tidak ingin buang-buang waktu lagi. Dengan sisa uang yang masih ada—dan tentu saja ditambah sedikit pinjaman murah hati dari Agung—Samudra membeli tiket perjalanan pulang ke Jakarta.

14Where stories live. Discover now