28. Sampai Akhir

15.8K 2.5K 823
                                    

"Tumben, dateng ke rumah Tante. Pasti ada maunya, kaaaaaaan~"

Kirana terkekeh-kekeh badung di depan Tante Lina.

"Enggak. Pokoknya enggak," Tante Lina menggeleng tegas. "Nggak usah cengengesan. Tante nggak mau kamu suruh-suruh bujuk papa kamu buat beliin mobil. Udah gila, kamu. BMW papa kamu kemarin ditabrakin ke pohon. Mana kamu belom punya SIM?!"

"Kan cuma nyetir di komplek rumah."

Tante Lina berkacak pinggang. "'Cuma', kamu bilang? Haduhhhh, Raann~ untung you punya papa nggak sakit jantung gara-gara you! Sekarang kamu ngaku deh, kamu ke sini mau ngapain?"

Mata Kirana berkilat-kilat memandangi sekeliling. Suasana rumah Tante Lina yang beraroma dupa menyengat, berdekorasi kain merah-emas, serta dipenuhi gaungan lagu entah apa yang terdengar seperti lafal-lafal mantra .... "Dia di sini, kan? Tante ngundang dia jauh-jauh dari Singkawang."

Tante Lina langsung memelotot. "Suhu Aceng nggak bisa sembarangan ditemui. Apalagi kamu pake bajunya nggak sopan gitu, hot pants segala—hei! Mau ke mana!"

Kirana tanpa kesulitan menerobos Tante Lina dan langsung mendorong pintu kamar di depannya. Terkesima. Sang suhu yang digadang-gadangkan Tante Lina sebagai peramal jitu itu, rupanya tidak sedang bersemedi atau segala macamnya. Justru sedang duduk bersila memainkan game di ponsel.

Pria itu mendongak tersenyum menyambut kedatangannya, seakan sudah tahu. Kepada Tante Lina yang berulang kali meminta maaf akibat ketidaksopanan sang keponakan, Suhu Aceng tersenyum menganggukkan kepala, mengatakan tidak masalah jika Kirana memang ingin menemuinya.

"Asal kamu tau," bisik Tante Lina di samping Kirana. "Orang-orang di luar pager rumah Tante sampe ada yang camping demi ketemu Suhu. Kamu malah seenak jidat begini. Awas ya, jangan kasih pertanyaan yang malu-maluin. Dan, Kirana, dia bukan tuyul, jadi jangan suruh dia datengin uang buat kamu."

"Jih, Tante, aku kan emang udah kaya."

Tante Lina mendecih lalu keluar menutup pintu.

Suhu Aceng mematikan permainan apa pun yang sedang asyik dimainkannya sejak tadi, lalu kembali mendongak pada Kirana yang saat itu berusia 13 tahun. Tidak ada binar terkejut sedikit pun di ekspresi wajahnya.

Berbeda dengan Kirana. Terus terang saja ia terkejut mendapati dukun satu ini. Ia pikir seseorang yang dipanggil 'suhu' dan diagung-agungkan Tante Lina sebagai Yang Mulia atau Yang Terpanggil, seharusnya berwujud kakek-kakek tua keriput yang sudah peyot dan berjenggot putih. Minimal memakai jubah ala dukun yang serba putih. Suhu Aceng justru masih terlihat sangat muda, berusia seperti di awal tiga puluhan, berpakaian kaos dan jins kasual, serta berwajah putih bersih bebas dari jenggot. Lumayan ganteng, kalau dilihat-lihat lagi.

"Pasti ada yang mau Kirana tanyakan."

Suhu satu ini pasti tahu namanya dari Tante Lina. "Iya." Kirana mengangkat dagu. "Aku cuma punya satu pertanyaan, apa adik kembar aku bakal hidup panjang."

Suhu Aceng mengulum senyum. "Kenapa nanya begitu?"

"Dia punya asma akut dan aku takut dia mati muda. Dia harusnya tinggal di Melbourne yang udaranya lebih bersih, tapi dia keras kepala dan ngotot tinggal di tempat polusi ini biar papa kami nggak kesepian. Jadi aku mau tanya, dia bakal umur panjang atau enggak."

Suhu Aceng malah tertawa. Barangkali sama seperti Papa dan para kerabat tua keluarga Mahesa, mereka semua menganggapnya konyol karena menyamakan penyakit asma Kelana seperti kanker ganas atau tumor otak.

"Kirana, bukannya di agama kamu diajari untuk nggak percaya sama tukang ramal?"

"Aku yakin kalau cuma satu pertanyaan aja, Tuhan Yesus nggak akan marah."

14Where stories live. Discover now