20. Perjanjian Baru

9.8K 1.9K 362
                                    

Empat bulan kemudian,

Penina berlari cepat sampai ke depan pintu studio. Didorongnya pintu itu dengan satu tangan, sementara satunya lagi sibuk melipat payung. Belum cukup tersiram hujan badai di luar sana, ia sudah kembali disambut hawa pendingin ruangan yang langsung membuat tubuhnya menggigil.

"Sori, sori, abis nemenin Nissan di luar."

Chikita mencibir dari meja makan. "Nemenin apa nenenin?"

Maissy mengiyakan. "Ujan-ujan gini emang paling enak berbuat maksiat di mobil."

"Lanjutin aja, Nin," tukas Tina. "Abaikan aja kita. Kita bisa kok, makan siang tanpa dirimu."

"Udah sinting lo pade yeh!" Penina memasukkan payungnya ke guci penyimpanan, lalu mencapai meja makan untuk bergabung bersama semuanya. Ia melirik ke meja sebelah dan sedikit terkejut, melihat bungkusan sandwich makan siang Kelana ternyata belum disentuh sama sekali. "Kelana masih di dalem?"

"Dari tadi, cuy, dari waktu elo asik nyepong si Mobil di dalam mobil, dia masih di dalem ruangan bareng Pak Julian."

"Dia serius mau berenti ngelukis, Nin?" Tina merendahkan suaranya. Orang-orang di sekitarnya ikut menoleh dan menunggu reaksi Penina. "Gue denger gosip, katanya dia bilang bulan ini terakhir di Julian's Art. Si Bos Nyimeng lagi nego-nego berusaha nahan dia di sini."

"Bener, Nin? Ini ada hubungannya sama pameran bulan Maret kemaren? Yang dia nggak jadi ngirim karya apa pun?"

"Katanya passion lukis dia ilang?"

"Tangannya nggak bisa berfungsi lagi?"

"Atau mungkin dia mau fokus ngurusin married-nya sama Rex?"

"Biar jadi full time wife, gitu?"

"Emangnya keluarga Satria nggak izinin dia jadi seniman?"

Semua kepala menoleh ke tempat Penina, menunggu dengan was-was dan tak sabar. Tapi Penina menggeleng. "Gue juga nggak tau." Desahannya meluncur bersamaan dengan desahan semua manusia di meja makan.

Sama seperti semuanya, Penina juga tidak tahu menahu soal satu itu. Benar, pada pameran Central Galeri Maret kemarin, Kelana sama sekali tidak menyumbang satu karya pun terlepas dari perjanjiannya dengan Julian sejak Desember tahun lalu—tidak ada yang tahu alasannya, bahkan Julian pun sampai frustasi. Dan astaga, demi bulu ketek Nissan, Penina bahkan tidak pernah melihat wujud lukisan baru Kelana yang konon katanya tidak pernah diselesaikan itu.

Dan benar juga, Kelana mengatakan padanya bahwa ia tidak lagi ingin melukis. Kelana tidak pernah menjelaskan alasannya. Tiba-tiba saja, di satu siang pada akhir bulan Maret kemarin, Kelana mengatakan ia mungkin akan berhenti melukis.

"Nin," Saskia berbisik. "Bener? Katanya Kelana lagi bunting makanya mau buru-buru nikah bulan depan?"

Penina melotot. "Gelo yah lu pade! Hamil dari mana?!"

"Ya dari Rex lah. Masa dari Nissan?"

"Nah elo kapan, Nin? Udah nyervis si Nissan habis-habisan kayak bengkel 24 jem, tetep aje lo kagak dinikahin."

Penina nyaris melempar tomatnya kepada Enno, kalau saja bel di pintu depan itu tidak berbunyi. Semua kepala serempak menoleh ke sumber suara.

"Hai." Pria itu menyapa mereka.

"HAAAAAAAAIIIIIII~" balas semuanya.

Kecuali Penina. Alih-alih menjawab 'hai', Penina lebih ingin menjawab 'tai'. Untung saja mulutnya sedang penuh dengan gumpalan roti.

Penina mendengkus, menatap jengkel pada kedatangan Rex yang hampir setiap hari terjadi di studio ini. Bukan hanya merusak mata, tapi juga merusak mood. Semakin sering ia bertanya kepada Kelana, semakin ia tidak mengerti mengapa perempuan itu masih saja membukakan pintu lebar-lebar untuk memaafkan si Kontil satu ini.

14Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang