26. 14

12.6K 2.1K 1K
                                    

Tubuh penuh luka itu berangsur turun dan berlutut di hadapannya. Wajah Samudra menempel pada perutnya, bernapas cepat-cepat seperti anak kecil yang takut kehilangan seseorang yang paling dicintainya. "Jangan kembali pada Rex."

Kelana termangu lama sebelum mengusap rambut itu dengan jari. Perlahan-lahan direnggangkannya pelukan Samudra agar ia dapat menurunkan tubuhnya berjongkok di depan pria itu. Diamatinya paras Samudra yang penuh permohonan. Disentuhnya kedua sisi wajah itu.

Hati Kelana berdesir lembut. Ia merasa beruntung. Samudra memiliki segala alasan untuk mengabaikan semua yang menimpa Kelana, mulai dari perbuatan Delilah, pengkhianatan Rex, sampai kekacauan yang ditimbulkan anak buahnya yang bernama Toyib. Pria berpenampilan menyeramkan dengan wajah yang kini berparut luka itu, bisa saja memilih pergi dan abai terhadap Kelana, lalu selamanya mereka akan menjadi dua orang asing yang tidak akan pernah bertemu di persimpangan hidup.

Tapi gangster 'bodoh' satu ini justru memilih peduli. Terus menerus menghampirinya dan mendekatinya tanpa menyerah. Ia bisa saja mengambil keuntungan meniduri Kelana empat bulan lalu di apartemen Rex, toh Kelana sudah melemparkan dirinya dengan begitu enteng, tapi Samudra tetap memilih peduli.

Kelana tersenyum trenyuh menatap wajah itu. Sebenarnya, siapa yang menyelamatkan siapa? Pria ini mengira dirinya beruntung mendapat cintanya, tanpa sedikit pun sadar, bahwa Kelana lah yang merasa beruntung. Tanpa Samudra, ia tidak akan berani melangkah di labirinnya yang gelap, tidak akan berpegang pada pendiriannya untuk menolak kembali pada Rex, dan tentunya, tidak akan berani berdamai dengan Kirana dan memasuki kamarnya menemukan foto itu.

Kelana mengangkat telapak kirinya, memperlihatkan cincin pemberian Rex yang melingkar begitu mewah di sana. "Nanti kalau semua ini udah selesai, kamu bisa beliin aku cincin yang baru?"

Sorot mata Samudra berpendar tidak mengerti. Namun kedua lengan yang gemetar itu berangsur kaku. Kepala itu mengangguk cepat. Antusias. Sorot mata polos yang penuh cinta dan tidak dibuat-buat.

Kelana mengurai tawa kecil lalu memiringkan wajah untuk menciumnya. "Setelah semua ini selesai," bisiknya. "Aku akan membawa kamu ke satu tempat. Ujung labirin kamu."

Setelah itu, Samudra tidak akan lagi hidup dalam sakit.

"Saat persidangan, saya memberanikan diri untuk menonton rekaman CCTV yang diberikan pihak berwajib. Anak itu baru berumur 14 tahun, tapi tubuhnya besar seperti orang dewasa. Saya melihat Alif berkelahi melawan temannya, lalu anak itu menyergap Alif dari belakang dan melempar tubuhnya ke samping. Alif mengambil botol bir, memukul kepala anak itu—Samudra—lalu menusuknya di dada dan lengan. Anak itu, tubuhnya dua kali lipat lebih besar dari Alif, dia berjongkok meringkuk dengan dua tangan di atas kepala. Alif mungkin takut, jadi terus menyerangnya. Mereka berdua sama-sama takut. Anak itu kemudian bangkit dan memukul Alif, Alif menyerang lagi, lalu anak itu mendorong Alif.  Bagian belakang Alif menusuk pecahan botol itu."

Tante Ika berpaling menatap jendela kamarnya yang terbuka, tatapannya sendu dan penuh luka. Kelana ingat kala itu, beberapa hari yang lalu sebelum Samudra pulang, Tante Ika mengundangnya masuk ke dalam unit rumah susunnya, menyajikan teh hangat dan mulai bercerita padanya.

Kelana ingat betapa ia ingin menggenggam tangan kurus itu untuk memberinya kekuatan, tapi takut jika Tante Ika menolaknya.

"Jauh di lubuk hati saya ... saya tahu bahwa yang bersalah dan seharusnya dihukum adalah orang-orang yang memerintah seorang bocah 14 tahun untuk menyuri mobil, orang-orang yang membuat mereka berkelahi hingga nyawa Alif harus dikorbankan. Tapi saya tetap meminta hukuman paling berat untuk Samudra yang saat itu masih di bawah umur. Lima tahun adalah yang bisa mereka berikan. Lalu saya tahu, selepasnya dia dari penjara, dia kerap mengunjungi rumah ini untuk menjenguk saya diam-diam. Terbersit di hati saya, untuk membiarkan dia menemui saya dan minta maaf, tapi saya mengurung niat saya karena merasa bersalah pada Alif. Sekarang, tujuh tahun telah berlalu. Saya sudah semakin tua dan tidak sesehat dulu lagi. Sebelum waktu saya habis di dunia ini, saya ingin bertemu dengan dia sekali saja, agar saya bisa memberi dia kesempatan yang tidak pernah saya berikan selama dua belas tahun ini. Agar saat saya menemui Alif nanti, saya sudah bisa tersenyum dalam damai karena hati saya telah memaafkan."

14Where stories live. Discover now