Masa Depan

14.2K 2.1K 255
                                    

Kelana berdiri di ambang pintu, memandang diam ketika sosok di dalam bangsal itu terus berteriak-teriak dengan ditenangkan dua perawat. Tubuhnya sangat kurus, rambutnya habis, pipinya tirus seperti tengkorak, dan suara teriakannya terdengar begitu menyakitkan. Sosok itu terus meneriakkan dua kata. 'Kirana' dan 'maaf'.

Sudah setahun belakangan ini Rexy Satria mendekam di bangsal rumah sakit jiwa. Tekanan batin dan penyiksaan fisik yang diterimanya di dalam penjara membuat kondisinya semakin memburuk. Pada setiap malam, sipir penjara mendapat keluhan dari hampir seluruh penghuni sel, bahwa Rexy Satria kerap berteriak ketakutan menghadap tembok, meneriakkan dua kata itu berulang kali sambil membenturkan kepala.

Kemudian karena tidak ingin diliput media yang nantinya bakal kembali menjatuhkan nama keluarga Satria, Juanda Satria memutuskan untuk memindahkan putra bungsunya ke rumah sakit jiwa. Tentu saja, atas izin Kelana.

Kini saat melihat pria yang dulu pernah begitu cemerlang dan memukau berubah menjadi sedemikian rupa, Kelana tidak tahu harus merasakan apa.

Ia berbalik badan dan melangkah meninggalkan pintu bangsal. Menundukkan kepala menahan serangan iba dan dendam yang sama besarnya. Di belakang sana, Rex—yang tidak diizinkan untuk bertatap wajah dengan Kelana karena akan membuat Rex histeris dan melukai diri sendiri—masih berteriak-teriak dengan suara nyaring.

"Memaafkan memang bukan perkara gampang."

Kelana berbalik badan, menatap seorang pemuda yang sedang duduk di kursi kayu koridor rumah sakit. Dengan ponsel di atas salah satu pahanya, pemuda itu mendongak dan tersenyum ramah kepadanya. Dari pakaiannya yang kasual dan penampilannya yang rapi, ia jelas bukan pengurus apalagi penghuni rumah sakit jiwa ini.

"Memaafkan bukan perkara mudah. Jangan merasa bersalah, kalau kamu belum bisa memaafkan dia. Juga jangan merasa berdosa, jika kelak, hati kamu mulai perlahan-lahan melunak dan memilih untuk berdamai dengan dendam kamu. Tidak sepenuhnya memaafkan, tapi berdamai. Dan itu pasti terjadi, untuk seseorang yang berhati seluas samudra seperti kamu."

Kelana membalas tatapan itu dengan senyum canggung. "Maaf ... apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Pria itu terlihat masih muda, mungkin di awal tiga puluhan, sorot matanya tampak tenang namun cerdas, pakaiannya juga rapi dan bersih. Mengapa wajahnya terasa tidak asing? Tapi Kelana tidak bisa mengingat kapan mereka pernah bertemu.

Mungkin pria ini pernah melihat wajahnya berseliweran di berita tivi bertahun-tahun lalu? Saat kasus pembunuhan Rex pernah dibahas setiap hari di setiap sudut negeri ini.

"Kamu tampak sehat, Kelana." Pria itu tersenyum mengerut kening. "Bagaimana kabar ...," seperti berpikir dulu. "Gabriel dan Mikael?"

Kelana terhenyak saat nama kedua putra kembarnya yang masih berumur lima tahun itu disebut. Seharusnya ia takut dan langsung kabur sekarang juga. Atau melaporkan pria aneh ini kepada pihak berwajib. Bisa jadi dia penguntit atau penjahat.

Tapi entah kenapa, kedua kaki Kelana seperti enggan bergerak. Dan ia ... tidak merasa takut.

Perasaan ganjil itu mendatanginya lagi. "Apa kita pernah bertemu? Anda kenal seseorang di keluarga saya?"

"Gabriel agak keras kepala, sulit diatur, orang-orang mengira ia seperti ayahnya, tapi sebenarnya ia lebih seperti ibunya. Mikael, di satu sisi, benar-benar lembut dan tertutup. Kalian harus lebih banyak meluangkan waktu bersamanya, tapi jangan khawatir, dia akan tumbuh dengan sangat baik. Mereka memiliki orangtua yang hebat kan?"

Sekali lagi, Kelana tidak tahu mengapa kedua kakinya enggan beranjak dan ia masih saja berdiri mendengar. "Kita pernah ... saling mengenal?"

Pria itu memejamkan mata dan mengangguk dengan senyum lebar. "Teman lama." Lalu beranjak dari kursinya sambil tak lupa mengambil ponsel yang layarnya masih menyala itu. "Sampai ketemu lagi, Kelana, mungkin di masa depan nanti. Dan ... yaaa," kepala itu mengangguk perlahan, lagi-lagi dengan senyum lebar. "Hiduplah dengan hidup."

Kelana bergeming di tempatnya, memandang bagaimana pria itu dengan santai berjalan meninggalkannya sambil memainkan ponselnya. Suara-suara permainan jadul yang terdengar seperti tidak asing. Candy Crush.

***

14Where stories live. Discover now