2. Noodle Cup

20K 2.1K 174
                                    

Kelana percaya, hidupnya berubah di angka 14.

Pada umur 14 tahun, ia melihat wanita tercantik yang pernah dikenalnya—Nora Bertha, atau yang biasa ia panggil Mama—melempar banyak pakaian dengan terburu-buru ke dalam koper besar. Papa duduk di atas tempat tidur, menunduk pasrah tanpa sanggup berbuat apa-apa.

Mama menggeret koper itu dengan limbung melewati pintu kamar, berhenti sejenak melihat dua anak remaja yang berdiri di sana menatapnya.

Kelana ingat bagaimana telapak tangan itu mendarat ke puncak kepalanya, mengusapnya sedikit, "Ingat selalu ucapan Mama." Lalu terangkat dan tidak pernah kembali.

Kelana terburu-buru merapat ke jendela kamar tidur Papa untuk melihat ke bawah. Dilihatnya di gerbang rumah sana, seorang laki-laki berpakaian jaket kulit membantu Mama menyeret kopernya masuk ke dalam taksi. Lengan Mama bergelanyut manja di lengan pria itu, begitu erat seakan takut kehilangan. Atau mungkin, begitu bahagia hingga tak sabar menunggu pria itu membawanya pergi dari rumah ini.

Kelana tidak akan pernah mengerti mengapa Mama melakukan itu. Mengapa Nora Bertha yang sudah memiliki segalanya dari Pranoto Mahesa, masih saja belum puas dan harus mencari cinta yang lain. Alih-alih bersama mereka yang menyebutnya istri dan ibu, Nora justru lari dengan laki-laki selingkuhannya yang adalah guru lukisnya sendiri.

"Cewek gatel."

Kelana menoleh kaget, tidak menyangka kalimat itu akan meluncur dari bibir anak remaja yang mengintip bersamanya di samping. Anak yang sama sepertinya—yang baru saja diusap kepalanya oleh Mama beberapa menit lalu.

Dipandanginya sosok yang perlahan-lahan mundur meninggalkan jendela itu. Kemudian sosok itu menoleh ke tempatnya. Menatap Kelana dengan mata yang sama persis, rambut yang sama persis, wajah yang sama persis, bahkan setiap lekuk tubuh yang sama persis.

Karena mereka bersaudara. Kembar identik.

"Kelana, mama kita juga cewek gatel." Kirana Mahesa tersenyum miring menatap Kelana.

"Juga?" Kelana tercenung bingung.

Tapi Kirana tidak menjawab. Senyum itu mengembang culas dan meremehkan, tapi Kelana tahu sang saudara kembar hanya menyembunyikan perih hatinya.

Kirana Mahesa lahir tiga menit lebih awal dari Kelana. Cukup untuk menjadi alasan baginya untuk memaksa Kelana memanggilnya kakak, walau Kelana tidak pernah mengiyakan.

Bagaimana bisa Kelana memanggil 'kakak' pada manusia yang memiliki wujud sama dengannya? Tinggi mereka sama, bahkan potongan rambut dan deretan gigi mereka saja sama. Jika menilik dari fisik, mereka seperti foto kopi. Tidak ada bedanya. Hanya mereka berdua yang tahu bahwa Kirana memiliki tahi lalat kecil di bawah pinggang kanan yang selama ini ditutupi celana dalam, sementara Kelana tidak.

Satu-satunya yang bisa membuat orang lain membedakan mereka adalah perangai. Jika fisik mereka bak dipinang dibelah dua, sifat mereka justru sangat bertolak belakang.

Kirana berwatak keras, sulit diatur, selalu bicara apa adanya. Sejak kecil, sudah tak terhitung berapa kali ia keluar masuk ruang BK akibat bikin keributan di sekolah. Kirana sangat populer dan semua orang senang bersamanya. Ditambah lagi, bukan hanya pandai bergaul serta luwes dalam berbicara, Kirana juga piawai dalam urusan asmara. Ia sudah merasakan manis gombalnya cinta monyet sejak kelas 1 SD, dan mulai berpacaran ala-ala anak baru puber sejak kelas 5 SD.

Kelana Mahesa lain soal.

Semua orang bilang, tidak seharusnya saudara kembar bisa bertolak belakang sampai separah ini. Tapi begitulah yang terjadi. Bak bumi - langit dengan Kirana, Kelana sangat kalem, tenang, tidak senang menjadi pusat perhatian, tidak gemar berada di keramaian, dan tidak pernah sudi menempatkan dirinya dalam masalah. Kelana lembut dalam berbicara, berhati-hati dalam bersikap, dan santun dalam berkata.

14Where stories live. Discover now