19. Hujan Bulan Desember

11.2K 2K 407
                                    

Lenggak-lenggok gemulai Mbok Muna terhenti sebentar di ujung lorong.

Tatapannya terpaku pada sosok Kelana yang berdiri di dinding depan pintu kamar tidur Kirana. Tidak bergerak. Tangan terlipat dua di belakang pinggang, mata terkunci pada pegangan pintu.

Mbok Muna menahan napas sejenak. Bertahun-tahun ia keluar masuk membersihkan kamar yang tak lagi berpenghuni itu, pemandangan yang satu ini adalah pemandangan terlangka yang pernah dilihatnya. Sehari-hari jangankan berdiri di depan pintu itu, meliriknya saja Kelana tidak berani.

Mbok Muna membuka bibir hendak menyapa, tapi tidak jadi. Sesuatu dari sorot mata Kelana membuatnya memilih untuk lebih baik berbalik badan diam-diam dan pergi, membiarkan Kelana untuk pertama kalinya mencoba berdamai dengan kepergian sang saudara kembar.

***

"Minta maaf sama Kelana. Sekarang juga."

Kelana menolehkan kepala ke ujung lorong, melihat Papa menyeret lengan Kirana hingga langkah kaki gadis itu terseok-seok. Ia juga melihat bagaimana Papa mendorong pintu kamar tidur di hadapannya itu, memaksa Kirana masuk ke dalam menemui dirinya yang sedang duduk belajar. Mereka berumur 13 saat itu.

"Ayo, minta maaf."

Alih-alih meminta maaf karena telah memaksa Kelana menjadi dirinya di ulangan Matematika—dan akhirnya tertangkap basah oleh Bu Meri dan mereka berdua dihukum skorsing tiga hari—Kirana malah tertawa.

"Biar seru dikitlah, Pa. Biar si Lana enggak lurus-lurus amat hidupnya, sedikit berpetualang gitu—"

"Jangan paksa Lana melakukan sesuatu yang dia nggak mau!" Papa semakin marah.

"Dia mau kok," Kirana mencibir. "Seperti biasa, dia mau-mau aja aku suruh. Kecuali waktu aku suruh potong rambut, pacaran, bolos sekolah, nyolong duit persembahan di gereja—"

"Rana, kamu bisa nggak, berhenti menjerumuskan Lana?!"

"Menjerumuskan gimana sih, Pa? Lebay deh. Aku tuh ada, untuk membuat hidup dia lebih berwarna. Coba kalau nggak ada aku, liat aja betapa membosankannya hidup si Picasso. Belajaaaar mulu, ngegambaaaar mulu. Nggak asik! Lebih asik ada aku. Aku yang bikin hidup dia lebih baik."

Kelana memandangi dirinya sendiri yang duduk di depan meja belajar, memakai kacamata kotak dengan lembaran buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. Tidak mau banyak berdebat, tidak suka mendengar keributan, Kelana 13 tahun mengabaikan semua itu dan melanjutkan belajar lagi.

Kelana dewasa melamun lama di tempatnya. Menyesal. Seharusnya ia memutar balik badan saat itu, menatap saudara kembarnya dengan marah dan berteriak di depan wajahnya. Bahwa hidupnya sama sekali tidak lebih baik dengan adanya Kirana, hidupnya sudah sangat berwarna dan justru berkat Kiranalah, hidupnya kini menjadi kelam dan gelap.

Seharusnya, ia mengucapkan ini.

"Terima kasih sudah bunuh diri terjun payung tanpa payung di saat kita berumur 14. Hidup aku tadinya baik-baik aja, sekalipun Mama pergi meninggalkan rumah dengan laki-lain tapi sungguh aku baik-baik aja. Hidup aku sudah cukup warnanya, dan kamulah yang membuat semuanya jadi hitam. Kamu pikir kamu keren, pemberani, bisa berbuat sesuka hati tanpa memikirkan semua orang. Kamu yang selalu merasa berbeda dan lebih pintar dari banyak orang, sudah bahagiakah kamu menghancurkan hidup aku dan Papa?!"

Ya. Seharusnya ia meneriakkan semua itu ke depan wajah Kirana. Atau memukul dan menamparnya sekalian. Memakinya dengan kata-kata kasar yang penuh kebencian.

"Kamu pikir kamu hebat setelah bunuh diri? Kabur gitu aja karena nggak kuat menghadapi dunia ini? Lalu gimana dengan aku dan Papa? Kami ditinggalkan gitu aja dengan kesedihan berkali-kali lipat, setelah Mama, lalu kamu? Terus, kamu berharap kami akan baik-baik aja? Kamu sudah liat kehancuran yang kamu buat ini? Mana Kirana Mahesa yang sok jagoan itu? Pengecut! Kamu pengecut brengsek!"

14Where stories live. Discover now