Bab 25: Aku Akan Selalu Ada di Sisimu

25 2 11
                                    

"Kenapa kamu tidak menyerah saja?"

"Padahal perjuanganmu... juga perjuanganku... keduanya sia-sia saja."

"Kau sendiri yang mengajarkannya kepadaku, Akari," jawabku. "Kau yang mengajarkanku kalau tidak ada perjuangan yang sia-sia, kalau kemungkinan keberhasilan itu selalu ada, tak peduli sekecil apapun dia."

"Tapi, kali ini berbeda." Gadis berambut oranye terang itu mencoba membantah. "Aku nggak akan bisa melanjutkan perjalanan ini."

"Berbeda atau tidak, itu kita sendiri yang memutuskannya, 'kan?" Aku balas menyanggah. "Seperti apapun situasinya, bukankah hasilnya baru bisa diketahui setelah mencoba?"

"Tapi, ada pilihan lain yang risikonya lebih kecil!!" bantah Akari lagi. "Dan itu adalah pilihan yang menguntungkan kita berdua. Jika memilih itu, kebahagiaan pasti akan jadi milik kita."

Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Kebahagiaan yang didapat dengan cara melarikan diri bukanlah kebahagiaan sejati. Itu hanyalah ilusi yang berumur pendek. Kelak aku atau kau akan menyesal karenanya. Kebahagiaan yang didapatkan melalui perjuangan-lah kebahagiaan yang sejati. Meskipun belum pasti kita akan mendapatkannya, setidaknya dia nggak akan mengkhianati."

Akari tampak frustasi mendengar penolakanku. Kilau emas di mata kanannya bertambah terang, bahkan lebih terang dibandingkan saat amukan pertamanya. Seketika aku mendapat firasat tidak enak.

"Kamu... cuma mau menghiburku dengan kata-kata kosong, 'kan, Kuro-kun? Padahal nggak mungkin aku mampu melanjutkan perjalanan sendirian. Kamu cuma nggak mau bersamaku. Kamu pembohong."

Benar saja. Aura keemasan mendadak menyeruak dari mata kanan Akari dan memenuhi ruangan, disusul angin kencang yang memporak-porandakan ruangan. Kali ini anginnya sepanas api. Beruntung, sekali lagi perisai kubah biru milik Veritas melindungiku.

"KAMU PEMBOHONG!!!"

Angin panas dan aura emas bertambah liar bersamaan dengan terlontarnya jeritan penuh amarah dari mulut Akari. Cengkeraman perisai kubah biru pada lantai ruang takhta kian mengendur. Di tengah suasana kacau itu, aku mendengar suara Veritas.

"Hei, bocah terpilih. Sekarang apa yang akan kau lakukan? Membiarkan dirimu terlempar dan terhempas sekali lagi?"

Suara berat yang terkesan menyeramkan dan nada bicara mengejek yang terdengar menyebalkan. Jika dia manusia biasa, pasti aku sudah memukulinya saat ini. Akan tetapi, pesan yang disampaikannya memberiku kekuatan lebih.

"Mana mungkin, bodoh!!" sahutku tegas sembari berjuang mati-matian untuk tetap melangkah maju. "Kali ini... kupastikan aku akan membawanya pulang!!!"

Perjuangan melawan badai ini jauh dari kata mudah. Berkali-kali aku jatuh-bangun dan nyaris terlempar. Tenagaku juga berkali-kali terkuras hingga aku nyaris pingsan. Mungkin terkesan dilebih-lebihkan, tapi rasanya seakan perjuangan ini akan terus berlangsung selamanya tanpa akhir. Meski begitu, aku tetap melangkah maju lagi, lagi, lagi, dan lagi, sampai akhirnya sosok Akari berada dalam jangkauan tanganku.

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, secepat kilat aku menautkan jari kelingkingku dengan jari kelingking milik Akari, kemudian mendekap tubuhnya. Tak diduga-duga, perisai kubah Veritas kemudian pecah, mengekspos tubuhku pada suhu tubuh Akari yang ekstrim. Tindakan ini benar-benar mempertaruhkan nyawaku, tetapi sukses memicu penurunan pada suhu tubuh gadis itu sekaligus meredakan amukannya.

Usai memastikan Akari sudah tenang, perlahan-lahan aku menjauhkan diri. Tentu saja sembari mempertahankan kelingking kami yang saling mengait. Kilau cahaya di mata kanan milik Akari mulai meredup, tak seliar tadi. Gadis berambut oranye tersebut memandang lurus ke arahku. Perasaan kaget, heran, dan haru tertuang pada ekspresi campur-aduk di wajahnya.

Hello Again, KuroWhere stories live. Discover now