Bab 14: Misteri Keempat - Foto Kelas

18 3 0
                                    

Semenjak hari itu, tiga minggu telah berlalu. Kini kami memasuki minggu terakhir di bulan Juni. Paruh kedua dari semester pertama pun dimulai.

Sama seperti sebelumnya, nilaiku di berbagai mata pelajaran satu-persatu mulai menembus Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Performaku di bidang olahraga juga semakin bagus, berkat Yamamoto yang mengajariku.

Ya, pemuda yang tadinya bersikap bagai monster buas itu benar-benar telah berubah drastis. Dia sungguhan berniat jadi temanku dan melindungiku dari para berandalan lain, menaikkan tingkat keselamatanku di sekolah. Mata-mata yang tadinya menatapku penuh nafsu membunuh mulai berubah menjadi keramahan.

Secara otomatis, Yamamoto juga membangun hubungan baik dengan Akari yang berada di pihakku. Bekerjasama untuk membantuku. Dia di bidang olah fisik dan Akari di bidang olah otak.

Kehidupanku terus membaik dari hari ke hari, bagai sebuah anime bergenre slice of life, romance, dan friendship. Ini adalah surga. Akan sangat bagus kalau ini terus berlangsung selamanya. Yah, walaupun aku sadar suatu hari akan tiba waktunya kami berpisah, sih.

Ngomong-ngomong soal membaik, cuaca juga sudah membaik akhir-akhir ini. Hujan awal musim panas tak lagi menampakkan dirinya. Kota Yume sudah memasuki fase 'musim panas yang sesungguhnya', dengan hawa panas dan lembab serta langit biru yang cerah sempurna. Meski demikian, cuacanya belum terlalu panas sebab puncak musim panas belum tiba. Timing-nya pas untuk melakukan aktivitas di luar ruangan, termasuk mengambil foto kelas, dan itulah yang kami lakukan hari ini.

–––––––

Halaman depan SMA Haruki benar-benar dipenuhi oleh siswa-siswi dari beragam kelas dan angkatan dengan pakaian serta penampilan yang tertata rapi, melukis imej mirip lautan manusia. Mereka berbaris teratur di titik-titik berbeda, menunggu giliran masing-masing kelas untuk mengambil foto. Di depan mereka, kursi-kursi dan balok-balok telah dideretkan sebagai pijakan. Murid-murid dari sebuah kelas terlihat sedang menata posisi di atas pijakan tersebut sesuai instruksi wali kelas dan kameramen.

"Hei." Leherku refleks terputar 90 derajat kala kedua telingaku menangkap panggilan dari arah belakang, tempat Yamamoto berada. Sekedar informasi, kami berada di barisan belakang, jadi mengobrol pun tidak akan ketahuan asal volume suara terkendali.

"Tumben kau menyisir rambutmu?" bisiknya, mengingatkanku pada sesuatu yang membuatku menghela napas.

"Akari yang memaksaku." Aku menyahut dengan ekspresi malas. "Katanya: 'Foto ini akan jadi cara paling mudah buat semua anggota kelas mengingatmu, jadi setidaknya kamu jangan berpenampilan seperti hikikomori begitu'."

"Heee.... Jadi dia sepeduli itu padamu, ya? Kalian memang serasi, sih," ujarnya lagi. "Seperti matahari dan bulan."

"Maksudmu apa, sih?" balasku kesal sebab dia lagi-lagi tidak langsung ke poin utama.

Misteri memang bukan sesuatu yang kubenci—agak aneh mengingat aku benci pelajaran akademis—, tapi aku benar-benar benci ketika orang menyuruhku membuat analisis berakurasi hampir seratus persen dengan petunjuk sesedikit mungkin. Aku bukan Sherlock Holmes, oke? Aku hanya manusia biasa.

"Kau ini kelamaan jadi hikikomori atau gimana, sih? Yang peka sedikit!!" omel Yamamoto. "Kelihatannya Akari-chan menyukaimu."

"Hah?!" Aku mengernyitkan dahi. Hampir saja aku berseru keras-keras. Beruntung, aku ingat sedang berada di tengah acara sekolah. Akan repot jika sampai menarik perhatian.

"Kelihatan jelas dari semua kepedulian yang dia berikan padamu, tahu," terang pemuda kekar tersebut. "Dia nggak pernah sebegitunya ke orang lain."

"Kau berlebihan. Mungkin dia cuma punya tendensi untuk mengadopsi orang-orang yang terpinggirkan dari masyarakat." Mengingat bahwa kemungkinan lain masih ada, aku pun membantah.

"Betul juga, sih." Yamamoto mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju. "Kalau kau sendiri gimana, Kuro?"

"Eh?" Kedua alisku menekuk ke arah dalam bersamaan dengan dahiku yang kembali terkerut. "Maksudmu apa?"

"Kau suka pada Akari-chan, nggak?" Yamamoto memperjelas pertanyaannya, membuatku segera memalingkan muka dan memutar bola mata, merotasikan gigi-gerigi di dalam otak. Selang beberapa detik, barulah aku membuka mulut lagi.

"Soal itu..., aku masih belum tahu."

"Ya sudah, anggap saja itu PR. Nggak perlu buru-buru." Pemuda kekar tersebut meraba bahuku, memasang senyum di wajah maskulin miliknya. "Semangat, ya."

Aku hanya terdiam dengan bulir keringat mengaliri kening serta sorot mata yang seolah tengah berkata: 'Apa, sih?', sebelum akhirnya menganggukkan kepala dan mengembalikan pandangan ke arah depan. Langkah bagus untuk menghindari teguran dari guru.

"Kenapa dia jadi Akari 2.0, sih?!"

"Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, waktu Akari menyentuh dahiku aku memang merasakan sesuatu. Masalahnya, aku nggak tahu nama perasaannya. Apa itu memang cinta atau cuma-"

"Yak, kelas 2-C, sekarang giliran kalian!!" Sebuah panggilan dari pengeras suara menginterupsi lamunanku, mendorong empat barisan-termasuk barisanku-untuk beranjak menuju stage di depan serta mengatur posisi berdiri masing-masing. Seperti biasa, yang bertubuh tinggi diposisikan di belakang dan yang bertubuh pendek diposisikan di depan, tepat sebaris sebelum baris para guru.

Usai menempati posisi, kedua mataku lanjut memandang ke kejauhan, sementara otakku berusaha memecahkan misteri tentang perasaan tersebut. Seandainya suara Yamaguchi-sensei tidak menarikku lagi menuju kenyataan, pastilah sekarang ini jiwaku masih terpisah dari raga.

"Hei, Kuro-kun. Kamu dengar, nggak? Geser sedikit ke kiri, jangan melamun terus!!" serunya.

"Ah, baik," ujarku seraya menyesuaikan posisi.

Setelah beberapa kali pengecekan ulang posisi, akhirnya jempol teracung dibarengi senyum puas dari sang kameramen, menandakan siap foto. Pria muda berusia dua puluhan itu melepas topi yang dikenakannya agar dapat leluasa mengintip dari balik kameranya yang terpajang di atas tripod.

"Semuanya siap? Satu, dua, tiga..., saya ambil fotonya!!" Sang kameramen memberi aba-aba, lengkap dengan isyarat tangan.

Tepat setelah seruan tersebut, tombol shutter dipencet. Bunyi jepretan terdengar beberapa kali, lalu hasil foto pun diperiksa. Akan tetapi, kening sang kameramen malah menampilkan kerutan pertanda rasa heran, sementara tangannya terangkat mengutak-atik kamera. Secara otomatis, perhatian semua orang di atas stage pun teralihkan.

"Ada apa?" tanya Yamaguchi-sensei sembari menghampiri kameramen. Di saat bersamaan, kedua cuping telingaku menegak, penasaran. Pendengaranku cukup bisa diandalkan, jadi tak perlu ikut mendekat.

"Anu..., ada masalah," sahut sang kameramen. "Siswi berambut oranye ini terlihat samar di semua foto. Padahal semalam kameranya baru saya servis. Ini juga saya periksa sekilas nggak ada kerusakan sama sekali."

"Bisa jadi anda kena tipu, atau ada kerusakan yang tidak terdeteksi di bagian dalam," terka guru wanita tersebut. "Ah, saya punya ide. Coba saja ambil foto sekali lagi. Mungkin kali ini hasilnya benar."

Kameramen mengangguk setuju, diikuti Yamaguchi-sensei yang kembali ke posisinya semula. Setelah aba-aba diberikan, bunyi jepretan kembali terdengar beberapa kali. Sekali lagi, kameramen memicingkan matanya demi memeriksa hasil foto. Namun, kini dia mengacungkan jempol pertanda hasilnya bagus.

"Baiklah. Selanjutnya, gaya bebas!!" ucapnya lantang, memberi instruksi lanjutan.

Dengan demikian, acara foto kelas pun diteruskan tanpa hambatan. Permasalahan teknis barusan dilupakan secepat semilir angin berlalu, dianggap sebagai kebetulan semata. Namun, aku tidak bisa melupakannya begitu saja. Bukan hanya karena aku benci alasan 'kebetulan', tapi juga karena perasaan aneh itu lagi-lagi merasuki diriku. Seakan-akan dia memberi petunjuk bahwa keanehan ini menyimpan makna lebih.

To be continued

A/N: Sekedar mengingatkan ulang, bab berikutnya akan mengandung adegan pengungkapan kebenaran. Ngomong-ngomong, apa kalian sudah bisa menebak jawaban dari misterinya? XD

Hello Again, KuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang