Bab 12: Intermezzo - Ujian Tengah Semester

16 3 0
                                    

Dua minggu telah berlalu sejak kejadian itu. Bulan Mei telah mendekati akhirnya dan siap digantikan oleh bulan Juni. Nilaiku semakin meningkat dan aku juga jadi makin mudah mengekspresikan diri. Selain itu, entah mengapa sejak saat itu Yamamoto beserta teman-teman geng-nya tak pernah merundungku lagi walau mereka tak pernah mengajakku bicara juga. Entah itu berita bagus atau berita buruk. Yah, sebagian besar murid lain di sekolah ini masih menatapku seperti kawanan singa yang sedang memperhatikan kijang, sih. Perjuanganku masih panjang. Kelihatannya memang memperbaiki imej itu sulit, ya.

Tentu saja aku merasa lebih bahagia daripada sebelumnya. Meski demikian, sejujurnya perasaan serta peristiwa-peristiwa aneh yang sebelumnya terjadi masih membingungkanku. Cerita masa kecil Akari, cerita hantu di sekolah, dan Akari yang bisa menyembunyikan hawa keberadaan. Semuanya memang tidak terjadi tanpa jeda, tapi sedikit demi sedikit misteri-misteri tersebut mulai membebani pikiranku.

Yah, kurasa lebih baik mereka kuabaikan dulu untuk sekarang. Besok akan ada 'pertempuran besar' yang jauh lebih penting daripada hal-hal tidak jelas tersebut. Bukan 'pertempuran' secara literal, tapi bisa diibaratkan sebagai itu karena dia berkaitan dengan 'hidup dan mati'-nya diriku yang baru. Ya, 'pertempuran' yang kumaksud ialah Ujian Tengah Semester. Sesuatu yang dulu selalu kubenci dan kuanggap merepotkan.

Berbeda dengan semester lalu, sekarang di sinilah aku, sedang melahap materi-materi yang akan diujikan di ruang belajar SMA Haruki sepulang sekolah. Tentu saja Akari juga ada di sini sebab gadis itulah sumber semangat dan kemampuanku. Tanpa bantuan dan motivasi dari pemegang ranking pertama seangkatan yang satu itu, tak akan ada yang berubah pada diriku di semester ini. Namun, tetap saja....

"Agh, sial." Suara debam bervolume sedang terdengar ketika aku membenturkan kepala ke buku tulisku yang terbuka di atas meja karena frustasi. "Susahnya bukan main. Padahal semangatku sudah dikobarkan sejak awal supaya rasa sakitnya tertutup adrenalin, tapi ternyata nggak berpengaruh. Ah, kepalaku sakit...."

"Mau bagaimana lagi? Saat otakmu bekerja keras, itulah risikonya." Akari menimpali. Nada santainya membuatku agak kesal.

"Kalau aku punya otak yang kemampuan akademisnya tinggi seperti punyamu, pasti semua materi ini bakal lebih mudah kupahami." Sambil mengangkat kepala dengan lesu, aku mulai membanding-bandingkan diri.

Akari tersenyum mendengar itu. Bukan senyum penuh keangkuhan, tapi senyum geli. "Aku juga cuma manusia, kok, bukan Dewa yang mampu melakukan segalanya tanpa usaha yang signifikan. Kamu sering melihatku bertanya ke guru waktu jam pelajaran dan jam pulang sekolah, 'kan? Itu adalah bukti nyata dari keterbatasanku," ucapnya.

"Kerahkan seluruh kemampuan dan tekadmu, Kuro-kun. Atau memang keduanya cuma segini saja? Kalau memang iya, berhenti juga nggak apa-apa, kok. Biar aku yang meneruskan perjuanganmu." Kata-kata gadis berambut oranye terang itu terdengar pengertian, tapi akhir kalimatnya dan senyum menantang yang mulai tergurat di wajahnya menunjukkan secara jelas maksud perkataan tersebut.

"Berhenti? Mana mungkin. Aku sudah sejauh ini," sahutku sembari menyunggingkan senyum yang sama serta melakukan gestur menantang dengan kedua jari tangan. "Jangan kira kau bisa menghasutku, ya, Akari. Berbeda dengan dulu, kali ini aku tidak akan lari lagi. Ayo, kita lanjut ke materi berikutnya. Kalau perlu hari ini belajar dua mata pelajaran sekalian. Habis fisika langsung matematika pun tak masalah."

Seakan puas melihat semangat juangku yang membara, Akari mengacungkan jempol dan mengangkat kedua sudut bibirnya lebih tinggi lagi. Gadis itu kemudian menyodorkan kepalan tangan, menawarkan salam kepalan ala Killer Bee dari Naruto. Sesegera mungkin aku membalas kepalannya sebagai tanda penerimaan tawaran.

"Ayo, kita lanjutkan pertarungannya!!"

–––––––

Pagi telah tiba. Sore dan malam kemarin kuhabiskan dengan terus belajar, belajar, belajar, dan belajar hingga otakku terasa mau meledak. Akari yang mengajariku sampai harus menghabiskan dua botol air ukuran besar demi menjaga kelembaban tenggorokannya. Kami baru pulang ke rumah waktu diusir karyawan sekolah. Rasa bangga karena berhasil melewati 'neraka' terbit di dalam hatiku. Namun..., diriku yang lama masih membayang-bayangi.

Seiring berlalunya pergerakan jarum jam yang tergantung di dinding dan semakin lama aku memakukan pandangan pada jadwal ujian yang tertulis besar-besar di papan tulis serta guru pengawas yang sudah bersiap-siap di mejanya, pikiran-pikiran liar mulai menghampiri. Akibatnya, detak jantungku menjadi liar dan keringat dingin mulai membasahi kulit serta baju seragamku. Bagaimana kalau nanti aku tiba-tiba lupa cara pengerjaan di tengah jalan? Bagaimana kalau ternyata apa yang kupelajari sampai larut malam itu malah nggak keluar di soal? Bagaimana kalau kali ini laju perkembangan nilainya nggak meningkat? Atau malah nggak ada perkembangan? Atau malah menurun?

Beruntung, di saat proses overthinking itu nyaris menelanku, aku teringat apa yang dikatakan Akari ketika kami pertama kali bertemu.

"Pikirkanlah dengan tidak membiarkan pikiranmu dikuasai rasa takut, Kuro. Bisa saja ini kesempatan terakhirmu, 'kan?"

Bersamaan dengan stabilnya detak jantung, aku memejamkan kedua mata, menggambar senyum geli di wajah serta menertawakan diri sendiri di dalam hati.

"Benar juga. Kenapa aku berulang kali membiarkan diriku hampir jatuh ke dalam lubang ketakutan yang sama?" batinku seraya membuka mata. "Lagipula, kalau sudah sejauh ini gimana caranya aku melarikan diri, coba? Dasar bodoh."

"Aku cuma punya satu pilihan sekarang, menghadapi lawan tarungku secara langsung!!"

Tepat setelah itu, bel masuk berdering senyaring tabuhan genderang perang, menandakan dimulainya 'pertempuran'. Usai memberi salam serta menerima lembar soal dan jawaban, aku beserta murid-murid peserta ujian yang lain pun bersiap-siaga, menunggu aba-aba dari sang guru pengawas yang kini telah berdiri di depan kelas.

"Apa semuanya sudah dapat lembar soal dan jawaban? Silakan angkat tangan dan bersuara kalau masih ada yang belum," ucap sang guru dengan suara lantang. Keheningan dan sikap siaga ujian dari seluruh peserta lalu menjawab pertanyaan guru tersebut tanpa suara.

"Baiklah!!" Beliau menepukkan kedua telapak tangannya, tampak puas. "Dengan begini, Ujian Tengah Semester mata pelajaran fisika..."

"... dimulai!!!"

Seolah otak kami semua terkoneksi seperti Six Paths of Pain dari Naruto, aku dan para peserta ujian yang lain membuka lembar soal secara hampir serempak, dilanjutkan dengan membaca dan mengerjakan soal-soal yang tertulis. Di luar dugaan, soal-soalnya cukup mudah. Kalau tahu begini, buat apa aku sampai overthinking tadi?

Aku berhasil menyelesaikan soal-soal di halaman pertama hanya dalam rentang waktu lima menit. Namun, sedetik setelah membalik lembaran, dengan cepat aku menyadari kalau pemikiranku yang menggampangkan ujian ini sangatlah bodoh. Kemungkinan yang kutakutkan benar-benar menjadi kenyataan. Soal-soal susah memenuhi halaman kedua dari kertas soal tersebut dan rasa gugupku seketika menyembunyikan memori tentang cara pengerjaan mereka. Rasanya ingin membenturkan kepala ke meja seperti kemarin, tapi itu cuma akan membuatku kena teguran guru pengawas dan merepotkan diriku sendiri.

"Ah, tidak, tidak. Aku sampai melewati 'neraka' demi bisa dapat nilai bagus di mata pelajaran ini, lho!!" Aku menggelengkan kepala serta mengepalkan tangan erat-erat di bawah meja, berusaha mengembalikan semangat. Otakku berusaha keras menggali serta menyortir file-file ingatan demi menemukan apa yang kupelajari semalam.

"Yang benar saja, Kuro!! Masa kau mau menyerah sekarang!!"

Sensasi panas dari semangat menyala di kedua manik mata kelabu milikku mulai terasa. Urat-urat di mukaku juga mulai timbul saking seriusnya aku berpikir.

"Ayo!! Berjuanglah!!!"

To be continued

A/N: Seperti ucapan saya dua hari lalu, sebelum misteri keempat dan pengungkapan kita intermezzo dua kali dulu biar nggak stres <3

(Kitanya nggak stres, tapi si Kuro yang stres, sih.)

Hello Again, KuroWhere stories live. Discover now