Bab 18: Kilas Balik - Bagian Ketiga

21 2 0
                                    

Libur musim panas delapan tahun lalu... adalah saat di mana aku kehilangan Akari.

Peristiwa itu sangat mendadak, bahkan dua hari sebelumnya aku tidak menyangka tragedi itu akan terjadi.

Tangkapan gambar di penglihatanku berganti. Kini, anak laki-laki berpenampilan mirip diriku dan gadis kecil berpenampilan mirip Akari itu sedang duduk bersantai di bangku taman sembari menikmati pemandangan matahari pagi yang cemerlang dan pepohonan hijau yang menyejukkan netra dengan burung-burung berkicauan di puncaknya. Pakaian mereka berdua lembap oleh keringat, menyiratkan bahwa mereka tengah beristirahat sejenak usai bermain-main.

"Rasanya seru, tapi sepi juga, ya," ucap si gadis.

"Yah..., mau gimana lagi?" Si anak lelaki berujar sembari menyilangkan kedua lengan di belakang kepala, menggunakannya sebagai bantal. "Ini libur musim panas, lalu kita juga sudah masuk libur panjang nasional hasil gabungan perayaan Yama no Hi dan libur akhir pekan. Pasti anak-anak lain pergi tamasya bareng keluarga mereka ke luar kota. Daya tarik Kota Yume cuma bertahan selama musim bunga sakura. Lagipula, mungkin mereka sudah bosan lihat pohon sakura terus tiap hari."

"Betul juga, sih," sahut si gadis setuju. "Kamu sendiri, kenapa nggak tamasya bareng keluargamu?"

"Yah, kau pasti sudah tahu." Teringat sesuatu yang mengecewakannya, air muka anak lelaki tersebut seketika berubah. "Tempat kerja ayahku agak kejam. Libur akhir pekannya saja cuma di hari Minggu. Paling-paling dia baru dapat jatah libur panjang di festival Obon minggu depan."

"Begitu, ya." Si gadis berujar. Pandangannya sempat terlihat iba, tapi kemudian berubah menjadi pandangan bersemangat. "Oh, iya. Kuro-kun, kami sekeluarga akan pergi tamasya besok, kamu mau ikut kami saja?"

"Ah, tidak. Aku nggak mau mengganggu acara kalian. Lagipula, aku dan ibu punya acara sendiri." Si anak menolak dengan halus. "Yah, acaranya cuma belajar memasak bareng, sih. Bukan rencana besar."

"Begitu.... Semangat, ya!!" ucap si gadis sembari menepuk punggung anak lelaki di setelahnya dan tersenyum cerah. "Jangan merindukanku."

"Mana mungkin rindu. Kau cuma pergi tamasya selama tiga hari, bukan tiga tahun." Si anak berujar dengan bulir keringat membasahi keningnya. Namun, kemudian kedua sudut bibirnya turut terangkat. "Bersenang-senanglah, Akari."

"Ya," ujar si gadis. "Nanti aku akan minta ayah dan ibu mengirimkan foto-fotonya kepada keluargamu juga, kok!!"

Waktu itu, tidak terbersit di benakku bahwa candaan Akari adalah sebuah pertanda musibah dan bahwa itulah kesempatan terakhirku berbicara dengannya serta melihat senyumannya yang cemerlang. Dua hari kulalui tanpa curiga, tanpa khawatir, dan tanpa firasat buruk. Alam juga tak memberi tanda sedikitpun, justru Sang Mentari bersinar terik sepanjang hari. Barangkali akibat terlena oleh hidup bahagia selama dua tahun, ketika itu aku mengira semuanya akan baik-baik saja, hingga... kabar itu datang.

Gambar di penglihatanku berganti lagi, menampilkan telepon di rumah lamaku sedang berdering nyaring. Seorang pria dewasa-ayahku-, kemudian datang mengangkat telepon. Baru saja saling berbalas salam, pria tersebut segera dibuat melebarkan mata oleh kabar yang diterima.

"Eh? Apa?! Pak Sakurai, keluarga anda mengalami-"

Saking shock, pria tersebut tak mampu menyelesaikan kata-katanya. Telapak tangannya menutup mulut dan kedua matanya masih menyiratkan keterkejutan.

"Ya." Sang penelepon membenarkan konfirmasi sang pria dengan suara yang masih bergetar. "Kami mengalami kecelakaan lalu lintas dalam perjalanan pulang. Kami berdua baik-baik saja, hanya menderita luka-luka ringan, tapi... putri kami...."

Untuk kedua kalinya, sang pria dikejutkan oleh kabar yang diberikan, sampai tanpa sadar mengulanginya dengan suara cukup keras.

"Akari-chan..., sedang dalam-"

"Baiklah, kami akan segera ke sana. Tolong anda dan istri anda tunggu di sana, ya, Pak Sakurai."

Suara gagang telepon yang bersentuhan kembali dengan wadahnya terdengar, pertanda telepon ditutup. Putra kandung si pria kemudian menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh, diikuti oleh sang istri.

"Ada apa, ayah?" tanya anak berusia delapan tahun itu-diriku di masa lalu-.

"Akari-chan, dia...," ucapan sang pria sempat terputus, "dia sedang dalam kondisi kritis karena kecelakaan...."

Dalam sekejap, sang anak dan sang istri turut terperanjat.

"A-APA?!"

Lalu, gambar di hadapanku kembali berganti. Tampak keluarga Akeron beserta keluarga Sakurai tengah duduk bersama di kursi yang berjejer menghiasi tepi lorong rumah sakit, bersebelahan dengan pintu masuk ruang operasi, menunggu dokter yang tengah menangani Akari di dalam sambil saling menguatkan. Akan tetapi, ada dua anggota keluarga yang hilang. Tidak, daripada hilang, keduanya lebih cocok disebut sengaja menjauhkan diri. Dua anggota itu adalah ibu beserta putra tunggal dari keluarga Akeron-ibu dan aku ketika SD-.

Aku ingat dan paham betul alasan kami berdua kala itu menjauh. Alasan ibu ialah karena ingin menemaniku. Sementara itu, alasanku sendiri... bukan karena tidak peduli, aku hanya tidak siap dengan hasil yang akan keluar. Selain itu, ucapan-ucapan penguat hati yang saling dilontarkan kedua pihak keluarga justru menambah kacau ritme degup jantungku. Memang terkesan seperti pengecut, tapi aku lebih nyaman berada terpisah bersama ibu. Dengan begitu, setidaknya aku bisa menerima kabar buruk lebih belakangan dan bisa menipu diriku sendiri sedikit lebih lama. Itulah satu-satunya cara melarikan diri yang tersisa setelah gagal membuktikan kalau peristiwa tersebut hanyalah mimpi.

Menyedihkan, ya? Padahal waktu itu aku sudah tahu dan mengerti..., seperti apa pun hasil yang akan keluar, itu tetap akan menjadi kenyataan yang wajib kuterima serta kubiasakan secepat mungkin. Namun, aku masih berusaha melarikan diri dari kemungkinan terburuk.

Beberapa belas menit berselang, kemungkinan terburuk itu benar-benar tiba. Suara putaran gagang pintu terdengar dari arah ruang operasi, disusul suara derit yang lirih. Dokter melangkah keluar sembari menundukkan kepala, menyampaikan kabar yang mengundang tangisan pasangan keluarga Sakurai. Si anak lelaki memalingkan muka, menundukkan kepala, dan menutup kedua telinga. Akan tetapi, harapannya untuk terus melarikan diri pupus kala pundaknya ditepuk, kepalanya diangkat, dan telinganya dibuka oleh sang ayah.

"Akari... sudah tiada...," ucap sang ayah. Suaranya bergetar, tapi diusahakan sekuat tenaga untuk tetap terkesan tegar. "Kuatkan dirimu, ya, Kuro."

"Apa yang ayah bilang?!" Spontan si anak bangkit berdiri. Tubuhnya gemetar parah. Matanya berkaca-kaca, terbakar oleh kekecewaan dan kekesalan sekaligus tenggelam dalam kesedihan. "Akari..., dia... dia...."

Emosi anak lelaki tersebut tampak tidak terbendung lagi. Seakan tak peduli dengan etika dan empati, dia mendorong tubuh ayahnya ke samping dan berlari menuju ruang operasi sembari berteriak. Untung saja dokter dengan sigap menahannya.

"Akari!! Kau pembohong!!! Dulu kau berjanji nggak bakal meninggalkanku sendirian, 'kan?! Kenapa kau malah mengingkarinya sekarang?! Hei!! Jangan pergi seenaknya!!"

"Saya paham perasaanmu, nak, tapi kamu harus kuat, demi Akari-san juga." Sang dokter berusaha menghibur.

"Dokter benar, Kuro," timpal sang ayah. "Masa depanmu masih panjang, kamu harus merelakan Akari. Dia juga nggak akan senang melihatmu seperti ini."

Aku hanya terdiam memperhatikan pemandangan diriku di masa lalu yang tengah berkabung itu. Ingatan tersebut membuatku terbawa suasana hingga tenggorokanku tercekat dan dadaku terasa sesak serta perih. Ketika itu, Akari adalah bagian tak terpisahkan dari hidupku. Dialah cahaya harapanku dan alasanku untuk terus melangkah maju dalam hidup.

Jadi, seperginya gadis itu, tujuan hidupku pun lenyap.

To be continued

Hello Again, KuroWhere stories live. Discover now