Bab 6: Perubahan Kedua - Klimaks Perlawanan dan Perjanjian Damai

48 8 42
                                    

"Dasar... seenaknya saja...."

Alih-alih jeritan girang karena bisa pulang sekolah cepat, yang terlontar dari mulutku malah gerutuan. Padahal meskipun cukup ramai oleh kendaraan beroda dua maupun beroda empat serta pejalan kaki, jalan besar yang sedang kulalui suasananya damai berkat langit biru berhiaskan awan-awan putih bagai gumpalan kapas yang membentang luas di atas serta pohon-pohon sakura yang bunganya telah mekar dan berderet menghiasi kedua sisi trotoar.

Yah, bukan salahku. Mana bisa aku menikmati keindahan alam jika otakku yang habis dijejeli pelajaran matematika dan fisika secara non-stop malah dibebani PR susah? Selain itu, badanku juga masih lemas karena pelajaran olahraga tadi siang.

"'Apa bukan karena alasan lain', ya...," ucapku dalam hati.

Memangnya alasan lain apa yang bisa membuatku nggak buru-buru pulang hari ini? Jelas-jelas kemungkinannya cuma aku kelelahan sampai harus istirahat dulu sebentar. 'Alasan lain', apaan coba? Dasar cewek aneh.

Tunggu. Kalau dipikir-pikir, kok aku juga ikutan jadi aneh? PR ini bukan dari pelajaran sekolah!! Tidak ada yang mewajibkannya selain cewek aneh itu, dan kalaupun nggak kukerjakan, nggak akan ada hukuman yang menanti. Terus, buat apa aku repot-repot memikirkan jawabannya?

"Aaagghh!!!" Tak kuasa menahan stres, aku menjerit sambil mengacak-acak rambut, tak peduli dengan reaksi pejalan kaki lain yang sedang berlalu-lalang di trotoar yang sama. "Sebenarnya aku ini kenapa, sih?!"

"Ah, pasti gara-gara capek fisik dan mental," gumamku sembari mempercepat langkah. "Seram juga, ya. Capeknya bisa mengubah kepribadian begitu. Aku harus cepat-cepat pulang dan tidur sebelum gejalanya jadi parah."

"Ah, tunggu sebentar."

Selang beberapa menit, aku mendadak menghentikan langkah, kemudian mengetuk-ngetuk dagu. Ada sesuatu yang terasa salah dan aku yakin itu bukan cuma perasaanku, tapi apa?

"Eh?! Aaagghh!!!"

Menyadari apa yang sebenarnya kulupakan, aku pun spontan mencengkeram kepala sendiri. Benar juga. Dasar bodoh. Kenapa bisa sampai lupa?

"Pintu masuk jalan tikusnya..., kelewatan...."

Pintu itu terletak di sudut belokan dan tersembunyi di balik bayangan pohon sakura besar berdaun rimbun, jadi wajar saja kalau orang lain tidak sadar. Namun, bukan hal yang wajar jika aku yang sudah terbiasa lewat sana masih bisa tidak sadar dengan keberadaannya.

"Kelihatannya gejala kecapekannya memang sudah parah."

–––––––

Singkat cerita, aku berhasil kembali ke pintu masuk gang kecil yang seharusnya kumasuki tersebut. Beruntung, aku sadar kalau salah jalan waktu menyimpangnya belum terlalu jauh. Kalau sadarnya waktu sudah jauh, bakalan jadi benar-benar merepotkan.

"Hah..., kenapa pakai acara salah jalan segala?" Dibuat gusar oleh nasib, aku pun menghembuskan napas panjang sembari menendangi udara. "Ini sudah kesialan yang kedua hari ini. Yah, walaupun dicampur keberuntungan juga, sih...."

Jujur, aku benar-benar berharap cobaannya berhenti di kesialan yang kedua ini. Meski begitu, rasanya harapan tersebut mustahil jadi kenyataan mengingat situasi tadi siang.

"Yamamoto-kun..., aku yakin dia dan geng-nya tidak akan melepaskanku semudah itu," ucapku lirih.

Firasatku semakin buruk ketika mengingat bahwa jalan tikus ini cukup terisolasi, jarang dilalui orang. Di balik tembok beton yang membatasi sisi kiri-kanan jalan memang ada rumah-rumah milik warga, tapi semuanya tak punya pintu belakang maupun halaman belakang.

Hello Again, KuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang