Bab 9: Misteri Pertama - Cerita Masa Kecil

37 5 0
                                    

Sabtu Malam telah tiba. Malam yang sudah kunanti-nanti sejak lama, sebab inilah 'kebebasan sejati' bagi fisik dan otakku yang energinya telah dikuras selama lima hari. Aku bisa bersenang-senang sesuka hati. Weekend-ku masih tersisa sehari lagi, jadi tak akan ada masalah. Belenggu rasa kantuk juga sudah kumusnahkan lewat hibernasi semalam. Bermain game, membaca komik, menonton anime, cara appun dapat kugunakan secara sah untuk menghabiskan malam ini.

Setidaknya..., itulah yang kupikirkan. Sayang seribu sayang, kenyataan justru berbanding terbalik. Secara mengejutkan, Akari datang 'menjajah' zona nyaman tersebut, dan itu bukan satu-satunya kabar buruk. Gadis itu membawa serta sesuatu yang merepotkan..., yaitu buku pelajaran... MATEMATIKA.

"Kau...." Aku berusaha menyembunyikan kepalan tanganku di bawah meja ruang tamu yang berkaki kayu serta beralas kaca bening. Mataku menatap lekat-lekat buku-buku dan peralatan tulis yang bertebaran di atas meja, lalu beralih menatap Akari yang tengah duduk manis di sisi seberang. "Kenapa di hari libur ini kau masih mengadakan acara belajar bareng?"

"Kamu ingat apa yang kubilang kemarin?" Akari menyahut dengan santai, seakan tak peduli akan urat-urat yang mulai menonjol di wajahku. "Kamu ketinggalan jauh di bidang akademis, makanya aku menambah jam belajarmu."

"Ada benarnya, sih..., tapi kenapa harus di rumahku?" Aku menyilangkan kedua lengan di depan dada, masih tak terima.

"Kalau kubuat janji temu di luar, bisa-bisa kamu kabur di tengah jalan," sahut gadis itu lagi.

"Tapi, kalau sudah begini, ayah dan ibu akan menggodaku habis-habisan," ujarku sembari membenamkan muka dalam-dalam ke meja. Rasanya ingin pergi ke planet lain saja. Mau itu Venus, Mars, Saturnus, Uranus, atau yang lainnya, aku tak peduli. Selama aku bisa lepas dari situasi canggung, itu sudah cukup.

"Lagipula, pelajaran hari ini matematika. Pasti bakalan terasa seperti neraka lagi. Ah, malasnya.... Aku mau main game saja."

"Kamu ini.... Padahal nilaimu sudah meningkat, lho," ucap Akari gemas. "Bersemangatlah sedikit!! Jangan remehkan kemampuanmu sendiri."

"Ya, ya. Yang dapat nilai tinggi terus memang hebat." Kuangkat kepalaku dan kuraih buku pelajaran yang tergeletak di atas meja. "Nasihat yang klise, tapi memang benar nilaiku terus naik meski lajunya selambat siput, sih."

Belum sempat aku bertanya soal materi hari ini, fokus otakku keburu teralihkan oleh suara ibu yang ditangkap telinga serta aroma harum yang ditangkap hidung.

"Ah, apa kalian sudah mau mulai? Kalau begitu, maaf mengganggu."

Secara impulsif aku memutar leher, mengarahkannya ke sumber suara. Tepat seperti dugaan, sumbernya adalah ibu yang membawa nampan. Di atas nampan, mangkuk-mangku kaca berisi makanan, sendok dan garpu logam, serta dua gelas air tampak tertata rapi.

"Tidak, tidak masalah," ujarku sembari menggeser buku dan peralatan tulis ke tepi meja, kemudian bangun dari duduk dan mengambil nampan tersebut. "Kebetulan perutku keroncongan. Belajar dengan perut lapar tidak akan efektif. Lagipula, yang jadi 'guru'-nya juga pasti lapar. Benar, 'kan, Akari-san?"

Gadis berambut oranye terang itu sekilas memasang tatapan yang jika ditafsirkan berbunyi: 'Pakai sok mewakiliku segala. Bilang saja kamu mau menunda belajar, dasar malas!!', tetapi kemudian menggantinya dengan tatapan ramahnya yang biasa. Mungkin dia merasa tidak enak membuat keributan di depan ibuku. Aku pun tersenyum penuh kemenangan, seolah berkata: 'Kali ini, aku yang menang'.

"Ngomong-ngomong...." Suara ibu merebut perhatianku dari nampan yang baru saja kuletakkan di meja makan. "Sudah lama sejak terakhir kali ada temanmu yang datang bertamu, ya, Kuro. Siapa sangka sekalinya ada lagi, bukannya teman yang datang tapi pacar. Mana pacarnya cantik pula."

Hello Again, KuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang