Bab 10: Misteri Kedua - Cerita Hantu di Sekolah

31 3 5
                                    

Satu bulan telah berlalu sejak hari itu. Hujan bulan Mei kini membasahi Kota Yume, menggelapkan langit siang yang mestinya terang-benderang sekaligus menandakan akhir musim semi yang telah dekat. Lewat kaca jendela sekolah yang buram, samar-samar bisa kulihat air hujan menyapu bersih kelopak bunga sakura yang bertebaran di tanah lapang.

Aku jadi teringat sesuatu. Kedua orangtuaku pernah bercerita, ada alasan mengapa kota tempat tinggal kami sekarang dinamai Kota Yume. Iklim unik memungkinkan bunga-bunga sakura yang normalnya hanya bertahan selama dua minggu sejak kuncup pertama hingga kelopak terakhir di kota lain justru umumnya mampu bertahan selama satu bulan lebih di sini. Alhasil, bunga-bunga sakura tersebut seringkali mekar paling awal dan gugur paling akhir. Penduduk di dalam maupun di luar kota menyebutnya 'keajaiban'.

Namun, periode mekar yang terbilang lama tersebut tetap tak mampu menghindarkan bunga-bunga sakura di kota ini dari akhir yang ditakdirkan. Mau tak mau, mereka harus merelakan diri gugur lalu tersapu oleh hujan. Meski begitu, dedaunan hijau serta buah-buah merah merona yang tak kalah indah akan menggantikan mereka.

Sekarang aku mulai berpikir kalau mungkin ini juga berlaku untuk hidupku, dan mungkin juga ini adalah alasan kami sekeluarga pindah kemari. Ayah dan ibu menginginkanku berhenti melarikan diri sebab dunia luar bisa menjadi tak kalah indah dengan dunia pelarianku.

"Tunggu, kenapa aku tiba-tiba jadi puitis?" batinku sembari tertawa pelan. "Sejak kapan aku jadi menganggap serius hal-hal yang simbolistik begini?"

"Yah..., biarlah. Menjadi puitis bukan sesuatu yang buruk juga."

Baru lewat beberapa detik setelah 'sesi refleksi filosofis'-ku berakhir, telingaku menegak, menangkap percakapan beberapa orang siswi yang sedang asyik mengobrol tepat di belakang tubuhku. Dinilai dari beda suaranya, mereka berjumlah 3 orang, dan setelah mencocokkan suaranya aku sadar pernah bertemu mereka semua. Hanya saja, frekuensi pertemuannya cukup jarang karena kami berbeda kelas walau seangkatan.

Dulu aku sama sekali tak pernah tertarik dengan percakapan orang lain, apalagi jika aku tidak dekat dengan mereka. 'Mumpung masih jam istirahat, mending tidur', begitulah jalan pikiran diriku yang dulu. Namun, entah mengapa belakangan ini ketertarikanku pada obrolan eksternal melebihi ketertarikanku pada dunia mimpi. Barangkali pertanda bahwa sisi misantropisku sudah semakin pudar.

"Hei, hei." Siswi pertama angkat suara. "Kamu sudah dengar?"

"Eh? Dengar apa?" Siswi kedua merespons. Nada bicaranya menyiratkan kebingungan.

"Itu, lho," ujar siswi pertama. "Dengar-dengar di sekolah ini ada... hantu...."

Merasa kecewa, aku pun memutar bola mata serta menurunkan sudut bibir. Rasa malas, heran, dan kesal mulai menghinggapiku. Hei, hei. Yang benar saja. Padahal aku sudah fokus mendengarkan, tapi ternyata topiknya itu? Rasanya ingin berkomentar: "Ayolah, kita semua sudah kelas 2 SMA. Cerita hantu di sekolah harusnya nggak cocok lagi untuk menakut-nakuti kita.", tapi mendadak nimbrung dalam percakapan orang-orang yang tidak kukenal dekat pasti akan membuatku canggung. Maka dari itu, aku memilih diam dan mendengarkan mereka saja.

"Masa, sih?" Siswi ketiga ikut berkomentar. "Sungguhan, tuh?"

"Katanya, sih, iya," sahut siswi pertama. "Aku sendiri belum pernah mengalaminya, tapi ceritanya sudah santer."

"Hantu itu tidak pernah menampakkan wujudnya, tapi selalu mengganggu. Tak peduli itu waktu hujan atau cerah, waktu siang atau sore. Sudah sebelas murid yang diganggu. Enam murid mengaku pernah mendengar suara langkah kaki tapi tak melihat siapapun, dua murid mengaku pernah lihat pintu kelas terbuka sendiri, dan tiga murid mengaku pernah ditabrak oleh sesuatu yang nggak terlihat."

"Ihh, seram!!" ujar siswi kedua. "Aku jadi merinding."

"Tapi," sela siswi ketiga. "Kalau hantu itu nggak pernah menampakkan wujud asli, memainkan lampu, atau semacamnya, mungkin dia nggak berniat mengganggu, 'kan? Bisa jadi cuma nggak sadar dia sudah meninggal. Mungkin kita bisa berteman dengannya, lalu membantunya menerima kenyataan dan pergi ke akhirat. Kasihan dia gentayangan terus di dunia."

"Itu kalau dia betulan hantu baik." Siswi kedua mencoba menyanggah. "Ini dunia nyata, lho, bukan anime Summer Ghost. Bagaimana kalau-"

"Ah, teman-teman." Siswi ketiga tiba-tiba memotong pembicaraan. "Sebaiknya kita hentikan obrolan soal ini sebelum hantunya datang... betulan.... "

Kuputar bola mata sekali lagi. Hujan turun semakin deras dan langit juga semakin menggelap, tapi aku sama sekali tak peduli. Yah, aku sudah terbiasa jadi hikikomori. Kegelapan serta suasana horor sekarang seperti teman bagiku. Aku sudah kebal dengan cerita begituan.

"Huuuu~~ Huuuu~~"

Suara gumaman yang dimiripkan dengan suara hantu menyelinap masuk ke dalam telingaku. Perlahan, kurasakan napas dingin menerpa kulitku. Mungkin orang biasa akan langsung kaget, tapi tidak denganku. Ciri khas suara tersebut masih sangat jelas dan aroma yang menyelinap memasuki lubang hidung ini terasa familiar. Dua petunjuk tersebut saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui identitas sang empunya suara.

"Hei, Akari. Cara menakuti yang begitu tidak akan bekerja pada seorang mantan hikikomori, tahu," ucapku dengan nada datar sambil menoleh ke belakang. Tampak Akari sedang terkekeh.

"Benar juga," sahutnya sambil berusaha meredakan tawa. "Ngomong-ngomong, kamu sedang apa di sini, Kuro-kun?"

"Menikmati hujan sambil mendengarkan obrolan mereka," ujarku, menunjuk ketiga siswi di belakang yang telah mengganti topik karena ketakutan dengan jempol. "Tapi, obrolannya nggak asyik, sih. Masa sudah SMA masih membicarakan cerita hantu?"

"Yah, setiap orang itu unik. Ada yang masih percaya, ada juga yang sudah tidak," ujar Akari. "Kamu sendiri, kapan terakhir kali percaya cerita hantu?"

"Waktu kelas 5 SD," jawabku singkat.

"Eh?!" Gadis berambut oranye itu menutup mulutnya, menatap tidak percaya. "Cepat amat!! Apa kamu betulan manusia?"

"Yah, habisnya selama aku mengurung diri dan jadi nokturnal tak pernah ada hal aneh terjadi." Aku mengangkat kedua bahu. "Lagipula, orang-orang yang 'bersinar terlalu terang' buatku lebih mengerikan daripada hantu. Kau sendiri bagaimana?"

"Eh?" Dia tampak terkejut, seolah tak menyangka akan ditanya balik. Bulir keringat mulai mengaliri keningnya. "E-Eh. Kalau aku...."

"Hei, hei." Kedua mataku memicing, menyiratkan kecurigaan. Secara refleks aku mengangkat tangan kanan, mencuatkan jari telunjuk dari kepalan serta mengarahkannya ke gadis itu. "Jangan bilang kau masih percaya cerita hantu dan masih takut dengan hantu sampai sekarang."

"Ma-Mana ada!!" elaknya. "Aku cuma kaget karena tiba-tiba ditanya balik-"

"Oh, jadi sekarang seorang Akari Sakurai yang extrovert garis keras kaget karena ditanya balik?" Sudut-sudut bibirku terangkat, menyunggingkan senyum mengejek. "Sejak kapan kau jadi payah dalam bercakap-cakap?"

"Su-Sudahlah. Kamu belum makan siang, 'kan, Kuro-kun? Mumpung masih jam istirahat, ayo kita ke kantin," ucapnya sembari menggenggam tanganku dan menarikku pergi tanpa menunggu persetujuan dariku sama sekali. Kepanikannya terlihat jelas.

"Kau berusaha mengalihkan pembicaraan, 'kan?"

"Mana ada. Sudahlah, ayo ke kantin sebelum kau kena penyakit maag. Bunyi perutmu kedengaran keras sekali, tuh."

"Wah, Esper Akari memang hebat. Padahal aku si pemilik perut saja belum mendengar suara gemuruh sama sekali."

"Itu karena telingaku lebih peka, tahu!! Bukan karena kekuatan esper."

"Oh, apa iya~~"

"Berhenti pakai nada yang menyebalkan itu dan fokus saja menggerakkan kakimu!!"

Aku tergelak dengan suara keras, lalu terus menggoda Akari yang sibuk mengomel tapi akhirnya ikut tertawa. Rasanya sangat menyenangkan. Namun, pada waktu itu, tiba-tiba saja datang perasaan aneh yang sama seperti ketika Akari menceritakan masa kecilnya. Perasaan yang seakan memberitahuku bahwa cerita hantu tadi bukan sekedar bualan biasa.

"Lalu, kalau bukan, itu apa?"

To be continued

A/N: Yak, seperti biasa, semangat menganalisisnya <3

Hello Again, KuroWhere stories live. Discover now