Bab 2: Kecambah Kepercayaan

53 12 30
                                    

Singkat cerita, aku pun diseret oleh gadis bernama Akari itu ke UKS dan dipaksa menjalani pemeriksaan kesehatan. Hasilnya? Tentu saja tiada penyakit yang terdeteksi, tepat seperti dugaanku. Biarpun penampilanku begini, aku sehat secara fisik, setidaknya untuk sekarang. Soal kesehatan mental, yah... kalian pasti sudah tahu jawabannya.

Mengetahui hasil tersebut, gadis itu langsung membawaku meninggalkan ruangan UKS. Kami kembali menyusuri lorong panjang yang memuakkan, setidaknya bagiku. Beralaskan ubin-ubin putih bersih bagai salju, berdinding biru muda senada dengan langit siang yang cerah di luar, dihiasi jendela-jendela transparan yang meneruskan cahaya mentari di sisi kiri dan pintu-pintu beragam warna di sisi kanan. Semua itu terlalu berwarna, terlalu meriah, terlalu terang. Rasanya ingin mencari tempat yang gelap dan terisolasi. Mau itu kelas kosong, bilik toilet yang sedang diperbaiki, atau lainnya, aku tidak peduli. Aku juga tak peduli jika ada orang lain yang menemukanku dan mengiraku orang tak waras, hantu, atau siluman tarantula. Aku hanya ingin menemukan tempat seperti itu lalu bersembunyi di sana sampai bel pulang berdering. Tapi, konsekuensinya adalah berurusan dengan guru bimbingan konseling, dan itu akan sangat merepotkan. Beruntung, bagian lorong yang tengah kami lewati secara ajaib relatif sepi, jadi suasananya tidak separah di ruangan kelas tadi. Mungkin karena hanya ada 1-2 buah ruang kelas yang terletak di sini, sedangkan sisanya ruangan-ruangan yang jarang dimasuki banyak orang seperti gudang dan laboratorium bahasa.

Sambil berjalan, pikiranku lagi-lagi berkelana dalam memori, meraih ingatan soal kejadian tadi. Benar juga. Jika dipikir-pikir..., kenapa tadi aku tidak melawan? Apa pemikiran bahwa gadis itu mungkin bisa memperbaiki keadaanku yang sekaranglah yang membuat diriku mengurungkan niat? Tidak..., aku tidak boleh terjebak dalam jebakan yang sama. Dulu waktu SD, setiap orang yang bersikap begitu pasti ujung-ujungnya meninggalkanku, entah karena takut, memang berniat licik sejak awal, atau karena alasan lain. Lagipula, aku memang tidak pantas dirubah, jadi apa motivasi dia melakukannya? Ditambah lagi, risiko merepotkan yang akan muncul kalau interaksi ini diteruskan..., aku malas menghadapinya.

Mungkin karena menyadari mataku memandang ke kejauhan meski tubuhku sedang berjalan bersamanya di lorong sekolah, lagi-lagi gadis berambut oranye tersebut angkat suara.

"Haloo?? Kamu baik-baik saja? Atau perlu kita kembali ke UKS?" tanyanya sembari melambai-lambaikan tangan.

"'Kan, sudah kubilang. Aku baik-baik saja," ujarku, menggertakkan gigi dengan wajah agak terusik. "Kau ini over-reaktif."

"Itu, 'kan, karena aku khawatir!! Kenapa kamu malah sinis begitu?" Dia menyahut sambil melotot serta berkacak pinggang tak terima. "Setidaknya berterima kasihlah!!"

Aku menghela napas berat sekali lagi. Khawatir, sih, khawatir, tapi dengan adanya adegan tadi potensi aku terkena masalah waktu kembali ke kelas jadi meningkat drastis, tahu. Gosip tentang itu bisa menyebar secepat kilat, dan aku bisa saja dilabrak oleh anak-anak yang punya perasaan suka terhadapnya. Walaupun..., poin terakhir dari ucapan gadis ini ada benarnya, sih. Setidaknya aku harus berterima kasih karena dia sudah mengkhawatirkanku.

"Iya, iya. Terima kasih," ujarku singkat, masih dengan wajah tanpa ekspresi. Terlihat seolah tidak niat, tapi dengan begini setidaknya aku sudah berusaha mengekspresikan rasa syukur.

"Ucapan terima kasih macam apa itu?" Bukannya senang, si gadis malah protes dan semakin melebarkan manik mata biru langit miliknya. "Nggak ada ramah-ramahnya sama sekali. Kalau kamu begini di forum internasional, bisa-bisa Jepang jadi musuh satu dunia."

"Mana mungkin juga aku terjun ke forum internasional," batinku dengan bulir keringat mengaliri kening.

Aku ingin memprotes balik, tapi berdebat dengannya cuma akan buang-buang waktu dan tenaga. Aku cuma ingin dia pergi secepatnya supaya aku bisa kembali ke kelas dan melanjutkan tidurku, melupakan dunia yang tidak menganggapku ini serta fakta bahwa aku memang tak pantas dianggap.

Hello Again, KuroWhere stories live. Discover now