Bab 22: Selamat Tinggal, Dunia Fana

19 1 0
                                    

Bulan Juli telah tiba.

Ujian Akhir Semester serta sepertiga dari musim panas sudah terlewati. Tinggal tersisa dua minggu lagi sebelum libur musim panas menghampiri. Berdasarkan dugaanku pada akhir Juni silam, seharusnya kini aku sudah bisa bangkit kembali dan menerima perpisahanku dengan Akari, lalu aku akan menjalani kehidupan sekolah seperti biasa dan melanjutkan development-ku. Seharusnya tidak akan ada masalah besar yang terjadi.

Sayangnya, dugaan tersebut ternyata salah besar. Saat ini aku malah....

"Kuro-kun?"

"Hei, Kuro-kun!!"

Sebuah suara menarikku secara paksa dari lamunan. Seketika aku teringat sedang berada di ruang guru menghadap Yamaguchi-sensei.

"Jangan malah melamun, dong. Saya sedang mengajakmu bicara!!" protes beliau dengan alis tertekuk yang menyiratkan perasaan gusar.

"Ah, maafkan saya." Aku menegakkan badan, berusaha untuk setidaknya tidak menambah buruk situasi.

"Tumben sekali nilai tugas dan UAS matematikamu merah dan kamu jadi sering nggak fokus seperti dulu. Lalu, saya dengar dari Aikawa-sensei dan guru-guru lain kalau nilaimu menurun di mata pelajaran mereka juga." Kegusaran pada raut wajah beliau berubah menjadi kekhawatiran. "Ada masalah apa?"

"Bukan sesuatu yang serius, kok, sensei," sahutku menutupi. Aku sudah terlanjur menggunakan alasan Akari melarangku bercerita pada orang lain untuk mencegah cerita itu lanjut beredar dari mulut Yamamoto. Jadi, aku tak bisa memberitahukannya pada Yamaguchi-sensei. Ini karena aku nggak mau menimbulkan kehebohan.

"Apa kamu betul-betul nggak apa-apa?" Guru wanita tersebut memicingkan matanya, seolah mencoba menginterogasi. Akan tetapi, gelengan kepalaku mendorong beliau untuk segera menyerah serta menghela napas.

"Ya sudah." Beliau tersenyum pasrah. "Tapi, kalau kamu benar-benar merasa butuh tempat cerita, saya akan selalu siap mendengarkan, kok. Kamu bisa cerita pada Aikawa-sensei dan teman-temanmu juga. Anggap saja kami keluargamu."

Aku pun membungkukkan tubuh dalam-dalam meski masih dengan wajah sedatar papan. "Terima kasih banyak, sensei. Mohon bantuannya untuk remedial nanti."

"Ya." Senyum di wajah Yamaguchi-sensei semakin melebar. "Berjuanglah!!"

Pasca urusan beres, kulangkahkan kaki meninggalkan ruang guru. Yamamoto telah menunggu di luar, bersandar pada tembok dekat pintu. Dia menyambutku dengan salam kepalan. Seraya menyusuri lorong sekolah bersamaku, pemuda kekar tersebut menghujaniku dengan berbagai pertanyaan serta topik obrolan, sampai-sampai aku bingung harus meladeni yang mana dulu dan akhirnya malah tak meladeninya sama sekali.

Yamamoto-kun, Yamaguchi-sensei, dan yang lainnya. Mereka semua menunjukkan kebaikan hati dan sikap suportif yang murni. Mereka tak pantas untuk kuperlakukan seperti tadi. Barangkali sepatutnya tadi aku berterimakasih dengan lebih ceria. Barangkali sepatutnya aku langsung meladeni ucapan Yamamoto-kun. Namun, aku tak mampu lagi bersikap normal seperti itu.

Aku... tidak bisa merasakan kebahagiaan dan kenikmatan lagi. Di dalam jiwaku hanya ada kehampaan dan rasa sakit, sama seperti sebelum aku bertemu dengannya. Tidak, bahkan perasaan-perasaan ini lebih menyiksa daripada sebelumnya, juga daripada dua minggu lalu. Tampaknya dia tumbuh besar seiring berjalannya waktu. Barangkali karena aku mencintai Akari... dan karena aku sudah pernah sekali kehilangan dirinya.

Aku tak mau kehilangan dia lagi, tapi takdir kehidupan memaksaku berpisah dengannya.

Hidup seperti ini... apa gunanya menjalaninya? Apa keinginan untuk menjaga perubahan yang belum pasti akan bertahan dan untuk memenuhi harapan kedua orangtuaku yang ujung-ujungnya juga takkan terwujud itu cukup untuk menjadi alasan hidup?

Jelas tidak. Semuanya sia-sia saja.

Kurasa Akari tak perlu menunggu selama yang dia kira. Aku sudah bisa memutuskan jawabannya sekarang. Di antara dua pilihan yang dia tawarkan, yang sebaiknya kupilih adalah....

–––––––

"Jadi..., apa kamu sudah mengambil keputusan?"

Pertanyaan Akari menggema di ruangan tradisional kosong berukuran besar yang dahulu kala berfungsi sebagai gudang ini—tempat pertemuan rahasia antara dia dan aku—. Senyum tipis di wajah gadis berambut oranye tersebut nampak di bawah cahaya lampu senter yang kami bawa. Ya, suasana malam hari memperparah minimnya pencahayaan di ruangan ini sehingga kami perlu membawa sumber cahaya sendiri.

Aku menunduk, menatap lantai papan berbahan kayu dan berlapis debu yang kupijak, kemudian mengangguk pelan. "Ya. Tadinya aku masih bingung, tapi akhirnya kudapat jawabannya. Hidup ini sudah nggak bisa kunikmati lagi. Tidak tanpa dirimu, Akari. Aku siap pergi bersamamu kapanpun kau mau."

Senyuman di wajah Akari melebar. Dia tampak bahagia dan lega. Jelas saja, kini gadis itu tak perlu takut sendirian lagi, dan diriku pun dapat lepas dari penderitaan. Terima kasih banyak untuk jawaban itu, Kuro-kun,"

Gadis itu mengeluarkan sebilah cutter dari saku bajunya, kemudian menyodorkannya padaku. "Gunakan ini, dan akhiri segalanya."

Diiringi anggukan kepala, aku menerima cutter tersebut dan menempatkannya di pergelangan tangan, bersiap-siap mengiris. Aku menenggak ludah. Sebenarnya masih ada perasaan ragu, tapi keputusanku sudah bulat. Aku tidak bisa mundur. Sejenak aku menengadahkan kepala, mengamati sekitar untuk terakhir kalinya.

"Selamat tinggal, dunia fana," batinku.

Aku kembali memandang cutter. Perlahan kutekan ujung bilah besi tipis yang tajam tersebut demi merobek pembuluh darah milikku sendiri, lalu mulai kurasakan darah segar mengalir dan perih merambat di sana.

Sebelum aku menyadarinya, kami sudah berpindah tempat ke sebuah ruangan serba putih. Di sana aku melihat sosok yang persis seperti diriku tengah bergelantungan pada tali katrol yang sudah nyaris putus berhiaskan belasan bunga sakura, beradu beban dengan bola besi hitam legam berukuran sedang yang tergantung di sisi lain katrol. Sebagian besar dari bunga-bunga sakura tersebut telah gugur, menyisakan tiga kuntum bunga dan mahkota bunga yang beterbangan, mendominasi pemandangan sekitar dengan titik-titik putih serta merah muda. Tampak sebuah jurang besar yang dasarnya tersembunyi oleh kegelapan menganga di bawah tubuh itu.

Terkejut, aku mundur beberapa langkah ke belakang. Kedua mataku menatap tak percaya.

"Ah, maaf mengagetkanmu," ujar Akari sambil membungkukkan badan. "Kita ada di alam bawah sadarmu, dan yang kamu lihat sekarang adalah keadaanmu sendiri. Tali berhiaskan bunga sakura itu menggambarkan hidupmu, jurang besar di bawahmu menggambarkan kematian, sedangkan bola besi di sebelahmu menggambarkan penderitaan. Biasanya bunga-bunga dan tali itu bisa bertahan lebih lama, tapi pada kasusmu penderitaannya terlalu berat sampai laju penggugurannya menjadi sangat cepat."

"Sekarang, tinggal selangkah lagi." Sepasang mata biru langit milik Akari menatap lurus ke arahku seakan berniat menghipnotis. "Satu tebasan lagi dan kamu akan terbebas dari penderitaan hidup. Bahkan kamu nggak perlu mengeluarkan tenaga."

Aku menenggak ludah sekali lagi, bersiap untuk sungguh-sungguh mengakhiri kisahku sendiri. Dengan mantap aku melangkah naik—atau mungkin lebih tepatnya melayang—di atas jurang, menghampiri sosok 'diriku' di sana, lalu menempelkan cutter di ujung tali katrol yang dia pegang erat. Mungkin ini akan digolongkan sebagai bad ending, tapi siapa peduli? Lagipula pada akhirnya hidup ini takkan mampu bertahan lama tanpa Akari. Lebih cepat dia berakhir, lebih baik.

Tanganku bergerak menekan bilah cutter. Detik berikutnya, secepat kilat kegelapan, kehampaan, serta kesunyian melingkupiku.

To be continued

Hello Again, KuroWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu