Bab 7: Perubahan Ketiga - Keterbukaan dan Ekspresi

53 8 25
                                    

"Haahh..., leganya. Untung kami sampai tepat waktu." Aikawa-sensei membuka ulang pembicaraan sembari menghembuskan napas, membuang seluruh kekhawatiran yang tertumpuk. Saat ini, Yamamoto beserta teman-teman satu geng-nya telah pulang ke rumah masing-masing.

"Benar. Terlambat sedikit saja, bisa fatal akibatnya," timpal Yamaguchi-sensei sembari mengelus dada.

Melihat reaksi itu setelah menyadari apa yang terjadi, aku ingin sekali menjitak kepala mereka berdua. Sayangnya, mereka guru. Kalau kulakukan itu bisa-bisa aku dianggap tidak sopan atau bahkan dihukum, lalu situasinya bakalan jadi lebih merepotkan. Kurasa aku cukup membuat mereka mengaku saja.

"Yamaguchi-sensei, Aikawa-sensei...." Panggilan dariku seketika merebut perhatian kedua guru itu. "Sebelumnya, maaf jika perkataan saya menyinggung. Anda berdua ini, 'kan, orang dewasa, tapi kenapa mau-mau saja mengikuti skenario drama yang payah begini?"

Dalam waktu beberapa detik saja sekujur tubuh dan pakaian keduanya basah kuyup oleh keringat dingin. Tatapan mata mereka juga terlihat panik, menegaskan besarnya kemungkinan dugaanku benar.

"Ka-Kamu ngomong apa, sih? Skenario apa?" Aikawa-sensei tampak berusaha sebisanya untuk pura-pura tak tahu meskipun tingkah beliau sekarang amat mencurigakan. "Kami kebetulan lewat di saat yang tepat, cuma itu."

"Oh, apa memang iya?" tanyaku sembari mencondongkan tubuh ke depan dan mengetuk-ngetuk dagu. "Aikawa-sensei, pagi ini saya melihat anda ke sekolah naik motor, kenapa sekarang anda pulang jalan kaki?"

"So-Soal itu.... Motor saya mogok, jadi saya titipkan ke guru lain yang tinggalnya dekat sekolah," jawab Aikawa-sensei terbata-bata.

"Apa memang iya?" Aku mencoba memastikan. Lebih tepatnya memojokkan, sih.

"Sa-Saya bicara jujur!!" tegas guru pria tersebut.

"Hmm...." Gerak tanganku beranjak dari mengetuk dagu ke meraba dagu. Gestur yang dapat dengan mudah dibaca sebagai peningkatan kecurigaan. "Anda bicara terbata-bata begitu. Takut ketahuan?"

"Ti-Tidak," sahutnya. "Saya kaget karena tiba-tiba kamu tuduh. Itu saja."

"Oh, ya? Terus, kenapa anda pulang bareng Yamaguchi-sensei?"

"Soalnya rumah beliau searah dengan stasiun kereta tujuan saya. Memang nggak boleh, ya?"

"Oh, stasiun apa?"

"Sakuramori."

Aku sengaja membulatkan manik mataku agar terlihat kaget, kemudian menepukkan kedua telapak tangan dengan riang. "Wah, kebetulan sekali!! Saya juga mau ke sana nanti setelah pulang, mandi, dan ganti baju. Toko komik di sana lebih lengkap daripada yang di dekat sini. Boleh saya ikut? Rumah saya sudah dekat, kok."

"Ah, tidak bisa." Yamaguchi-sensei beralasan. "Kami berdua sama-sama punya urusan setelah ini. Kami harus buru-buru."

Kutajamkan tatapan mataku, berusaha memojokkan mereka berdua bagai seekor hiu yang tengah menerkam mangsanya. "Kalau sedang buru-buru, seharusnya anda berdua nggak akan sempat mengobrol dengan saya begini. Lagipula, kenapa timing munculnya semprotan cabai misterius itu bisa dekat sekali dengan timing kedatangan anda berdua? Kok, rasanya terlalu bagus untuk dianggap sebagai kebetulan."

Sadar bahwa usaha mereka sia-sia, kedua guru tersebut pun menyerah dan menghentikan upaya berkilah. Mereka menggaruk-garuk bagian belakang kepala sembari tertawa masam.

"Maaf, Akeron-kun. Sebenarnya kami bohong." Akhirnya Aikawa-sensei mengaku. "Ini semua rencana Sakurai-san."

"Persis dengan dugaan saya," sahutku sembari mengangguk-anggukkan kepala. "Anda berdua mengikuti saya lewat alat pelacak kecil yang ditempel Sakurai-san di tas ransel saya, 'kan?"

Hello Again, KuroWhere stories live. Discover now