Bab 11: Misteri Ketiga - Hawa Keberadaan

20 2 0
                                    

"Nah...," Akari melontarkan sepatah kata saat kami akhirnya memasuki area kantin, "kita sudah sampai."

Tepat ketika kaki kami berdua berhenti melangkah, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Area berdinding kaca bening serta beralas ubin putih yang luasnya kurang lebih separuh dari luas aula sekolah itu tampak penuh oleh siswa-siswi yang sedang makan, minum, dan mengobrol serta karyawan-karyawan kantin yang tengah sibuk menerima pesanan dan menyampaikannya pada koki. Suara mereka sampai menyamarkan suara guyuran hujan dari luar. Sekitar tujuh siswa sedang menatap ke arah kami. Kurasa mereka mengenal Akari. Akan sangat canggung jika kami hanya berdiri saja di pintu masuk seperti ini dan tidak menyapa mereka.

Ah, tidak. Kurasa Akari saja yang perlu menyapa mereka. Tatapan mereka seperti haus darah begitu. Bisa-bisa aku betulan dibunuh kalau mendekat. Lagipula, kenapa Akari tidak segera melepaskan genggaman tangannya? Kami, 'kan, sudah sampai di kantin, harusnya dia tidak perlu menyeretku lagi. Gadis yang satu itu memang aneh. Kadang mampu membaca situasi, kadang tidak.

"Ngomong-ngomong, kantinnya penuh sekali, nih. Kau cari meja dan kursi yang masih kosong dulu sana. Biar aku saja yang pesan makanan." Aku berusaha mencari alasan untuk berpisah darinya.

Akari mengangguk setuju, lalu melepas tanganku. "Baiklah. Tolong segelas teh panas dan semangkuk ramen kuah miso, ya, Paman," ucapnya setengah bercanda.

"Hei, aku bukan paman penjaga kasir, tahu!!" semprotku dengan nada gusar. "Itu saja? Kalau sudah, aku langsung ke kasir."

"Iya," sahutnya dengan jari tangan membentuk simbol 'OK'. "Tolong, ya, Kuro-kun."

Tanpa basa-basi lagi, aku pun segera melesat menuju antrian di kasir sebelum antriannya bertambah panjang, kemudian menunggu dengan sabar. Sekilas aku mencuri pandang ke arah belakang, memastikan Akari mencari tempat duduk di bagian yang cukup jauh dari kumpulan manusia haus darah tersebut setelah menyapa mereka. Beruntung, gadis itu memenuhi ekspektasiku, jadi aku dapat bernapas lega. Tampaknya dia bisa peka terhadap situasi juga.

Sambil menunggu, sesekali aku memperhatikan jam yang tergantung di dinding serta melihat jam di ponselku. Kalian penasaran kenapa aku tidak menggunakan jam tangan? Memakai dan melepas jam tangan setiap hari itu merepotkan dan membosankan, jadi mending aku tidak memakainya saja.

Jarum jam terus bergerak, menandakan waktu yang terus berlalu. Antrian juga terus berjalan, hingga akhirnya tiba giliranku. Aku langsung memesan dua mangkuk ramen kuah miso dan dua teh panas.

Apa? Aku tidak menyamakan pesananku dengan milik Akari, oke. Aku memang ingin makan itu juga. Lagipula, bukannya saat hujan begini memang paling enak makan ramen dan minum teh hangat?

"Dua mangkuk ramen kuah miso dan dua gelas teh panas, ya?" Paman penjaga kasir mengulangi pesanan kami, berniat memastikan. Aku mengkonfirmasinya dengan anggukan.

"Ada tambahan lain?" lanjutnya.

Aku menggeleng pelan sembari berkata: "Tidak."

"Seluruhnya 2.300 yen," ucapnya usai menghitung di kalkulator. "Silakan membayar."

Kedua manik mata kelabu milikku membulat untuk sesaat, tetapi kembali normal begitu aku teringat sesuatu.

"Ah, benar juga," batinku. "Kantin di SMA ini, 'kan, pakai sistem prabayar supaya nggak ada murid yang pergi tanpa bayar. Kenapa aku bisa lupa? Untung saja aku selalu bawa uangnya-"

Baru saja pulih, kekagetan lagi-lagi menghampiriku ketika aku merogoh kantong celana sebelah kanan dan mendapati lubang besar di sana. Hei, hei, hei. Yang benar saja!! Kok, bisa nggak ketahuan ada lubang di situ?! Agh, merepotkan. Kesialanku masih belum sembuh juga ternyata. Padahal aku tidak pernah menendang batu nisan atau membalikkan altar, tapi kenapa seolah dikutuk begini?

Sekarang, apa yang harus kulakukan? Masa aku harus pinjam uang dari murid lain yang mengantri di belakangku? Itu pun jika dia mau meminjamkannya. Aku bisa saja mencari Akari dan meminjam uangnya, tapi itu sama saja dengan mengizinkan antrianku direbut. Ah, tunggu dulu. Barangkali aku lupa dan menaruhnya di kantong yang lain.

"Ada apa? Uangnya ketinggalan?" Paman penjaga kasir mengangkat alisnya.

"Tidak, saya yakin tadi saya sudah menaruhnya di kantong," sahutku sambil berusaha sekuat tenaga menahan keringat dingin dan menstabilkan degup jantung. "Mungkin ada di kantong yang lain. Sebentar, saya cari dulu."

Kurogoh kantong celana sebelah kiri, kedua kantong dekat ujung baju, serta saku dada berulang-ulang, tapi uangku tidak kunjung ketemu. Aku menghela napas berat. Niat untuk kembali dan mengorbankan antrian mulai terbersit dalam pikiran. Namun, sebuah suara feminim tiba-tiba terdengar dari arah samping, mengejutkanku.

"Hilang, ya? Pakai uangku saja."

Cepat-cepat aku memutar leher demi menghadap sumber suara. Tampak Akari sedang berdiri tepat di sampingku. Tangannya terulur hendak menyerahkan selembar uang kertas serta beberapa keping uang logam.

"Jangan bikin kaget, hei!!" protesku. "Sejak kapan kau di situ?"

"Maaf." Gadis berambut oranye terang itu menggaruk-garuk tengkuknya dan menyunggingkan senyum masam. "Sebetulnya aku sudah ke sini sejak tiga menit lalu, tapi kupikir akan terasa konyol kalau aku meminjamkan uang dan ternyata uangmu ada, makanya aku menunggu dulu."

"Ti-Tiga menit?!" Aku terperanjat sekali lagi. "Kau nggak bohong, 'kan? Kok, hawa keberadaanmu bisa nggak terasa?"

"Kamu kurang sensitif, sih." Dia mengejek sembari tertawa. "Sudahlah, cepat bayar makanan kita sana. Nanti keburu bel masuk kelas bunyi, lho. Kau juga nggak mau menahan lapar sampai jam pulang, 'kan?"

"Iya, iya," ujarku. "Terima kasih. Besok pasti kukembalikan."

Raut wajahku masih menyiratkan rasa heran yang sangat. Namun, karena ucapan Akari ada benarnya, kuputuskan untuk segera mengambil uang yang disodorkan, memastikan uangnya pas, serta membayar pesanan. Setelah itu, aku mengikuti gadis itu ke tempat duduk.

Selama berjalan, aku tak bisa melepaskan tatapanku dari Akari. Ya, aku masih curiga padanya. Kecurigaan tersebut bukan tanpa sebab. Tadi aku sempat melirik ke samping waktu Akari baru saja menawarkan uangnya. Ekspresi paman penjaga kasir tak jauh berbeda denganku. Kalau hanya aku seorang yang tak merasakan hawa keberadaannya itu masih masuk akal, tapi kalau dua orang sama-sama tak merasakannya maka alasan yang dia pakai tidak berlaku lagi.

"Apa ini hanya perasaanku dan paman penjaga kantin saja? Atau dia memang punya kemampuan untuk menghilangkan hawa keberadaan? Mustahil tipe orang yang selalu bersinar seperti Akari punya hawa keberadaan yang tipis." Sembari meraba dagu dan berpikir keras, aku bermonolog dalam hati sekali lagi.

Pada saat yang sama, perasaan misterius yang persis seperti saat dua keanehan sebelumnya terjadi kembali menghampiri diriku. Tentu saja itu membuatku berpikir hal ini ada hubungannya dengan kedua peristiwa tersebut.

"Kalaupun benar mereka ada hubungannya.... Cerita masa kecil, cerita hantu di sekolah, dan kemampuan melenyapkan hawa keberadaan. Apa yang bisa menghubungkan ketiganya?"

"Sebenarnya, apa artinya semua ini?"

To be continued

A/N: Setelah intermezzo di Bab 12 dan 13 serta misteri keempat atau misteri terakhir di Bab 14, kebenaran akan terungkap. Jadi, jangan ke mana-mana dan pantengin terus kisah ini. Oh, ya. Semangat bikin analisisnya <3

Hello Again, KuroWhere stories live. Discover now