Dua Butir

1K 210 178
                                    

Pemakaman Sulthan diselenggarakan pagi ini. Nadin tidak punya alasan menahan penguburan, kendati kasus kematian masih belum mendapat titik terang. Dalam pelaksanaan yang diiringi tangis itu, beberapa orang mengucapkan bela sungkawa secara langsung.

Pencari berita, karyawan, hingga petinggi perusahaan turut hadir. Arletta menutupi mata bengkaknya dengan kaca mata hitam. Sama seperti sebelumnya, ketika pers terlihat cari-cari kesempatan untuk wawancara, Arletta bungkam. Ia juga terus mendampingi sang ibu supaya tidak bicara apa-apa pada media.

Dari sekian banyak pelayat, Arletta sadar Malvi dan Sagan tidak hadir. Ia cukup memahami Malvi, barangkali si cewek tolol benar-benar tidak sudi. Tapi Sagan? Entahlah. Mungkin dia masih marah gara-gara percekcokan semalam.

Setelah pemakamam selesai, Marshal yang mengemudi mobil. Sepanjang jalan menuju rumah, pria itu tidak banyak bicara. Matanya melirik sesekali ke spion atas, tempat tante dan sepupunya duduk dalam kesunyian.

"Mami masuk duluan," Nadin berujar setibanya mereka di halaman rumah.

Tersisa Arletta dan Marshal di dalam mobil.

"Lo tahu Sagan punya rumah baru?" tanya Marshal setelah keheningan dua menit.

"Tadinya nggak. Qwin-lah yang cerita."

"Anak lo pasti cerita juga kemarin gue nemuin dia."

Arletta mengangguk, Marshal mengembus napas.

"Sorry bukannya mau narik dia ke masalah ini, tapi——" Marhal mencari pembendaharaan kata. "Gue perlu cari info sebanyak-banyaknya."

"Gue akan lebih berterima kasih kalau lo bisa ngomong dengan bahasa anak-anak."

Kali ini Marshal tidak berani menatap spion atas. Lewat kata-kata barusan, ia tahu sepupunya sedang menahan geram. Kemarin Marshal memang diam-diam mendatangi Qwin. Kebetulan saat sesi les matematika itu berakhir, Sagan belum tiba. Belakangan ia tahu kalau pria itu pergi ke rumah Malvi.

"Qwin, kamu nggak tidur di kontrakan Papa yang biasa, ya?"

Marshal meyakinkan diri bahwa yang dilakukannya murni karena kewajiban sebagai petugas. Katakanlah ia sudah cukup frutrasi sampai-sampai bertanya pada bocah berusia 9 tahun. Pokoknya segala hal akan dicobanya sampai menemukan titik terang. Begitu pikirnya.

"Yep. It's a new house, Uncle."

"Apa kata Papa waktu ajak kamu ke sana?"

"He said di situ lebih aman."

"Mommy tahu?"

"Papa bilang jangan kasih tahu siapapun."

Marshal mengangguk-angguk.

"Qwin, Uncle boleh tahu apa kamu pernah main-main di kamar Opa?"

"Never," jawab Qwin sambil menjilati es krim. "But Opa always getting mad sama Papa. Kenapa, ya?"

Marshal pura-pura mengangkat bahu. "Kalau main-main di kamar Mommy?"

"Sering."

"Kapan terakhir kamu ke kamar Mommy?"

"I don't really remember, but mungkin malam my birth day."

"Ngapain saja waktu itu?"

"Hug her before sleep, because Mommy looks so sad for no reason."

"Waktu itu Mommy minum obatnya?"

Anak itu menyendok es krimnya kemudian balik bertanya. "Obat yang bikin Mommy stop marah-marah, ya?"

Kaus Kaki yang HilangWhere stories live. Discover now